Too Young To Marry - 07

1113 Kata
Daffa hanya tertunduk diam. Dia bahkan tidak menyentuh gelas minuman yang tersaji di depannya. Sementara itu mama Mita menatap sosok pemuda itu lekat-lekat, lalu tersenyum miring. "Tante nggak akan basa-basi sama kamu. Tante mau bilang... Jauhi Mita." Deg. Daffa menatap nanar. "M-maksud Tante?" Mama Mita mendesah pelan. "Tante ingin kamu putus dengan Mita." "T-tapi kenapa Tante?" "Karena sejak berpacaran dengan kamu... Mita jadi kehilangan akal sehatnya. Apa...? Kalian berencana menikah setamat SMA?" mama Mita menggeleng tidak percaya. Daffa pun kini terdiam. Seharusnya dia sadar bahwa keinginan dia dan Mita itu memanglah akan sulit untuk terwujud. Daffa kadang lupa siapa dia dan juga siapa Mita. Tentu saja orang tua Mita tidak akan mengijinkan Mita menikah muda. Tentu saja orang tua Mita tidak akan menerima anak seperti dia sebagai menantunya.  "Mita itu sebelumnya punya cita-cita yang tinggi. Dia ingin menjadi Dokter... Dia juga ingin melakukan banyak hal untuk masa depannya. Tapi sekarang isi kepalanya hanya menikah, menikah dan menikah saja. Bukankah itu sebuah hal yang gila?" Tanya mama Mita lagi. Daffa makin tertunduk diam. "Tante harap kamu mengerti. Apa kamu mau merusak masa depan seseorang?" Hening. Daffa meremas jemarinya sendiri di bawah meja. Tidak lama setelah itu barulah dia menatap mama Mita dan menelan ludah. "Maafin aku Tante..." Mama Mita melipat tangannya di d**a. "Tidak perlu meminta maaf. Kamu hanya perlu melakukan apa yang Tante suruh. Ini semua demi masa depan kalian berdua. Kamu harus memikirkannya matang-matang... Mungkin Mita tidak mengatakannya kepada kamu karena dia tidak ingin membebani kamu, namun jauh di lubuk hatinya, dia ingin melanjutkan kuliah, dia mempunyai banyak mimpi yang belum dicapai... Jadi Tante mohon sama kamu... Putuskan Mita, ya!"  Daffa menekur dalam perasaan getir. "Iya, Tante... Aku akan melakukannya." Kenapa...? Kenapa Mita tidak pernah bercerita tentang mimpinya itu? Daffa bertanya-tanya seiring langkah kakinya. Dia berjalan gontai dengan tatapan nanar. Dia menghela napas panjang yang terdengar berat. Segala kenangan yang sudah dilalui bersama sosok gadis yang sangat dicintainya itu membuat dadanya terasa perih. Daffa bahkan sesekali.  memukul-mukul dadanya sendiri. Rasanya dia tidak rela jika harus kehilangan Mita, tapi sekarang dia harus berbuat apa? Daffa tidak ingin menjadi penghalang bagi Mita yang ingin menggapai mimpinya.  Langkah kakinya pun berhenti di sebuah lapangan basket yang kosong. Dia segera masuk ke lapangan itu, mengeluarkan bola basket dari dalam ranselnya, dan kemudian mulai bermain basket seraya berpikir tentang apa yang harus dilakukannya. Langit biru berganti senja. Langit petang pun kini mulai menghitam. Akan tetapi Daffa masih tetap memainkan bola basket ditangannya. Cucuran peluh sudah membanjiri sekujur tubuhnya. Rambutnya yang basah bahkan meneteskan keringat yang sangat deras. Daffa terus bermain. Dia tak henti berlari dengan bola ditangannya, melompat dan memasukkan bola itu ke dalam keranjang. Suara helaan napasnya terdengar sesak seiring bunyi derap langkah dan pantulan bola basket itu.  Waktu terus berlalu, dan Daffa masih melanjutkan permainannya. Sampai kemudian dia sudah merasa tidak sanggup lagi karena sudah sangat kelelahan. Daffa terlentang di lapangan itu seraya menatap langit yang sudah menggelap.  "Apa yang harus aku lakukan?" Bisiknya pelan. Tidak berselang lama kemudian, rintik hujan pun mulai turun perlahan. Tetesan hujan itu mulai menerpa wajah Daffa yang masih memakai seragam sekolahnya itu. Lama kelamaan curah hujan itu semakin deras. Orang-orang di yang ada di luar sana berhamburah mencari tempat berteduh, namun Daffa tetap pada posisinya. Dia membiarkan hujan menerpa tubuhnya. Berharap sedikitnya hujan itu mampu menghanyutkan luka yang kini bersemanyam di hatinya. _ "Dari mana saja kamu baru pulang jam segini, ha?" Bentak sang ayah saat melihat Daffa memasuki rumah. Daffa tidak menjawab. Air hujan masih menetes pelan dari tubuh dan pakaiannya.  "Kalau ditanya itu dijawab! Kamu dari mana saja! Orang lain pulang jam dua sore kamu malah kelayapan dan pulang-pulang basah kuyup seperti ini!" Sang ayah masih meluapkan amarahnya. Tatapan Daffa beralih melihat keadaan rumah yang kacau dan berantakan. Sepertinya kedua orang tuanya baru saja bertemgkar kembali. Pecahan beling kaca di lantai terlihat bertebaran di mana-mana. Perabotan di rumah itu sudah semakin sedikit karena selalu menjadi sasaran ketika suasana kembali memanas.  "Aku capek, Yah! Aku hanya ingin segera beristirahat. " Daffa berucap pelan tanpa menatap ayahnya. Sang ayah tertawa pelan. "Capek kenapa? Karena pacaran setiap hari?" Deg. Daffa menatap tajam. "Bukannya seharusnya Ayah mengkhawatirkan diri Ayah sendiri?" Sang Ayah mengernyit bingung. "Maksud kamu?" Daffa menyeringai pelan. "Lebih baik Ayah segera mencari pekerjaan sebelum Bunda menceraikan Ayah karena sudah tidak tahan lagi!" Sang ayah menatap nanar. Sedetik kemudian dia melayangkan sebuah tamparan ke wajah putra semata wayangnya itu. PLAK... Sang Ayah menatap murka, tapi dia juga tidak bisa berkata apa-apa karena yang dikatakan Daffa memang adalah sebuah realita. Sang istri memang sudah mengancamnya terkait hal itu. Satu-satunya yang membuat ayah Daffa terpukul adalah kenyataan bahwa Daffa juga mengetahuinya. "K-kamu...." Sang ayah akhirnya kembali berucap dengan nada suara yang terdengar bergetar. Daffa menyentuh pipinya yang kini terasa panas, lalu menatap sang ayah kembali. "Jadi... Jangan cemaskan aku lagi! Aku akan mengambil keputusan untuk kehidupan aku sendiri. Satu hal yang pasti adalah... Aku tidak ingin menjadi lelaki seperti Ayah!"  Deg. Sang ayah tersentak dan menatap nanar. Sedangkan Daffa menatap tajam, lalu segera masuk ke dalam kamar dan membanting pintu itu dengan sangat keras.  Setiba di dalam kamar, Daffa pun menyandarkan punggungnya dibalik pintu itu seraya memejamkan mata. Aliran hangat kini mulai mengalir di kedua pipinya. Kedua pundak pemuda itu bergetar pelan. Daffa menangis tanpa suara. Dia benar-benar merasa jengah dan putus asa saat ini. Dia lelah melihat pertengkaran orang tuanya setiap hari. Dia penat dengan sikap sang ayah yang terlalu otoriter dan menjadikan Daffa sebagai pelampiasan. Ya, sang ayah memang menjadikan Daffa sebagai pelampiasan setiap kali dia bertengkar dengan sang istri. Posisi ayah Daffa yang tidak memiliki pekerjaan memang membuat sang bunda dengan mudah memenangkan setiap pertengkaran dan perdebatan, tapi kemudian sang ayah melampiaskan amarah yang tidak tersalurkan itu kepada Daffa. Selama ini Daffa hanya menerimanya saja. Selama ini Daffa hanya diam setiap kali sang ayah melakukan itu. Tapi sekarang dia sudah merasa jengah. Suasana hatinya masih kacau karena pertemuannya dengan mama Mita. Sekarang sang ayah juga berulah, wajar jika Daffa tidak lagi bisa menahan diri. Tatapan Daffa pun beralih pada sebuah potret Mita yang ditempel di dinding kamarnya. Daffa melangkah pelan mendekati foto itu, lalu merabanya dengan bibir berkedut menahan tangis. "Apa yang harus aku lakukan?" Bisiknya lagi. Tiba-tiba handphone Daffa bergetar pelan. Ternyata itu adalah panggilan video call dari Mita. Daffa tersentak kaget. Dia tidak mungkin menjawab panggilan Mita dalam keadaan kacau seperti itu. Daffa puh hanya menatap layar handphone itu dan tidak menjawabnya. Tidak lama berselang sebuah pesan w******p pun masuk. Kenapa kamu tidak menjawab panggilannya? Daffa... Kamu baik-baik aja, kan? Kenapa hanya baca dan nggak balas pesannya? Daffa.... Mita tak henti mengetik pesan. Daffa pun hanya menatap layar handphone itu dengan tatapan nanar. Sekarang Daffa sadar bahwa Mita memang selalu mengkhawatirkannya saja. Waktu Mita sepertinya memang habis hanya untuk memikirkan Daffa.  Kamu marah ya, sama aku? Daffa, balas dong pesannya! Mita masih saja mengirimi pesan dan Daffa pun berusaha keras menahan diri untuk tidak membalasnya. Daffa menelan ludah seraya menatap layar handphone itu dengan air mata yang kembali menggenang. "Maafin aku, Ta...." _ Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN