08 - Pemburu

2187 Kata
           Hantaman keras yang tiba-tiba dirasakan oleh Key pada perutnya membuatnya langsung membuka mata. Langit-langit sebuah ruangan yang sering dilihatnya namun terasa asing adalah hal yang pertama ia lihat ketika ia membuka matanya.            “Bangun, kakak!” teriakan imut dari seorang gadis kecil terdengar di telinganya.            “Bangunn! Kau akan terlambat!” kata suara imut yang lain.            Key meringis pelan sambil sedikit mengangkat bagian atas tubuhnya untuk melihat dua gadis kecil yang menindih tubuhnya dan mengeluskan kepala mereka dengan manja.            “Keiraaa, Keziaaaa, kalian sudah tidak kecil lagi! Berat!” protes Key. Meski begitu, ujung bibirnya sedikit terangkat melihat tingkah laku kedua adiknya ini.            “Bangun! Bangun! Ayah sudah menunggumu!” kata Kezia sambil menarik tangan Key untuk bangun dari tidurnya.            “Baiklah, baik … aku tahu …” gumam Key sambil berusaha bangun dari tidurnya yang terasa sangat panjang.            Keira terkekeh pelan, kemudian keluar dari kamar tidurnya terlebih dahulu sambil berlari.            Menahan kuap dengan sebelah tangannya, dan tangannya yang lain menggenggam salah satu tangan adiknya yang paling kecil; Kezia, Key berjalan dengan malas keluar kamarnya.            Rumahnya tidak terlalu luas. Hanya ada dua kamar tidur, dapur dan ruang makan yang disatukan, dan juga sebuah kamar mandi. Meski kecil, tetapi Key merasa sangat nyaman tinggal di rumah itu.            “Pagi ayah, ibu,” kata Key pelan sambil mengusap sebelah matanya yang masih sulit untuk dibuka.            “Pagi, apanya? Kau terlambat bangun, Key,” protes ayahnya sambil mengusap parang yang sering ia gunakan untuk berburu.            Ibu Key memukul tangan ayahnya dengan serbet. “Jangan membawa senjata berburu di dekat meja makan!”            Ayahnya langsung mengerutkan dagunya dan memasang pandangan yang sedih, tetapi ia tetap menyimpan parangnya jauh dari meja makan.            Melihat suaminya yang sudah menjauhkan senjata berbahaya dari anaknya yang baru berumur 13 dan 9 tahun, ibu Key mengangguk puas sambil meletakkan daging yang dibakar dengan sederhana. Dengan langkahnya yang kecil, Keira membantu ibunya untuk membawakan dua piring lain berisi sayuran yang sudah direbus.            “Tidak bisa tidur semalam, Key?” tanya ibunya.            Key membantu Kezia untuk duduk di kursi yang ada di sebelahnya. “Hmm … entahlah. Mungkin aku hanya tidur terlalu nyenyak. Rasanya aku juga memimpikan sesuatu yang sangat penting, tetapi tidak bisa mengingatnya.”            “Karena itu, kau terlambat untuk pergi berburu denganku,” gumam ayahnya pelan dengan bibir yang sedikit cemberut.            Key melihat ke luar jendela rumahnya. Meski dibilang terlambat, langit di luar masih gelap dan matahari belum terbit. “Besok aku tidak akan bangun terlambat lagi …”            Sekali lagi, ibu Key memukul suaminya dengan serbet. “Sebentar lagi Key berumur tujuh belas tahun, jangan ajak dia berburu setiap hari!”            Suaminya kembali mengerutkan dagunya dan memasang pandangan yang sedih. “Tapi berburu sendirian itu sangat membosankan! Lihat saja keluarga Donovan!”            Serbet kembali dipukulkan pada tangan ayah Key. Samar-samar, ia bisa melihat tanduk yang mulai muncul di telinga ibunya. Bayangan yang selalu ia lihat jika ibunya mulai marah. “Tentu saja! Anak pertama mereka laki-laki! Apa kau lupa kalau Key ini seorang anak perempuan!?”            “Tapi—”            Belum sempat ayahnya selesai bicara, serbet kembali melayang tepat di posisi yang sama seperti sebelumnya. “Seharusnya ia sudah belajar menjadi seorang wanita yang baik sekarang!”            “Ayolah. Seorang ‘wanita’ tidak harus mahir dalam memasak, mencuci, membersihkan, dan sebagainya, bukan?”            Ah, lagi-lagi argumen yang sama setiap hari. Ayahnya ingin Key terus menemaninya berburu karena merasa kesepian. Sedangkan ibunya, selalu ingin mengajarkan Key bagaimana menjadi seorang ‘wanita’. Key memilih untuk diam dan mulai memberikan potongan daging serta rebusan untuk kedua adiknya.            “Tapi, jika seperti ini terus—“            “Kenapa kau tidak tanyakan saja padanya? Dia ingin ‘belajar menjadi seorang wanita yang baik, agar mendapat suami yang baik’ ... atau ‘menjadi seseorang yang dirinya inginkan’.”            Oi, pak tua! Jangan bawa-bawa aku pada argumen kalian! … Tentu saja, Key tidak akan mengatakan hal itu. Melihat kedua orang tuanya menunggu jawaban dari Key, akhirnya ia berkata, “Ibu … apa yang dikatakan oleh ayah ada benarnya. Aku ingin menjadi seseorang yang diriku sendiri inginkan. Jika tidak ada laki-laki yang mau menikahiku karena aku tidak cantik, pandai memasak atau mencuci, aku tidak masalah hidup sendiri! Lagi pula, aku bisa mencari makan sendiri.”            Ayahnya langsung tertawa terbahak-bahak. “Lihat! Dia benar-benar anakku!”            Di akhir, ibunya hanya bisa mendesah dan mengangkat bahunya menyerah. “Baiklah. Lakukan apa yang ingin kau lakukan.”            Key tersenyum mendengarnya. “Terima kasih, ibu. Aku akan menjadi wanita yang baik dengan caraku sendiri.”            Ibunya kembali mendesah lalu tersenyum miris mendengar perkataan yang diucapkan oleh Key. “Mhm, kau menjadi seseorang yang sempurna dengan caramu sendiri. Kalau begitu … bagaimana jika Keira dan Kezia mulai membantu ibu?”            “Tentu!” jawab Keira setelah berhasil menelan makanan yang dari tadi ia kunyah. Sedangkan Kezia hanya menganggukkan kepalanya karena mulutnya masih penuh dengan makanan.            “Hei, tidak adil! Kau lebih dulu merebut Keira dan Kezia dariku!” protes ayahnya. Sedetik kemudian, serbet yang sama kembali melayang ke tempat yang sama pada tangan ayahnya.            Meski dari jauh, Key bisa melihat kalau tangan ayahnya sudah memerah karena serangan serbet dari ibunya. Sepertinya … ia tidak akan membuat ibunya marah lagi.            .            .            Key memfokuskan dirinya pada lingkungan disekitarnya. Ia mendengar sekelilingnya dengan baik, dan memerhatikan semua gerakan yang tertangkap oleh matanya.            Di sisi lain, ayahnya sedang sibuk mengusap parang untuk berburu miliknya sambil bersenandung pelan. Sesekali menyanyikan sebuah lagu yang bahkan Key sendiri tidak tahu apa lagu itu.            Akhirnya, Key tidak bisa sabar lagi dengan kelakuan ayahnya dan berkata, “Ayah, bisakah kau hentikan senandungmu itu? Aku tidak bisa fokus!”            Dagu ayahnya kembali mengerut dan tampang sedih kembali terlihat di wajahnya. Sungguh … bukannya kasihan, Key malah ingin meninggalkan ayahnya sendirian. “Ayolah, ayah bosan! Lagi pula, kita sudah menangkap dua anak babi hutan dan satu rusa liar. Bukankah tangkapan kita sudah lebih dari cukup?”            Key menggelengkan kepalanya pelan, kemudian sebuah percakapan kembali teringat olehnya tadi malam … atau beberapa hari yang lalu? “Keira cerita padaku ... kalau ayam liar yang pernah ayah tangkap untuk sup saat ia sakit dahulu sekali sangat enak. Keira ingin memakannya lagi.”            “Oh ... kau ingin menangkapnya untuk adikmu?” Ayahnya tersenyum lebar dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Kau memang sepertiku. Dahulu sekali, saat ibumu sedang mengandung dirimu ... di tengah malam tiba-tiba ia ingin makan ular bakar. Menembus dinginnya malam, aku mencoba—”            Key mendesah pelan ketika ayahnya mulai cerita masa lalu dirinya dan ibunya yang sudah diceritakan ratusan kali kali setiap mereka sedang berburu. Anehnya, cerita itu selalu berbeda setiap kali ayahnya menceritakannya.            Key membungkam mulut ayahnya ketika ia mendengar suara ranting yang patah tidak jauh darinya. Berpikir mungkin itu adalah hewan liar yang lain, Key langsung menyiapkan parang miliknya.            Tiba-tiba saja, seseorang keluar dari arah suara ranting patah itu. Seorang lelaki dengan rambut pendek berwarna cokelat, menatap ke arahnya dengan pisau kecil di tangannya. Mungkin ia berpikir kalau Key dan ayahnya juga hewan buruan …            “K-Ken?” tanya Key setelah mengedipkan matanya satu kali.            “Oh! Anak dari keluarga Donovan!” tambah ayahnya.            Dari wajahnya, sepertinya Ken juga sedikit terkejut ketika bertemu dengan Key dan ayahnya. Kemudian ia terkekeh pelan dan berkata, “Ah, maaf. Aku mendengar suara dari tempat ini. Kukira ada pesta hewan liar di sekitar sini. Ternyata kalian berdua.”            Key menatap ayahnya dengan mata yang disipitkan. “Kau dengar, ‘kan? Kau itu sangat berisik.”            Ayahnya tertawa kencang, lalu Key memukul tangan ayahnya yang sebelumnya sudah merah karena serangan serbet dari ibunya. “Sudahlah. Hari ini sudah cukup kita berburu, kau kembalilah ke luar hutan. Ken, bisa bantu Key untuk membawa hasil tangkapannya?”            Ken melirik ke balik punggung Key, di mana dua anak babi hutan dari satu rusa liar dewasa tergeletak tak bernyawa di sana.  “Tentu.”            “Ah, tidak perlu, Ken. Kau juga ‘kan sedang berburu.”            Ken terkekeh pelan, kemudian berkata, “Tidak masalah. Sebenarnya aku juga sudah bersiap-siap akan pulang dengan ayahku.”            “Uhm, baiklah,” jawab Key sambil memasukkan kembali parangnya. Seketika, ia baru menyadari suatu hal. “Tunggu, seharusnya kau yang membawanya, ayah!”            Ayahnya menyeringai dengan wajah penuh makna. “Ah, Ayah ada keperluan sebentar. Kau bisa pergi terlebih dahulu.”            Key mendecakkan lidahnya kesal, karena tahu betul apa yang sedang direncanakan oleh ayahnya. Ken hanya terkekeh pelan dan memanggul rusa liar yang ditangkap oleh Key di sebelah bahunya dengan mudah.            “Kau bisa membawa dua anak babi hutan itu, ‘kan?” tanya Ken.            “Mhm, jika hanya seperti ini aku bisa membawanya dengan mudah,” jawab Key.            “Hee … kau memang hebat, Key.”            Key berdeham pelan, kemudian berkata, “Aku anggap itu sebagai pujian.”            “Tentu saja itu pujian! Kau bahkan lebih menarik dari siapa pun yang ada di desa, Key.”            Key mendengar suara tawa tertahan dari ayahnya. Dengan sebal, Key menyipitkan matanya pada ayahnya yang langsung memalingkan pandangannya.            Ia harus membungkam mulut ayahnya terlebih dahulu sebelum cerita pada ibunya kalau Ken mengatakan hal itu kepadanya.            .            .            “Whoa! Banyak sekali tangkapannya. Apa kalian berdua yang menangkapnya?”            Key tersenyum pada seseorang yang mengatakan hal itu. Tidak jauh dari arah keluar hutan, kepala keluarga Donovan, ayahnya Ken sudah menunggu di sana.            “Selamat …” Key menengadahkan wajahnya terlebih dahulu menatap ke langit. Melihat matahari yang belum terlihat tinggi, dan merasakan udara yang terasa masih sejuk. “Selamat pagi, paman.”            Ayah Ken melambaikan tangannya dengan geli. “Apa-apaan panggilan itu? Panggil aku sebagai ayah!”            “Ayah!” potong Ken cepat.            “Karena ayahmu berteman baik denganku! Aku juga menganggapmu sebagai anakku!” tambahnya.            Key terkekeh pelan. “Setidaknya izinkan aku memanggilmu paman.”            Ayah Ken tersenyum tipis pada Key, kemudian berkata, “Baiklah. Lagi pula … apa kau menangkap rusa itu, Ken?”            “Tidak. Key yang menangkapnya sendiri,” jawab Ken singkat sambil menurunkan rusa yang ia panggul ke dekat kuda milik Key dan juga ayahnya yang diikat tidak jauh dari luar hutan.            Ayah Ken tertawa sambil mengangguk bangga. “Memang tidak salah lagi, anak dari seorang pemburu nomer satu di desa ini memang tidak ada tandingannya!”            Ken ikut mengangguk bangga. “Benar.”            Key mengernyitkan hidungnya ketika melihat Ken mendapatkan pukulan dari ayahnya. “Seharusnya kau juga mendapat lebih banyak buruan! Kau juga anak dari salah satu pemburu hebat di desa ini, kau tahu?” katanya sambil memukul Ken sekali lagi.            Ken meringis pelan sambil mengusap lengan yang baru saja dipukul oleh ayahnya. “Mungkin aku akan mendapat banyak buruan jika ayah tidak ikut denganku. Siulanmu menakuti hewan liar di sekitar sini, kau tahu?”            “Haaah? Ayah melakukannya agar buruan itu keluar dari tempat persembunyiannya!”            “Buktinya, tidak ada satu pun hewan liar yang keluar, ‘kan? Pasti ini semua karena siulan ayah.”            “Apa kau bilaaaaanggg?!”            Key perlahan meninggalkan Ken dan ayahnya ketika mereka mulai memukul punggung satu sama lain. Ia mengikat dua anak babi hutan hasil buruannya pada kuda miliknya, tidak lupa juga dengan rusa hasil tangkapannya pada kuda milik ayahnya. Setelahnya, ia mendengar suara gemerisik dari semak-semak yang ada di dekatnya.            “Ah ... akhirnya sampai juga,” kata ayahnya yang keluar dari semak-semak itu.            “Akhirnya kau datang, ayah!” protes Key pada ayahnya yang baru saja keluar dari hutan.            “Apa kau sudah merindukanku? Hm?” katanya sambil melemparkan dua ekor burung pada Key. “Yah ... saat kau bilang aku membawa pulang ayam liar yang kutangkap dan adikmu menyukainya ... aku tiba-tiba saja teringat sesuatu.”            Key memerhatikan dua ekor burung yang ada di tangannya. “Jangan bilang kalau itu ...”            Ayahnya tersenyum cerah sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Se-sebenarnya itu daging burung! Aku berbohong tentang ayam liar yang kutangkap, kau tahu? Adikmu sangat menyukai burung, dan aku khawatir jika dia akan membenciku jika tahu aku menangkap burung untuk makannya ...”            “Aku tidak percaya kau melakukan hal itu,” kata Key singkat.            Ayahnya tertawa dengan canggung. “Tidak ada pilihan lain, ‘kan? Ku dengar sup daging burung sangat cepat untuk menyembuhkan demam!”            Key mendesah pelan, lalu berpaling dari ayahnya dengan rasa tidak percaya lagi.            “Hei! Katakanlah sesuatu! Kau membuatku takut!”            Key tidak menghiraukan perkataan ayahnya. Ia hanya mengikat burung tangkapan ayahnya pada kuda miliknya, dan langsung menungganginya untuk kembali ke rumah.            Key melambaikan tangannya pada Ken untuk pamit kembali terlebih dahulu. Ken membalas lambaian tangan Key ketika ia mendapatkan perhatiannya. Namun, sedetik kemudian perhatiannya kembali pada ayahnya karena punggungnya dipukul lagi olehnya.            Baru beberapa menit ia berkuda, sebuah suara erangan menarik perhatian Key yang terdengar dari balik rerumputan tinggi. Ia langsung melirik pada ayahnya yang sudah mengikutinya tepat di belakangnya.            Mengerti pandangan dari Key, ayahnya langsung turun dari kudanya dan menyiapkan parang miliknya di sebelah tangannya. Ia sudah memasang kuda-kuda bertarung, dan menyuruh Key untuk sedikit menjauh darinya.            Dengan hati-hati, ayahnya memotong rerumputan tinggi dengan parangnya. Tidak jauh di sana, ada seorang pria tua tergeletak dengan tubuh yang dipenuhi oleh luka.            Key langsung turun dari kudanya dan ikut membantu ayahnya yang sedang menolong pria tua itu. Dilihat dari luka yang dialaminya … sepertinya bukan dari serangan hewan buas.             “To-Tolong aku ...” katanya pelan, lalu tiba-tiba saja ia kehilangan kesadaran.            “Sepertinya ia baru saja diserang oleh orang lain,” kata ayahnya singkat. Kemudian menggendong pria tua itu dan menaikkannya ke atas kuda miliknya.            Key mengerutkan keningnya ketika melihat hal itu. “Apa yang akan kau lakukan, ayah?”            Ayahnya menatap Key dengan pandangan bingung. “Apa maksudmu? Tentu saja kita harus menolong orang ini.”            Key melihat pria tua yang penuh luka itu. Kemudian berkata, “Menolong seseorang yang belum pernah kita temui? Lagi pula, dia juga bukan penduduk desa ini. Kenyataan bahwa ia diserang oleh orang lain juga berarti orang ini bukan seseorang yang baik.”            “Key … aku tidak pernah mengajarimu untuk tidak membantu orang yang membutuhkan pertolongan,” kata ayahnya sedikit tajam.            “Tapi …”            Entah kenapa, Key merasa jika ia menolong pria tua ini … sesuatu yang buruk akan terjadi. Bukan hanya kepada dirinya dan orang tuanya. Tetapi, kepada semua orang yang tinggal di desa. []  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN