Keano melajukan mobilnya dengan pelan menuju sekolah. Jalanan Jakarta sepagi ini sudah macet. Memang seperti biasa pun macet. Lelaki itu memberhentikan mobilnya ketika bertemu lampu merah. Ia memerhatikan jalanan di depannya. Tepatnya di zebra cross. Beberapa orang berseliweran sambil menyebrang jalan. Ada yang sibuk dengan ponselnya saat menyebrang, ada pula yang lari terbirit-b***t untuk mencapai ujung zebra cross.
Sebuah ingatan melintas begitu saja. Keano jadi teringat percakapannya dengan Robi kemarin siang di sekolah.
Setelah sekian lama akhirnya mereka bisa bertemu kembali sebagai korban dan tersangka. Bukan sebagai orang asing lagi.
Keano menatap lekat-lekat Robi di depannya. Robi terkekeh ketika mendapati Keano menatapnya begitu tajam.
"Rupanya bocah kecil yang dulu penakut, kini sudah berubah jadi pemberani dan mau menemuiku," ucap Robi sambil menyeringai memandang Keano.
Rahang Keano bergetar. Tangannya terkepal menahan amarah yang memuncak. Matanya benar-benar menyorotkan tatapan marah. Namun kemudian Keano meredakan marahnya dan tersenyum miring.
"Iya. Bocah kecil itu kini sudah tumbuh dewasa."
"Sungguh menarik ternyata kita berada di tempat yang sama. Di sekolah yang sama. Aku sudah tidak sabar menanti hari-hari berikutnya." Robi menyeringai lagi. Bahkan seringaian itu kini berubah menjadi kekehan meledek.
Terdengar sangat menyebalkan hingga membuat Keano kesal.
Mengetahui fakta bahwa pria yang dulu menculiknya dan membunuh Jasmin ada di hadapannya, membuat Keano ingin memukul pria itu. Namun tidak bisa ia lakukan karena saat ini mereka berada di sekolah. Tepatnya di toilet pria.
"Diam kamu! Bukannya seharusnya kamu merasa bersalah karena telah merenggut nyawa seseorang?" Rahang Keano lagi-lagi mengeras. Rasanya tangannya yang sudah mengepal ingin diayunkan pada wajah Robi. Namun ia tidak bisa.
"Bersalah?" Robi terkekeh. "Untuk apa aku bersalah? Dia mati bukan karenaku."
"b******n! Dia mati karenamu!" Tangan Keano kini terangkat dan meremas kerah seragam biru milik Robi. "Kamu menusuknya berulang kali hingga Jasmin mati!" seru Keano di depan wajah Robi. Giginya bergemeletukan.
Robi menyeringai. "Lalu, kamu akan membalas dendam padaku?" tantangnya. Sebenarnya Robi pun penasaran akan tatapan yang diberikan Keano padanya. Tatapan seperti hendak menerkamnya. Namun ia tahu, tidak ada yang bisa mereka lakukan sekarang karena saat ini berada di sekolah.
"Iya. Aku akan membalas dendam." Tangan Keano semakin erat meremas kerah Robi. "Kamu harus membayar semuanya! Aku tidak bisa membiarkan orang sepertimu bisa makan dan tidur dengan enak sekarang sedangkan Jasmin meninggal dengan mengenaskan."
Robi tertawa. "Apa yang bisa dilakukan bocah pengecut yang meninggalkan temannya sendirian sepertimu?"
Keano terkesiap. Ia terkejut dengan perkataan Robi.
"Kenapa diam?" tanya Robi setelah melihat reaksi Keano. "Benar kan kataku?" Ia menyeringai.
"Apa?"
"Kamu kabur dan meninggalkan Jasmin, makanya Jasmin mati. Jasmin bukan mati karenaku, tapi karenamu!"
Cengkeraman di kerah Robi kini melemah. Tidak seerat tadi. Keano tiba-tiba tersentak mundur, meskipun tangannya masih mencengkeram kerah seragam yang dikenakan Robi.
Robi tertawa sumbang. "Jadi benar bukan? Jasmin mati karenamu, Keano," ucapnya dengan nada meledek. Ditatapnya Keano yang masih terdiam.
"Oh, iya, aku juga penasaran dengan satu hal. Gadis itu ... em ... Alana ya namanya?"
Mendengar nama Alana disebut, Keano sontak memandang Robi. Matanya menyorot sinyal waspada.
"Dia cantik ya. Kulihat kalian berdua sangat dekat." Seringaian Robi makin lebar.
Keano kembali mendekat pada Robi. Cengkeramannya di kerah seragam Robi kini makin kuat. Bahkan Robi hampir terbatuk dan napasnya susah.
"Jangan sekali-kali kamu sentuh gadis itu! Dia gak ada kaitannya dengan urusan kita!" Keano berseru di depan wajah Robi. Rahangnya kembali mengeras dan matanya menyorotkan tatapan benci. "Kalau kamu sentuh satu helai pun rambut gadis itu, aku akan membunuhmu!"
°°°°
"Gue semalem mimpi aneh."
"Mimpi aneh apaan?"
"Gue mimpi Rani."
"Rani? Kok bisa?"
Alana dan Deon saat ini tengah berjalan menuju sekolah mereka. Sejak tadi perasaan Alana sudah tidak enak. Terlebih ia memikirkan mimpi semalam. Iya, Rani mendatanginya di mimpinya.
Sejak bertemu dengan Keano, mimpi-mimpi tentang bagaimana Jasmin terbunuh sudah tidak pernah muncul lagi. Alana sekarang sudah jarang bermimpi. Dan anehnya, setelah tidak pernah mendapat mimpi apapun, tadi malam ia malah bermimpi Rani.
"Iya, gue juga gak tahu." Alana menggenggam tali ranselnya dengan erat. Dengan cara itu ia bisa menyalurkan perasaan tidak tenangnya.
Dahi Deon berkerut dalam. "Mimpi apa emangnya?" tanyanya. Jalanan di depannya kini sudah tidak menarik lagi baginya, kini sorot khawatir dari Alana yang mengalihkannya.
"Gue mimpi Rani minta tolong ke gue." Alana menoleh pada Deon. Matanya menyorotkan sorot khawatir. "Dia minta tolong, De. Apa ya maksudnya?" tanyanya.
"Apa cuma bunga mimpi? Kan lo sering tuh mimpi aneh," terka Deon. Ia hanya ingin berpikiran positif dan tidak ingin membuat Alana makin khawatir. "Eh iya, bisa aja kebalikannya. Mimpi kan bisa aja kebalikan. Mungkin aja nanti di sekolah dia mau kasih sesuatu ke lo."
"Tapi kok sejak semalem perasaan gue gak enak, ya. Kayak ada yang bakal terjadi sama Rani. Gue khawatir." Alana kini memandang menunduk sambil terus berjalan. Ditendangnya kerikil yang menghalangi jalannya.
Begitu ia mendongak, gerbang sekolah sudah kelihatan. Sebentar lagi mereka akan memasuki sekolah.
"Coba nanti gue tanya Rani di kelas." Deon mengelus kepala Alana. Melihat Alana khawatir, Deon jadi ikut cemas. Jadi mungkin dengan cara ini ia bisa sedikit mengurangi kekhawatiran Alana.
Alana hanya mengangguk dan terus berjalan lurus. Ia melihat dari jarak sepuluh meter, ada banyak orang di depan sekolahnya. Dan sudah terpasang Police Line. Beberapa mobil polisi terparkir di depan gerbang sekolah. Kini perasaan Alana semakin tidak enak.
"De, ada apa ya?" Alana menyentuh lengan Deon. "Kok rame banget?" Ia menatap Deon dan kerumunan di depannya bergantian.
"Gak tahu. Gue juga bingung." Deon ikut menatap gerbang di depannya dengan panik. Kini ia diliputi perasaan tidak enak seperti Alana.
Alana mengedarkan tatapannya ke sekeliling gerbang. Beberapa siswa yang sudah berangkat, kini tidak diperbolehkan masuk ke dalam sekolah. Polisi yang berjaga di depan garis polisi membuat Alana tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam.
Dari kejauhan, Alana melihat Lita memarkir motornya dan berlari mendekatinya. Cewek itu terengah-engah saat berbicara pada Alana.
"Hape lo di-silent ya?" tanyanya. "Gue chat dan telfon, gak direspon."
Alana terkesiap kecil. Pasti kabar tentang kejadian ini sudah menyebar di grup kelas atau grup chat angkatannya. Kenapa bisa ia tidak membaca chat?
"Hape gue di tas. Gue gak sempet buka hape kan biasanya kalau berangkat ke sekolah."
"Na, lo dengerin gue ya. Jangan kaget tapi." Lita berkata dengan pelan setelah napasnya kini tidak karu-karuan seperti tadi.
"Eh jangan lihat hape dulu." Lita mencegah Alana yang hendak membuka tasnya dan mengambil ponsel, ingin mengecek pesan di ponselnya.
"Ada apa sih, Ta? Lo jangan bikin gue panik deh!"
Setelah menghembuskan napasnya, kini Lita memberitahu Alana tentang yang sebenarnya terjadi.
"Rani ... meninggal dunia."
Mata Alana sontak terbelalak lebar. "Rani? Meninggal?" Alana menutup mulutnya dengan tangannya. Ia menatap Lita tidak percaya.
"Lo jangan bercanda deh, Ta!"
"Gue serius!"
"Kemarin gue sama Deon masih ngobrol dengan dia dan dia baik-baik aja kok." Alana menatap Lita dengan serius. Ia kini membuka resleting tasnya dan mengambil ponselnya. Berniat mengecek grup chat kelasnya. Dan grup OSIS.
Ratusan chat masuk ke notifikasinya. Semuanya berisi ucapan belasungkawa untuk Rani.
"Bener kan?" tanya Lita pada Alana yang masih sibuk membaca pesannya. "Gue aja gak nyangka kok awalnya. Tapi sekarang jadi percaya." Lita menunjuk kerumunan di depannya.
Kepala Alana kini terangkat. Tangannya lemas seketika. Ponsel di tangannya ikut terayun seiring tangannya yang terjatuh ke sisi tubuhnya.
"Gak mungkin!"
Rani ... benar sudah meninggal?
°°°°