Chapter 19

1356 Kata
Alana mengedarkan tatapannya ke sekeliling kelasnya. Hanya ada mereka berdua di kelas. Meski begitu, Alana kembali mendekatkan tubuhnya pada Lita. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Lita dan membisikkan sesuatu yang membuat Lita berseru kaget.   "Dia itu pembunuh Jasmin," lirih Alana.   "What!" Lita membelalakkan matanya. Spontan ia menoleh pada Alana. "Lo serius?" tanyanya.   Alana membuka bibirnya hendak menjawab pertanyaan Lita, namun ia urungkan saat sebuah suara menginterupsi.   "Apa yang serius?"   Deon berdiri di ambang pintu kelas XI IPS 1, kelas Alana. Cowok itu membawa sekresek penuh snack di tangannya. Kemudian langkahnya mendekati meja Alana dan Lita. Cowok itu mengerutkan dahi. "Apa yang serius, Na?" ulangnya.   "Eng-" Alana kebingungan di tempatnya. Sebenarnya ia bingung dan dilema sejak tadi saat ingin memberitahu Lita. Dan sekarang lagi-lagi ia dilema untuk memberitahu Deon. Lita menoel-noel lengan Alana, membuat gadis itu menoleh. Mereka bersitatap.   "Kalian ngomongin apa sih, sampe luar kedengeran." Deon berkata begitu sambil menarik kursi di depan meja Alana. Lalu mendudukinya dengan menghadap ke belakang, tepatnya menghadap Alana. "Oh iya ini snack pesenan kalian. Jangan lupa duit gue dikembaliin." Tangan Deon menyerahkan sekresek jajanan itu ke atas meja.   "Suara kita kedengeran sampai luar?" tanya Alana. Ia terkesiap kecil. Bisa gawat jika ada orang yang mendengarnya.   Deon mengangguk menjawabnya. "Iya. Gue tadi pas lewat di koridor tuh langsung kedengeran suara kalian."   Alana reflek menoleh ke samping kanannya dan memberi death-glare pada Lita. Sedangkan temannya itu justru menyengir sambil mengacungkan dua jari tangannya. Simbol peace.     "Jadi ..." Deon menggantung kalimatnya. "Kalian lagi ngomongin apa?" tanya Deon. Ia menatap Alana dan Lita bergantian.   "Lo janji ya gak akan kasih tahu siapapun?" Alana mendekat ke arah Deon. Lalu setelah Deon mengangguk menjawab kalimat Alana, cowok itu pun memajukan kepalanya. Disusul dengan Alana yang mulai mengangkat tangannya ke depan bibirnya. Gadis itu mulai mendekatkan bibirnya ke telinga Deon, dan membisikkan sesuatu di sana.   Mata Deon sontak membelalak lebar. Sama halnya seperti respon yang diberikan Lita tadi. Cowok itu bahkan mengumpat lirih. Begitu Alana memundurkan kepalanya lagi, Deon langsung menuntut penjelasan.   "Jadi Pembunuh itu ada di sekolah ini? Sekolah kita?" tanyanya dengan suara lirih. Takut-takut, ia seperti membisikkan sesuatu.   Alana mengangguk.   "Na, gue rasa lo harus hati-hati. Sumpah ini gue auto merinding!" Deon mengangkat lengannya dan mengarahkan ke depan Alana. Alana bisa melihat bulu kuduk Deon langsung terangkat.   "Sumpah, ini mustahil! Lo dalam bahaya."   "Iya, Na. Gue rasa lo kudu hati-hati. Jangan kemana-mana sendirian lagi, ya. Gue bakal selalu nemenin lo." Lita menimpali.   Senyum Alana melekuk. "Kalian tenang aja. Gue bakal baik-baik aja, kok."   "Gue langsung merinding ini, lo liat kan? Sumpah ini mustahil!"   "Kok bisa sih dia berada di sekitar kita?" Lita menautkan jarinya dengan takut.   "Gimana kalo kita laporin ajah?" Deon memberi saran.   "Lapor gimana? Dia narapidana dan dapet pekerjaan di sini, artinya ada yang melindungi dia." Alana menjelaskan opininya. Menurutnya ini adalah situasi aneh saat seorang narapidana dapat bekerja dalam jangka waktu yang sangat cepat.   "Bener juga. Terus gimana dong?" Lita menggigit jarinya.   "Menurut gue, dia gak tahu kalau Jasmin terlahir kembali jadi gue. So, sementara gue bisa bernapas lega. Tapi tetap kudu waspada sih." Alana sebenarnya pun takut. Namun ia tidak bisa terus-menerus takut.   "Iya, pokoknya lo gak boleh sendirian. Harus selalu ada temen." Lita menyentuhkan lengannya ke punggung tanganku. Cewek itu tersenyum.   "Iya." Alana balas tersenyum.   "Gue juga akan lindungi lo. Mulai sekarang lo harus selalu sama gue." Deon memandang Alana lurus-lurus.       °°°°°     "Alana!"   Alana yang sedang berjalan sendirian di tengah koridor tersentak kaget. Sebuah suara memanggilnya, namun suara itu adalah suara yang dikenalnya. Ia bergegas membalikkan badan. Rani tengah berlari menuju tempatnya berdiri kini.   Begitu sampai di depan Alana, cewek itu mengatur deru napasnya yang tak keruan. "Gue dari tadi nyariin lo," katanya. Gadis berponi rata itu tersenyum. "Kuota gue habis. Nanti pas mau dateng  ke rapat OSIS, lo samper ke kelas gue, ya." Rani menyengir.   Alana yang tiba-tiba mendapat kalimat cepat seperti itu hanya menganggukkan kepalanya. "Oke," sahutnya. "Kata Kak Erlan jamnya nyusul sih, tapi entar gue samper lo."   Alana hendak beranjak kembali ke kelasnya namun langkahnya dicegah Rani. Jadi ia mengurungkan niatnya.  "Gue abis beli tas yang sama kayak punya lo, lho." Rani berkata dengan lucu. Sepertinya ia barusan pamer ke Alana.   "Serius?" Alana terkekeh. "Padahal gue udah bilang jangan," candanya.   Rani tertawa kecil. "Ih biarin. Bagus kok. Lagian kita kan gak sekelas, gak ada yang tahu inih," ujarnya.   Mereka tertawa bersamaan. Tadi Alana sehabis dari toilet perempuan di lantai dua. Sekarang sedang jam istirahat kedua. Namun waktu untuk masuk pelajaran terakhir tinggal beberapa menit lagi. Jadi tadi Alana bergegas berjalan sendirian di lorong kelas. Sedangkan Lita tadi tengah bersamaan Deon untuk membeli minuman.   Pundak Alana ditepuk oleh seseorang dari belakang. "Yuk, Na. Ke kelas." Lita berdiri di sampingnya. Cewek itu menggenggam botol minuman dingin dan menempelkannya ke pipi Alana.   "Dingin, ih!" Alana mengusap pipinya. Sedangkan pelakunya hanya tertawa sambil memeletkan lidah.   "Lo gak mau ke kelas? Bentar lagi Pak Jamal masuk." Deon ternyata tiba-tiba sudah ada di samping kirinya dan tengah menatap Rani. Mereka kan sekelas.   "Oh iya lupa." Rani menepuk jidatnya. "Oke gue ke kelas dulu ya, Na. Dah." Setelah mengucap itu, Rani bergegas berjalan menuju kelasnya yang hanya berjarak satu kelas dari kelas Alana.   Deon menyusul Rani setelah sebelumnya cowok itu ikut menempelkan botol minuman dingin ke pipi Alana. Lalu berjalan cepat sebelum Alana mencak-mencak.   "DASAR LAMPU NEON!"     °°°°     KRING       Bunyi apa yang paling terdengar indah selain bunyi bel pulang sekolah? Sepertinya hal itu yang tepat untuk menggambarkan suasana hati semua murid di SMA Bina Bangsa. Setelah mendengar bunyi bel pulang sekolah berdering, mereka berbondong bergegas keluar kelas masing-masing dan pulang ke rumah. Sama yang seperti dilakukan Alana, begitu bel berdering, ia langsung berpamitan pada Lita dan berjalan menuju kelas Rani. Em, dan Deon.   Beberapa kali Alana menemui siswa kelas Deon yang sempat berkenalan dengannya. Contohnya geng Cogan Deon itu. Gadis itu hanya tersenyum dan mengangguk menyapa mereka. Kemudian Alana melongok ke jendela kelas Deon dan menemukan Rani di sana tengah mengobrol dengan temannya. Alana memutuskan memasuki kelas bertuliskan XI IPA 3 itu.   "Rani!" Alana memanggil Rani yang masih sibuk mengobrol. Cewek yang dipanggilnya itu menoleh langsung dan tersenyum lebar.   "Alana? Sini!" Rani melambaikan tangannya menyuruh Alana mendekat. Daripada malu sendirian ditatap beberapa murid kelas itu, Alana dengan cepat melangkahkan kakinya menuju meja Rani. Meja Rani terletak dua baris dari belakang. Sedangkan meja Deon berada di sebelah kirinya.   Alana menatap Deon yang hendak berdiri. "Gue ada rapat OSIS."   "Tau." Deon berujar datar. "Gue juga ada latihan basket. Pulang bareng ya. Nanti gue samper ke ruang OSIS." Selanjutnya Deon melangkah pergi menuju luar kelas. Bahkan sebelum mendengar Alana memberi jawaban.   Alana memutar bola matanya sebal. "Seenaknya!" Ia meninju udara sambil membayangkan meninju Deon yang berjalan santai ke ambang pintu.   "Kalian tuh kek Tom and Jerry ya. Gak pernah akur." Rani terkekeh. Ternyata sejak tadi ia menyaksikan peristiwa itu.   Alana hanya meringis. "Dia baik kalau cuman ada maunya doang," gerutunya. Mengingat kelakuan Deon membuatnya tambah kesal. "Eh iya. Kita ada rapat sekarang nih, yuk."   Rani beranjak dari duduknya. Ia menggendong tas ranselnya. "Yuk."   Mereka berjalan bersamaan menuju ruang OSIS sambil mengobrol banyak hal.   "Ih beneran samaan tas kita. Udah kek couple ajah," tawa Alana sambil menyentuh ransel Rani. Ransel bermerek dan berwarna sama dengan miliknya. Namun ada yang berbeda. Ransel milik Alana terdapat gantungan kunci berbentuk bunga pemberian Deon.   Rani hanya terkekeh geli mendengarnya. "Biarin!" Ia memeletkan lidahnya. Lengannya makin erat menggandeng Alana. Kemudian mereka bergegas memasuki ruangan OSIS di depan mereka.     °°°     Pagi-pagi sekali seorang siswi kelas dua belas sudah sampai di sekolah. Langkahnya ringan setelah meletakkan tas ranselnya di kelas dan berjalan menuju toilet di bawah tangga. Seperti biasa, ia akan mengaplikasikan makeup-nya setelah sampai di sekolah. Jadi ia tidak perlu berdandan pagi-pagi sekali.   Tangannya menyentuh gagang pintu toilet, lalu mendorong pintu itu perlahan. Namun saat pintu terbuka dengan pelan, sebuah pemandangan di depannya membuatnya terkejut dan terjatuh. Siswi itu menutupkan tangan di depan bibirnya. Lalu sedetik kemudian, ia menjerit.   "Aaaaaaaaa!!"     Jeritan itu membuat beberapa guru dan murid yang ada di lantai satu terperanjat. Mereka bergegas menuju sumber suara. Dan begitu sampai di sana. Mereka ikut terkejut ngeri.   Ada yang tergantung terikat tali tambang di celah ventilasi udara. Sebuah mayat. Lidahnya menjulur keluar dengan mata terbuka lebar. Seragam OSIS nya sudah tidak putih lagi melainkan bercampur warna merah dari darah. Tas ransel hitamnya bahkan masih dikenakannya. Darah terus mengucur mengalir menetes dari tangannya.   Ada yang mati!       °°°°°                                      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN