Too Young To Marry – 08

1789 Kata
Waktu sudah hampir menunjukkan pukul 08.00 tepat. Sebentar lagi bel masuk akan segera berbunyi. Mita masih menatap gelisah di depan gerbang sekolah. Sebenarnya tadi dia sudah pergi ke kelas, namun Mita kembali ke gerbang saat mengetahui bahwa Daffa masih belum datang. Mita masih memanjangkan lehernya menatap ke ujung jalan. Sosok Daffa masih belum juga terlihat. Padahal biasanya Daffa tidak pernah datang se telat ini. “Daffa kenapa belum datang juga, sih?” desis Mita yang sudah semakin gelisah. Mita mengeluarkan handphone-nya dan kembali mengecek puluhan pesan yang sedari tadi sudah dikirim. Daffa bahkan tidak membaca semua pesan itu. Mita pun semakin khawatir. Dia lalu mencoba menghubungi Daffa. Panggilan itu pun tersambung. Mita melangkah mondar-mandir di tempatnya seraya menunggu Daffa mengangkat teleponnya. Namun setelah mencoba berulang-ulang kali, Daffa sama sekali tidak menjawab panggilan itu.   Mita mendesah gusar. Bersamaan dengan itu bel masuk pun berdentang keras. Mita kembali menatap ujung jalan yang lengang itu sekali lagi, kosong. Tidak ada siapa-siapa yang terlihat di sana. Ara pun akhirnya melangkah masuk ke area sekolah dengan langkah gontai. Dia benar-benar merasa bingung dengan sikap Daffa. Sejak semalam Daffa tidak menghubunginya sama sekali. Daffa juga tidak membalas pesan-pesan darinya. Semua itu tentu saja menimbulkan banyak tanda tanya di benak Mita. “Kok kamu lesu banget sih, Ta?” tanya Ocha saat Mita menghempaskan pantatnya ke bangku. Mita mendesah pelan. “Daffa hari ini ke mana ya?” “Itu dia!” tunjuk Ocha ke arah pintu. Mita pun langsung menoleh dan benar saja, itu adalah Daffa. Dia masuk ke dalam kelas dengan raut wajah datar. Mita ingin menyapanya, tapi tepat di belakang Daffa ada Bu Ratih yang juga sudah memasuki kelas. Mita pun hanya bisa menatap Daffa hingga dia duduk di kursinya yang terletak di pojokan kelas. Senyum di wajah Mita pun perlahan surut. Dia kini merasa ada yang tidak beres dengan sikap Daffa. Bagaimana mungkin dia mengacuhkan Mita seperti itu? “Mita! Ayo duduk!” sergah bu Ratih. Mita tersadar dan tersenyum malu. “I-iya. Buk.” Sepanjang mata pelajaran pagi itu berlangsung Mita sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Tatapan terus saja tertuju pada Daffa yang hanya fokus menatap bukunya. Mita masih berharap sang kekasih menoleh dan tersenyum padanya, namun sudah hampir dua jam berlalu pun Daffa tetap bersikap acuh seperti itu. “Lo berantem ya, sama Daffa?” bisik Ocha pelan. Mita meneguk ludah. Dia sendiri juga tidak tahu kenapa Daffa tiba-tiba bersikap dingin seperti itu. Apa dia masih marah karena tragedi nasi goreng kemarin? Tidak. Mereka sudah menyelesaikan masalah itu. Daffa bahkan tidak menyalahkan Mita sama sekali. “Ta ... lo dengerin gue nggak, sih?” sergah Ocha, Mita beralih menatap Ocha. “Lo ngomong apa?” Ocha menghela napas pendek. “Gue tanya ... lo berantem, ya sama Daffa.” Mita lekas menggeleng. “Nggak kok! kita nggak berantem.” Ocha mengernyit bingung. “Terus kenapa hari ini pangeran lo kayak bad mood gitu?” Ara mendesah pelan. “Entahlah... gue juga nggak tau, nanti deh gue tanyain dia kenapa.” _ Waktu pun terus berlalu, jam pergantian mata pelajaran yang ditunggu-tunggu Mita pun akhirnya berbunyi. Mita baru saja bangkit dari duduknya, tapi secepat kilat Daffa sudah berlari keluar kelas. Pemandangan itu pun membuat Mita semakin merasa heran. “Eh ... tumben pasangan so sweet kita nggak ngobrol bareng di saat pergantian jam pelajaran,” ucap Yasmine dengan suara yang keras. Mita pun berpura-pura tidak mendengar ucapan nenek lampir itu. Dia kembali duduk dan berpura-pura sibuk dengan buku pelajaran selanjutnya. “Kalian berantem, ya?” tanya Yasmine yang jarak duduknya memang tidak terlalu jauh dari Mita. “Helloo ... lo budeg ya!” sergah Yasmine lagi. Mita segera berdiri dan menepuk meja di depannya cukup keras. “Eh lo kok rese banget sih? mau berantem atau enggak itu bukan urusan lo!’ Yasmine tertawa pelan. “Ya jelas urusan gue lah! Siapa tahu aja hubungan kalian di ambang kehancuran, jadi gue bisa siap-siap buat ngegantiin posisi lo.” Mita menatap geram, dia baru saja hendak melabrak Yasmine ke bangunya, tapi bersamaan dengan itu sosok Daffa kembali masuk ke dalam kelas. Mulut nyinyir Yasmine pun kini juga sudah tertutup rapat. Sosok yang berbakat sebagai pelakor itu memang selalu bermuka dua. Dia akan selalu menyerang Mita jika tidak ada Daffa dan akan bersikap lembut saat Daffa ada di sekitarnya. Mita masih menatap Daffa dengan sorot mata yang sudah sayu. Daffa sama sekali tidak menatap Mita dan berjalan pelan menuju kursinya kembali. Aneh. Dia benar-benar bersikap aneh hari ini.    Guru mata pelajaran berikutnya pun sudah masuk ke dalam kelas, tapi Mita sudah tidak bisa berpikir jernih sama sekali. Gerak jarum jam itu terasa begitu lambat baginya. Ara tidak menyimak materi pelajaran sama sekali. Dia hanya menatap jarum jam sembari menggoyang-goyangkan lututnya di bawah meja. Karena tidak tahan lagi, Mita pun mengacungkan tangannya. Seketika perhatian warga kelas pun langsung tertuju pada sosok peraih juara satu umum itu. “Iya, Mita? Apa ada yang ingin kamu tanyakan?”  bu Gyna selaku guru matematika itu tersenyum ramah. “B-bukan itu, Buk! aku ijin mau ke toilet,” jawab Mita sambil tersenyum malu. Bu Gyna pun tampak sedikit terkejut. Begitu juga dengan seluruh penghuni kelas itu. Mereka semua sama-sama tahu bahwa keluar saat jam pelajaran masih berlangsung adalah sesuatu yang haram bagi seorang Mita Andriani. “K-kamu ijin ke toilet?” bu Gyna seperti belum memercayai pendengarannya. “I-iya, Buk! maafkan saya,” ucap Mita lirih. Bu Gyna pun kembali tersenyum. “Ya sudah ... pergi sana!” “Makasih, Buk!’ Mita pun bergegas keluar kelas. Daffa yang sedari tadi diam-diam menyimak semua yang terjadi melayangkan pandangannya ke pintu kelas tepat saat Mita berlari keluar. Daffa pun meneguk ludah. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat untuk menahan diri. Semua ucapan mama Mita kepadanya terus saja terngiang-ngiang di telinganya. Tadi pagi bahkan dia bersembunyi cukup lama di balik pohon karena Mita terus saja berdiri di gerbang sekolah. Ya, sebenarnya Daffa tidak datang terlambat. Hanya saja dia bersembunyi untuk menghindari Mita. Daffa masih belum tahu apa yang harus dikatakan kepada Mita. Dia juga belum tahu bagaimana jalan keluar dari situasi yang kini terjadi. Tidak lama berselang, Daffa pun terkejut karena handphone-nya bergetar pelan. Daffa meneguk ludah. Benar saja, itu adalah pesan dari Mita. Aku tunggu kamu di dekat toilet! Daffa membaca pesan itu seraya menggigit bibir. Dia merasa galau sekarang. Daffa mengetuk-ngetuk meja dengan tinjunya pelan. Sesaat dia hendak mengangkat tangannya untuk meminta ijin keluar menyusul Mita, tapi kemudian Daffa memejamkan matanya, membalikkan handphone-nya itu dan kembali memasukkannya ke dalam kantong celana. Daffa pun kembali fokus menatap papan tulis. Sesekali handphone di dalam kantongnya kembali bergetar. Daffa pun hanya bisa menghela napas, kemudian berbisik dalam hatinya. “Maafin aku, Ta ... maafin aku.” _ Sementara itu di luar sana, Mita menatap layar handphone-nya dengan air mata yang sudah menggenang. Dia bahkan mengetuk layar handphone-nya itu berulang-ulang dengan gusar, tapi tetap saja tidak ada balasan padahal jelas-jelas Daffa sudah membacanya. Air mata pun tidak terbendung lagi. Dia menangis pelan sendirian di pojokan toilet yang lengang. Cukup lama waktu bagi Mita untuk menenangkan dirinya sebelum masuk kembali ke dalam kelas. Setelah merasa cukup tenang, Mita pun kembali ke kelas dengan mata yang masih merah. Saat baru memasuki pintu, tatapan matanya dan Daffa tidak sengaja bertemu. Deg. Daffa terkejut dan langsung memalingkan wajahnya. Sementara Mita menatap kesal dan berjalan ke bangkunya dengan langkah gusar. “Lo nangis, Ta?” tanya Ocha yang terkejut melihat mata dan hidung Mita yang sudah memerah. “Gue pusing. Cha ... gue mau tiduran aja, nanti bangunin gue kalau sudah jam istirahat ya.” Mita langsung mengempaskan kepalanya ke meja yang dialas dengan lengannya sendiri. Ocha pun hanya bisa mengangguk pelan. “Oke, Ta. Nanti gue bangunin.” Diam-diam Mita masih saja terus menangis. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa Daffa bersikap seperti itu. Yang membuat Mita sedih adalah semua terjadi tanpa sebab yang jelas. Tanpa penjelasan kenapa Daffa tiba-tiba berubah sikap seperti itu. Waktu pun berlalu. Sampai kemudian jam istirahat yang ditungg-tunggu pun berbunyi keras. Mita langsung bangun dari duduknya. Kali ini dia tidak ingin kecolongan lagi. Sebagian murid-murid sudah berjalan keluar. Sosok Daffa pun juga melakukan hal yang sama, tapi Mita langsung mengejarnya. “Tunggu!” panggil Mita setengah berteriak. Langkah kaki Daffa terhenti, tapi dia tidak menoleh ke belakang sedikitpun. “Ada apa? kenapa kamu tiba-tiba bersikap seperti ini?” tanya Mita seraya berjalan lebih dekat. Daffa menghela napas sejenak, setelah itu dia berbalik seraya tersenyum. “Ada apa, Ta?” Deg. Mita menatap heran. “Ada apa? aku yang seharusnya bertanya seperti itu. Kenapa dari pagi tadi kamu mengacuhkan aku. Kenapa juga kamu tidak membalas pesan aku dan tidak menyusul aku keluar? Apa kamu masih marah karena nasi goreng kemarin?” Daffa lagi-lagi tersenyum canggung. “A-aku tadi keasyikan belajar dan tidak memerhatikan pesan itu.” “Apa?” Mita semakin terhenyak. “Apa kamu tidak bisa membuat alasan yang lebih pintar dari itu, ha!” Daffa terdiam. Sedetik kemudian dia mendekati Ara dan menatapnya lekat-lekat. “Kita bicarakan ini nanti saja, ya! aku harus keluar karena temen-temen udah nungguin aku di lapangan basket.” “Daffa...!” “Daffa...!” Mita berteriak memanggil Daffa kembali, tapi dia tetap berlalu pergi dan tidak peduli pada Mita yang kini kembali mengucurkan air mata di pipinya. _ Nyatanya, Daffa benar-benar menghindari Mita. Saat jam pulang sekolah usai, Daffa tiba-tiba menghilang dan tidak terlihat lagi. Selain itu nomor handphone-nya juga tiba-tiba menjadi tidak aktif. Mita merasa frustasi dalam ketidakjelasan itu. Semua akan wajar jika mereka bertengkar atau mempunyai masalah. Seperti dulu, Mita dan Daffa pernah tidak bertegur sapa selama sebulan lamanya karena bertengkar. Mita pun bisa memaklumi jika Daffa tiba-tiba mematikan handphone-nya kalau mereka memang berada dalam situasi ‘bertengkar’ seperti sebelumnya. Langit di luar sana sudah mulai menggelap, tapi Mita masih belum mengganti seragam sekolahnya. Sejak pulang sekolah tadi dia hanya berbaring di tempat tidur. Dia juga melewatkan makan siangnya. Hari ini mood  Mita benar-benar hancur. Dia tidak akan merasa tenang sebelum mendapatkan jawaban dari Daffa kenapa dia tiba-tiba bersikap aneh seperti itu. “Apa aku susul dia ke rumahnya saja?” bisik Mita pelan. Tanpa buang-buang waktu, Mita pun segera keluar dan mengambil sepedanya. Dia mengayuh sepeda itu menuju rumah Daffa yang jaraknya lumayan jauh. Mita merasa sedikit pusing karena perutnya yang belum terisi, tapi dia tetap mencoba berkonsentrasi dan terus mengayuh sepedanya itu. Setelah melaju sekitar 20 menit, akhirnya Mita tiba di rumah Daffa dengan lelehan peluh yang sudah membanjiri lehernya. Mita pun merapikan rambutnya sebentar, menyeka keringat di keningnya, lalu memencet bel itu dengan sedikit takut. Sebenarnya dulu Mita sudah pernah main ke rumah Daffa, namun sikap dingin ayah dan bunda Daffa membuat Mita takut dan kapok untuk mendatangi rumah Daffa kembali. TING TONG Bel rumah itu pun berbunyi nyaring. Mita pun menunggu dengan detak jantung yang sudah tidak beraturan. Padahal tadi sekujur tubuhnya terasa panas setelah mengayuh sepeda, tapi sekarang Mita malah mulai berkeringat dingin. Tidak lama kemudian pintu itu pun mengayun terbuka. Sosok bunda Daffa pun menatap Mita dengan sedikit terkejut. “M-Mita!” “S-selamat sore Tante ... apa Daffanya ada?” tanya Mita tanpa basa-basi. “Daffa belum pulang ke rumah,” jawab sang bunda. Deg. Mita tidak bisa menyembunyikan raut kecewa di wajahnya. “Kalau gitu aku pulang dulu ya, Tante.” “Iya. Hati-hati di jalan, ya!” Sepeda Mita pun kembali melaju pergi. Bersamaan dengan itu sang bunda menutup pintu rumahnya dan beralih menatap Daffa yang tadi bersembunyi. “Kenapa kamu bersembunyi dan meminta Bunda untuk berbohong?” tanya sang bunda. Daffa menelan ludah dan tidak menjawab. Sang Bunda pun menggeleng pelan. “Dasar anak jaman sekarang ... kemarin kamu bersikeras dan berani melawan karena ingin menikah muda, sekarang kamu malah bersembunyi dari dia ....” _ Bersambung...  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN