09 - Target

1654 Kata
           Pukulan pelan pada wajah Baron membuatnya langsung membuka mata. Hal pertama yang dilihat olehnya adalah seekor cacing yang menggeliat tidak jauh dari wajahnya. Tidak sampai di sana, ada pula puluhan semut yang sedang berbaris dan juga siput yang berjalan dengan santai di sekitarnya.            Butuh beberapa edtik sampai otak Baron kembali bekerja. Ia merasa sebelumnya tidak berada di tempat seperti ini, apalagi tertidur dengan posisi yang seperti ini. Ada sesuatu yang aneh, tetapi Baron tidak bisa mengingatnya.            Sekali lagi, pukulan pelan mendarat tepat di wajah Baron. Dengan cepat, ia menoleh ke arah dari mana serangan itu datang. Di sana, seseorang dengan rambut yang panjang sepinggang terlihat diikat kuda. Meski rambutnya sangat panjang dan terlihat lembut karena sering dirawat oleh pemiliknya, sayangnya pemilik rambut tersebut seorang laki-laki.            “Bangun, Baron. Sepertinya target kita sudah datang,” katanya dengan suara bisikkan yang pelan.            Baron mengedipkan matanya satu kali. “Fein?”            Pemilik rambut yang lembut dan panjang itu menengok ke arah Baron, kemudian berkata, “Apa? Kau masih setengah sadar?”            “Mungkin, karena aku sedikit lupa apa yang sedang kita lakukan,” jawab Baron sambil mengusap pelan bagian belakang kepalanya.            Fein menggelengkan kepalanya sambil mendesah pelan. “Jangan sampai kau tidur lagi saat menjalankan tugas, Baron.”            “Baiklah, baik,” jawab Baron sambil berjalan mendekati Fein yang sedang berlutut di balik semak-semak. Tidak lama setelahnya, dua kereta muatan yang ditarik oleh kuda terlihat. Ada pula orang-orang yang menggunakan pakaian serba hitam melindungi kereta itu dari segala arah. “Hm, jika diingat baik-baik, sepertinya itu memang kereta kuda para bandit itu.”            “Informasi yang kudapatkan tidak salah, ‘kan? Mereka pasti melewati tempat ini,” kata Fein sambil menyeringai.            “Dilihat dari penjagaannya yang ketat, sepertinya akan sedikit sulit untuk menyerang mereka secara langsung,” kata Baron.            Fein mendesah pelan, kemudian berkata, “Tentu aku punya rencana! Menyerang mereka dalam pengawasan yang ketat seperti itu tentu saja sulit. Apalagi jika kita tidak menghentikan kereta kuda itu.”            “Baiklah, ayo kita dengar rencanamu.”            “Saat kau sedang tidur nyenyak seperti bayi, aku sudah mengintai keadaan di sekitar sini. Aku juga sudah tahu ke mana arah mereka pergi selanjutnya.”            “Lalu?”            “Aku sudah membuat jebakan yang bisa menghentikan kereta kuda milik mereka untuk sementara waktu,” lanjut Fein sambil mengedipkan sebelah matanya.            Keuntungan bekerja sama dengan Fein adalah ini. Fein selalu memikirkan ide untuk membuat pekerjaan mereka lebih mudah. Sedangkan Baron yang sering diledek dengan sebutan otak otot tidak akan memikirkan ‘rencana’ terlebih dahulu sebelum dirinya menyerang.            Tentu saja Baron juga tidak sebodoh itu untuk membuang nyawanya begitu saja. Setidaknya, ia bisa mengetahui situasi di mana ia bisa memenangkan pertarungan atau tidak.            “Baiklah, tunjukkan tempatnya.”            .            .            Tempat itu tidak terlalu jauh dari tempat Baron dan Fein sebelumnya. Tetapi, karena banyaknya barang bawaan yang dibawa oleh target mereka kereta kuda itu datang lebih lama dibandingkan dengan mereka.            Jebakan yang dibuat oleh Fein cukup sederhana. Hanya lubang yang tidak terlalu dalam yang diisi oleh lumpur dan ditutup oleh dedaunan. Setidaknya, jika roda kereta kuda melewatinya, roda itu akan tersangkut dan tidak akan bisa bergerak sampai target mereka bisa mengeluarkan rodanya dari lubang itu.            Belum sempat Baron memuji ide Fein, ia mendengar rombongan target mereka sudah mendekat. Mereka berdua kembali bersembunyi di balik semak-semak yang tidak terlalu jauh dari tempat itu.            Seperti yang sudah digambarkan oleh Fein, roda dari kereta kuda yang berjalan paling depan berhasil terjebak di lubang yang penuh lumpur itu. Target mereka terpaksa harus berhenti dan mengeluarkan roda itu sambil mengatakan sumpah serapah.            “Aku hanya diberi tahu ada dua belas bandit yang menyerang kota itu,” kata Baron pelan pada Fein yang ada di sampingnya.            Fein menghitung orang-orang yang masih sibuk untuk membetulkan roda kereta kuda yang ada di depan mereka. “Hm, benar. Ada dua belas. Kalau begitu, tunggu apa lagi? Kita hanya perlu menghabisi mereka, ‘kan?”            Baron menyeringai pada Fein, kemudian berkata, “Semua barang-barang berharga itu langsung diambil oleh ketua serikat, ‘kan? Bagaimana jika kita ambil beberapa yang bisa kita sembunyikan di kantong kita?”            Fein menjentikkan tangannya sekali, kemudian berkata, “Ide bagus. Lagi pula, meski pun ketua serikat tahu kalau kita mengambil beberapa, sepertinya dia tidak akan marah.”            Baron memutar kedua bola matanya. “Tentu saja, karena kau anak kesayangannya.”            Fein tertawa geli. “Hei, kau juga.”            “Kalau begitu, aku akan menyerang dari sini,” kata Baron sambil mengeluarkan dua buah bom asap dari tas kecil yang dibawa olehnya. “Jika kau tidak ingin melewatkan kesenangan ini, jangan terlalu lama.”            Fein mengerutkan dagunya, kemudian berkata, “Ayolah. Apa dua hari lalu kau tidak cukup bersenang-senang sendirian, ha?” protesnya. Kemudian ia menepuk punggung Baron dengan pelan, lalu melompat mundur. Sedetik kemudian, ia menghilang dari pandangan Baron.            Sambil menunggu Fein menemukan tempat untuk menyerang target mereka, Baron memerhatikan orang-orang yang terus menerus meneriakkan sumpah serapah pada kereta yang menarik barang bawaan mereka. Padahal, jika mereka menggunakan tangan mereka dibandingkan dengan mulut mereka, pasti mereka tidak akan diserang oleh seseorang.            Jika diperhatikan, selain mengambil beberapa barang berharga seperti senjata, pakaian, tepung, gula dan garam, Baron juga melihat beberapa kotak yang cukup besar berisi perhiasan. Tidak hanya itu, ketika salah satu kain yang menutupi kereta kuda itu dibuka, Baron bisa melihat beberapa orang yang terikat dan mulut yang ditutupi oleh kain. Kebanyakan dari orang-orang itu gadis yang masih muda.            Entah kenapa, ada dorongan ingin tertawa dari dalam dirinya. Ternyata, bandit-bandit ini cukup mengerikan juga. Hanya dua belas orang, dan mereka bisa menghancurkan desa kecil, mengambil barang-barang berharga dari sana … dan juga menculik beberapa orang untuk mereka jual.            Pantulan cahaya menarik perhatian Baron. Fein sudah siap untuk menyerang. Melihat tanda itu, Baron kembali mengencangkan sarung tangannya. Kemudian ia melempar bom asap kepada kumpulan bandit itu. Seketika, terjadi kericuhan di sana.            Teriak kesakitan langsung terdengar oleh Baron. Fein ... orang itu langsung menyerang tanpa ragu. Baron ikut masuk ke dalam kepulan asap itu untuk ikut bersenang-senang di sana.            Ia langsung melihat bayangan seseorang di depannya. Tanpa ragu, ia mencengkeram kepala orang itu dengan kedua tangannya. Belum sempat orang itu menoleh, Baron mengencangkan cengkeramannya lalu memutar kepala orang itu dengan cepat sampai terdengar suara tulang yang patah. Orang yang ada di depannya langsung terjatuh ke atas tanah dengan posisi kepala yang seharusnya tidak bisa ia lakukan.            Seketika, bulu Baron terasa meremang. Seseorang berusaha untuk menyerangnya. Untung saja Baron bisa menghindari serangan itu sedetik lebih cepat. Ia menendang perut orang yang baru saja menyerangnya dengan sekuat tenaga. Terdengar erangan keras dari orang itu, tetapi belum sempat ia membalas serangan dari Baron, kepalanya sudah menengok sepenuhnya ke belakang.            Baron kembali melihat bayangan seseorang tidak jauh di depannya, ketika ia ingin mencengkeram kepala orang itu, ia terhenti karena bayangan itu bukan salah satu dari targetnya. Tetapi seorang gadis yang entah bagaimana bisa keluar dari kereta kuda.            Karena terkejut dengan sesuatu yang tidak terpikirkan sebelumnya oleh Baron, ia jadi tidak sadar kalau ada bayangan seseorang yang tiba-tiba muncul di balik punggung gadis itu. Baron langsung menarik gadis itu dan melayangkan tinju ke arahnya. Ia tidak pernah bertemu oleh seseorang yang bisa menahan tinjunya dengan mudah.            Ketika Baron akan melayangkan tinjunya lagi, suara seseorang yang ia kenal menghentikannya. “Hei! Ini aku!”            Seperti aba-aba yang diberikan untuk bom asap yang baru saja dilempar oleh Baron, dengan dramatis kepulan asap yang dari tadi menghalangi pandangan Baron mulai menghilang. Di depannya Fein memaksakan senyumannya sambil menahan pukulan dari Baron.            Melihat Fein yang ada di depannya, Baron kembali melayangkan tinjunya tepat ke arah wajahnya. “Hei! Kau memang berniat untuk membunuhku, ya!?” rengek Fein. Meski begitu, ia tetap berhasil menghindari serangan dari Baron.            Baron mendengus pelan untuk menyembunyikan tawanya. Wajah yang dipasang Fein ketika ia panik tidak pernah membuatnya bosan.            Mungkin karena sadar kalau Baron menertawainya, Fein ikut mendengus dan melipat tangannya di d**a. “Aku tidak tahu ada orang lain selain bandit itu! Lagi pula, aku menghabisi sepuluh orang!”            Baron mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Aku hanya menghabisi dua. Berarti ini kemenanganmu.”            Fein langsung memasang wajah sombong, dan menganggukkan kepalanya dengan puas karena pekerjanya. “Sesuai janji. Kau akan membelikanku makan malam untuk satu minggu ke depan.”            “Ka-Kalian siapa? Jika kalian menghabisi bandit yang menyerang desaku … berarti kalian bukan teman mereka, ‘kan?” tanya gadis yang masih berada di balik punggung Baron. Seketika, ia baru sadar kalau ia masih menggenggam tangan gadis itu. Dengan cepat, ia langsung melepaskannya.            “Kami? Ah ... kami hanya ... ‘pembersih ancaman yang seseorang suruh’ bisa dibilang ... kami tukang pukul?” kata Fein sambil menggaruk kepalanya bingung. “Yah. Pekerjaan kami jadi lebih dari ‘tukang pukul’ karena lama-kelamaan kami membunuh setiap orang yang harus kami ‘bersihkan’.”            “Ja-Jadi kalian pembunuh bayaran?” tanya gadis itu lagi.            “Eh, mungkin kami sedikit berbeda dari itu? Tanyakan saja pada orang yang akan mennjemput kalian berapa jam lagi,” kata Fein cepat dan memotong pembicaraannya dengan gadis itu. “Ayo, Baron. Kita harus cepat-cepat melapor pada ketua. Oh, tidak lupa juga memasukkan barang berharga yang cukup di kantong kita!” kata Fein dengan semangat sambil memasukkan beberapa perhiasan ke dalam kantong celananya. Tidak puas juga, ia langsung mengambil tas yang dibawa oleh Baron.            “Kita apakan gadis ini?” tanya Baron.            “Eh? Tinggalkan saja! Lagi pula, banyak teman-temannya di dalam salah satu kereta kuda itu, ‘kan? Lagi pula, aku sudah banyak membawa benda berat,” kata Fein sambil menepuk-nepuk kantongnya. “Di kantongku maksudnya.” Ia tertawa karena leluconnya sendiri, lalu mulai melompat ke atas pohon, dan pergi menuju arah kota terdekat.            Baron menatap gadis yang baru saja ia selamatkan. Gadis itu balik menatapnya dengan takut. “Dengar, setidaknya bebaskan teman-temanmu terlebih dahulu. Aku dan temanku akan kembali ke kota terlebih dahulu untuk memanggil beberapa orang untuk menolong kalian.”            “Sungguh? Kau akan kembali?” tanya gadis itu. Meski ia masih takut pada Baron, tetapi sepertinya ia lebih takut jika ditinggalkan di tengah-tengah hutan seperti ini.            Baron tidak menjawab pertanyaan dari gadis itu. Ia langsung membalikkan badannya dan mulai berlari mengejar Fein.            Tidak masalah, ia hanya akan kembali mendapatkan puluhan atau mungkin ratusan sumpah serapah dari gadis itu. Karena ia tahu, akhir yang dimiliki oleh gadis itu dan orang lain yang berada di dalam kereta kuda tidak akan bagus.            Kehidupan mereka akan berubah dari sebelumnya. Mungkin, di antara mereka memilih lebih baik kehilangan nyawa mereka. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN