Chapter 20

2070 Kata
14 Jam sebelumnya ...     "Berarti udah fix ya acara perlombaan basketnya ini mau Se-Jakarta?"  Erlan bertanya pada Rani yang tengah sibuk mencatat di buku catatannya. Cowok itu lalu mengalihkan tatapannya ke Alana dan kembali bersuara. "Udah konfirmasi sama ketua tim basketnya?"   Alana terkesiap kecil lalu mengangguk cepat. "Udah, Kak. Kemarin udah ketemu sama Adit, Ketua Tim Basket sekolah kita."   "Iya, gue juga tahu si Adit." Erlan berseloroh.   Alana memutar bola matanya. Rasanya jika bicara dengan Ketua OSIS-nya itu ia selalu serba salah. Kek lagunya Raisa aja.   "Ini mau SMA aja, kan? SMK atau MAN enggak?" Rani kembali mengangkat kepalanya memandang Erlan. Ia mengedipkan matanya berulang sambil menunggu jawaban Erlan.   "Kalau menurut gue, SMA se-Jakarta aja udah banyak banget ya. Pasti bakal nambah lama lagi harinya kalo sama SMK atau MAN juga. Jadi mending SMA aja."   Alana hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban Erlan. Sejak tadi yang ia lakukan hanya mengangguk, menggeleng atau menjawab seadanya. Kebanyakan yang berbicara adalah Rani, sang Koordinator Bidang Bakat Minat dan Olahraga.   "Kalian berdua besok ketemu ketua tim basketnya lagi aja ya, em ... si Adit." Erlan mengangkat kacamatanya yang melorot dengan jari tengahnya. Lalu mengedarkan tatapannya.   "Oke." Rani berujar dengan antusias.   "Rapat hari ini dicukupkan, ya. Thankyou gaes." Erlan beranjak dari duduknya lalu mengangkat ranselnya. "Jangan lupa kita masih ada proyek akhir kepengurusan OSIS ya. Stay tune di grup pokoknya." Setelah mengatakan itu, Erlan meninggalkan ruangan disusul yang lainnya.   Fira, si Sekretaris yang duduknya berada di dekat Alana, langsung bertanya pada Alana seusai rapat. "Lo tumben sekarang rajin banget berangkat rapat. Kesambet apaan?" tanyanya sarkas. Sebelum mendapat jawaban Alana, ia langsung meninggalkan ruangan OSIS.   Alana hanya meninju udara di depannya tepat saat Fira berbalik badan. "Ketua sama Sekretaris OSIS itu janjian apa ya musuhin gue?" Alana bertanya sendiri. Lalu menoleh pada Rani yang sibuk mencatat sisa rapat. "Kayaknya anak OSIS yang baik ke gue cuma lo deh, Ran."   Rani menutup buku catatannya. "Iya kan? Makanya lo juga harus baik ke gue," candanya. Ia lalu memasukkan buku itu ke ranselnya.   "Lo kayaknya hari ini lagi seneng banget, Ran. Kenapa hayo?" Alana bertanya dengan nada meledek. Ia mendekatkan diri pada Rani dan menyenggol bahu Rani. "Oh, gue tahu, pasti karena tas lo baru ya? Dan kita couple-an." Kini Alana malah menaik-turunkan alisnya.   Rani hanya terkekeh geli. "Apaan sih?" Ia mengibaskan tangannya di depan Alana. "Gue kan emang biasanya gini. Gue kan selalu ceria!" Rani berseru di ruangan yang sepi.   Alana ikut tertawa. "Iya deh, iya. Iya-in aja dah."   Mereka tertawa bersama-sama sambil berjalan keluar dari ruang OSIS.   Alana sejak tadi cemas. Pasalnya Deon susah dihubungi. Tidak mungkin ia pulang seorang diri, kan? Jujur ia takut jika kemungkinan bertemu dengan pria kejam berdarah dingin yang membunuhnya di masalalu. Robi.   Apa gue ke kantor guru aja ya? Minta dianterin pulang sama Keano. Alana membatin.   Rani di sampingnya masih sibuk dengan ponselnya. Cewek itu asik bertukar pesan dengan seseorang. Namun Alana tidak tahu. Setahunya, hari ini Rani tidak bisa mengantarnya pulang karena ada janji temu dengan temannya. Maka dari itu sedari tadi Alana was-was.   "Dor!"   "Aaaaa!"   Alana berjengit kaget dan bahkan melompat kecil saat pundaknya disentuh. Begitu membalik badan, si pelaku hanya cengengesan geli memandang Alana.   "Lampu Neon! Lo emang ya, dasar ih nyebelin!" seru Alana lalu tangannya terayun ringan menggeplak lengan Deon. Berulang kali. "Gue kaget. Lo pengen bikin gue jantungan, hah?"   Deon masih tertawa sambil bertepuk tangan. "Muka lo pas kaget kok bisa kocak banget gitu."   Alana langsung menendang tulang kering cowok di depannya. "Gue tuh daritadi nyariin lo. Di-chat gak bales-bales, ditelfon gak diangkat. Bikes!"   Deon kini meredakan tawanya. "Iya, sorry. Udah yuk balik."   Alana masih memasang wajah kesalnya namun kini ia tahan. Biarlah ia membalas perlakuan Deon saat berjalan pulang nanti. Alana kini memandang Rani dengan tatapan penuh penyesalan. "Ran, maaf ya. Lampu Neon emang agak kurang se-ons keknya." Alana mendapat tatapan tidak terima dari Deon namun ia abaikan.   "Iya, santai aja." Rani malah terkekeh geli.   "Oh iya, lo bilang mau gantungan kunci ini, kan?" tanya Alana sambil menunjukkan sebuah benda yang dimaksud yang tergantung di tasnya. Kemudian gadis itu melepasnya dan menyerahkan pada Rani. "Buat lo aja."   Deon menyaksikan semua itu dengan kening mengernyit. "Kok buat Rani, sih?" Ia menatap Alana tidak terima.   "Kan gue punya dua dari lo. Satunya ada di kamar." Alana memelototi Deon agar cowok itu terdiam.   Deon tampak mengingat-ingat. Namun kemudian cowok itu mengangguk. "Oh, iya. Lupa gue. Itu kan sepasang ya?"   "Ish, yang ngasih siapa!" Alana berakting hendak memukul kepala Deon hingga cowok itu memundurkan tubuhnya. Alana tertawa menyaksikan hal itu.   "Beneran buat gue?" Rani bertanya sembari menatap Alana dan Deon bergantian. Kedua orang di depannya itu mengangguk. "Wah, makasih!" serunya girang.   Alana hanya tersenyum senang. "Kan lo bilang gue harus baik-baik ke elo," ucapnya. Senyumnya makin melebar. "Eh ya udah, lo tadi mau ketemuan sama temen lo, kan? Kalo gitu sana."   "Temen gue telat. Kalo nunggu di halte depan gue kelihatan kasihan banget dong kek orang ilang," jelasnya sambil terkekeh. "Gue tunggu di dalem sekolah aja. Di sekitar sini." Rani menunjuk kursi panjang di dekat koridor lantai satu yang menghubungkan dengan kantin.   "Oh gitu. Ya udah, kalau gitu kita duluan, ya?" Alana menepuk pundak Rani. Kemudian ia melangkah menuju koridor yang mengarah ke gerbang sekolah depan. Disusul dengan Deon di belakangnya.   Kini di koridor sepi itu hanya menyisakan Rani seorang diri. Cewek itu masih sibuk membalas pesan temannya yang terjebak macet. Tiba-tiba ia teringat oleh gantungan kunci pemberian Alana, dan langsung memasangnya di ransel hitamnya. Cewek itu tersenyum memandangi gantungan kunci itu.   Sebuah telfon menginterupsinya. Dengan cepat Rani mengangkat telfon itu. Sambil berjalan menuju koridor depan sekolah, Rani berbicara pada seseorang di sebrang sana.   "Lo di mana sih? Gue sendirian tahu!" Rani mencak-mencak.   "Iya, sorry, Ran. Gue kejebak macet. Tau sendiri kan Jakarta macet? Lagipula sekarang lagi mati lampu, jadi traffick light-nya mati."   Rani menghembuskan napas kasar. "Jadi gue harus nunggu berapa lama lagi?" Ia sudah hilang kesabaran. Hari ini ia sengaja tidak membawa motornya karena sudah janji untuk bertemu dengan teman lamanya yang tidak bertemu sejak SD. Rani menyusuri koridor dengan pelan. Ia melirik jam tangannya dan mendesah pelan. Jam sudah menunjuk pukul lima sore. Dan sekarang sekolah sudah benar-benar sepi. Anak-anak yang ekskul pun sudah pulang sejak tadi. Rapat OSIS hari ini terbilang sangat lama dan berakhir telat karena topik pembahasannya yang mendetail menjelang akhir kepengurusan. Sedangkan Mamanya sejak tadi sudah menelfoninya. Menyuruhnya agar cepat pulang karena hari sudah benar-benar sore.     "Ya kira-kira setengah jam lagi gue sampe kok. Sabar ya."   "Ya udah."   Begitu Rani menutup telfon itu, ia merasakan gejolak di kandung kemihnya. Ia tiba-tiba ingin ke toilet. Bergegas ia kembali masuk ke dalam sekolah dan mencari toilet terdekat. Matanya berhasil menangkap letak toilet terdekat. Tepatnya toilet di bawah tangga.   Rani hampir berlari girang menuju toilet itu. Saat ia tengah memutar knop pintunya, tiba-tiba ada yang memukul belakang kepalanya dengan benda tumpul hingga ia terjatuh.   Rani pingsan. Tergeletak sendirian di depan pintu toilet.     °°°°     Robi mengamati dua orang yang tengah berjalan bersamaan di koridor sekolah dari jauh. Dua siswi yang mengenakan ransel yang sama. Namun yang masih terlihat jelas dari mata Robi yaitu gadis bernama Alana adalah salah satu dari keduanya. Ransel hitam yang dipakai Alana memiliki perbedaan. Yaitu ada sebuah gantungan kunci berbentuk bunga di sana. Dan Robi masih bisa melihatnya.   "Pak, kantor gurunya jangan lupa dibersihkan dulu baru setelah itu dikunci ya."   Seseorang berkata di belakangnya. Robi reflek membalik badan, memasang wajah ramah dan mengangguk.   "Baik, Pak," sahutnya pada guru senior di depannya.   Guru itu bergegas meninggalkan Robi sendirian di depan kantor guru. Setelah ia membalik badan. Dua siswi yang tadi dilihatnya itu menghilang di tikungan koridor. Robi mengumpat kecil lalu segera menyelesaikan tugasnya membersihkan kantor guru.   Setelah mengunci kantor guru, Robi bergegas berjalan dan kembali mencari siswi tadi. Namun tak kunjung berhasil. Tak ada tanda-tanda mereka lagi. Jadi Robi putuskan untuk kembali ke pantry di sebelah toilet di bawah tangga.   Lampu di pantry tiba-tiba mati. Ternyata tengah mati listrik. Gelap. Suatu hal yang biasa bersahabat dengannya. Robi terbiasa bersahabat dengan gelap sejak ia dipenjara 22 tahun silam. Di bilik penjaranya sangat gelap, minim cahaya. Jadi ia sudah terbiasa. Tidak perlu takut lagi. Penyesalan mungkin selalu datang di akhir. Sesekali Robi menyesal karena sudah membunuh bocah kecil tidak berdosa yang bernama Jasmin itu. Namun beberapa kali pula ia teringat Keano, si saksi kunci yang membocorkan peristiwa itu. Jika tidak ada Keano, maka ia bisa menghabiskan umur empat puluh tahunannya di luar penjara. Tidak seperti sekarang yang kini ia berusia lebih dari lima puluh tahun namun baru sebulan bebas dari penjara. Semuanya gara-gara Keano. Jika Keano tidak memberi kesaksiannya, maka Robi tidak akan pernah dipenjara dan kesusahan mencari pekerjaan setelah keluar dari penjara.     Sebuah suara mengalihkan pikirannya. Suara langkah kaki yang seperti berlari kini mendekati tempatnya. Robi penasaran siapa orang itu yang masih berkeliaran di sekolah yang sudah  sangat sepi ini. Pria itu putuskan untuk mendekat ke pintu pantry dan mengintip dari celah. Seorang siswi tengah berdiri di ambang pintu toilet. Siswi itu mengenakan ransel hitam yang sama persis dengan milik Alana. Namun sesaat Robi masih ragu. Apa benar siswi itu adalah Alana?   Robi mengambil tongkat pel dan perlahan membuka pintu. Ia berjalan pelan mendekati siswi itu. Saat lebih dekat dengan siswi itu, Robi bisa melihat gantungan kunci berbentuk bunga tergantung di ransel hitam siswi itu. Kini Robi yakin, siswi itu pasti lah Alana.   Jadi ia makin mendekat dan dengan sekali hentak, ia pukulkan tongkat itu ke belakang kepala siswi itu dengan keras. Siswi yang dikiranya Alana itu terjatuh dan pingsan di tempat.   Robi tersenyum. Niatnya hal ini akan ia gunakan untuk kembali mengancam Keano karena sudah mengusiknya. Ia akan memancing Keano untuk datang ke sekolah dan menemuinya.   Robi melemparkan tongkat pel itu ke sembarang tempat lalu membungkuk dan menggoyangkan tubuh siswi yang tergeletak itu. Siswi itu wajahnya tertutupi oleh rambutnya jadi Robi tidak bisa melihat dengan jelas. Bahkan sebenarnya Robi masih belum hapal dengan wajah Alana. Karena baru pertama kali melihatnya.   Saat Robi hendak menyibak rambutnya, siswi itu terbangun dan sontak langsung terkejut. Ia menendang Robi.   "Siapa kamu?!" hardiknya. Siswi itu kini sepenuhnya sadar dan mengedarkan tatapannya ke sekeliling. Sekolah sudah benar-benar gelap.   Robi mendekatinya. "Oh saya ini tadi yang nemuin adek pingsan di sini." Robi berujar dengan ramah. Siswi di depannya ternyata  bukan Alana. Tatapan mereka sangat berbeda dari yang terakhir kali dilihatnya.   "Bohong! Aku aduin Mama!" Siswi itu, Rani, dengan tangan gemetar ia memundurkan tubuhnya. Lalu merogoh saku roknya dan hendak mengambil ponselnya.   "Enggak! Saya bukan mau apa-apain adek kok." Robi mengibaskan tangannya. Lagi-lagi berakting memasang wajah ramah.   "Aku lihat kamu yang bawa tongkat itu tadi." Rani sebenarnya tadi melihat dari pantulan kaca di pintu toilet. Ada seseorang memegang tongkat yang diarahkan ke arahnya dan selanjutnya ia pingsan. Dan pria di depannya ini adalah tersangkanya. "Aku aduin orang tuaku!" Rani berhasil mengeluarkan ponselnya. Namun melihat hal tersebut, Robi dengan gerakan cepat langsung hendak merebut ponsel itu. Mereka berakhir dengan berebut ponsel.   "Lepasin!"   "Maafin saya, tadi khilaf. Tolong jangan dilaporin."   "Enggak! Lepas gak?!"   Robi yang bingung dan kelabakan akhirnya memikirkan satu hal. Ia harus membuat siswi itu bungkam. Jika masih hidup, ia pasti akan melaporkannya ke pihak sekolah. Lain halnya jika sudah mati. Satu-satunya cara adalah membunuh siswi itu.   Pikiran itu melintas di otaknya dan ia langsung merealisasikannya. Kedua lengannya yang tadi berebut ponsel dengan Rani kini beralih memegang leher Rani. Robi mencekik leher cewek itu. Mata Robi memerah sarat kemarahan dan cekikannya di leher Rani makin kuat. Kaki Rani menggelepar. Tidak sampai satu menit, Rani sudah lemas tak berdaya. Tenaganya habis. Rani kehilangan kesadarannya.   "Dia sudah mati?" Robi melihat Rani yang sudah terdiam tidak memberontak seperti tadi lagi. Ia mendekatkan tangannya ke hidung Rani dan tidak mendapatkan hembusan napas di sana.   Rani benar-benar sudah meninggal. Itu yang dipikir Robi. Namun sebenarnya Rani masih belum meninggal. Cewek itu hanya pingsan dan lemas tak berdaya. Robi kini kebingungan. Ia menatap ke sekelilingnya dan tidak menemukan siapapun di sana. Ia memutuskan untuk menyeret Rani ke dalam toilet.   Kemudian ia kembali lagi ke dalam pantry dan mengambil tali tambang juga silet. Robi mengikat leher Rani dengan tali tambang dan membawa cewek itu menaiki kursi, selanjutnya ia menggantungkan tali itu ke celah ventilasi udara. Robi berniat membuat seolah siswi itu bunuh diri. Ia mengambil tangan kiri Rani dan menyayat nadinya dengan silet tadi. Darah segar sontak bercucuran mengalir. Lalu ia menendang kursi itu. Rani yang tadi hanya pingsan kini terbangun. Ia meronta, memberontak untuk melepaskan tali itu, namun sayang sudah terlambat.   Robi bergegas membawa kursi itu kembali ke pantry setelah sebelumnya dibersihkannya dengan air. Ia tidak berbalik badan meskipun Rani berulang kali memohon pertolongannya. Dan masih tidak berbalik saat Rani menghembuskan napas terakhirnya.     °°°°                      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN