12 - Pengawal

2133 Kata
           Saat malam masih sangat larut, Lucius sudah berangkat dari rumahnya untuk pergi menemui klien yang akan ia kawal selama lima hari ke depan.            Ia harus mencuri beberapa koin emas dari kakaknya untuk perbekalannya selama ia mengerjakan pekerjaan ini. Karena tanpa uang, ia tidak akan bisa menyewa kuda untuk pergi ke rumah kliennya itu.             Kota tempat tinggal kliennya yang baru tidak terlalu jauh dari rumah Lucius. ia hanya membutuhkan waktu empat sampai lima jam untuk sampai ke tempat itu. Tetapi mengingat kuda yang ia tunggangi butuh istirahat, kemungkinan ia membutuhkan waktu enam sampai tujuh jam. Pilihannya tepat untuk berangkat pagi-pagi buta.            Setengah dari koin emas yang Lucius curi dari kakaknya sudah habis digunakan untuk menyewa kuda selama lima hari. Jika ia mengetahui hal ini sebelumnya, mungkin ia memilih untuk membeli kuda dari pada menyewanya. Harganya hanya berbeda beberapa koin emas saja. Berhubung ia juga harus membeli beberapa makanan selama di perjalanannya, ia tidak memiliki pilihan lain.            Dilihat dari matahari yang belum berada tepat di atas kepalanya, sepertinya butuh beberapa jam lagi sampai hari menjadi siang ketika Lucius sampai di kota tempat kliennya tinggal.            Dengan tulisan pada secarik kertas yang diberikan oleh kakaknya, Lucius mencari rumah milik kliennya itu. Untungnya ia hanya butuh waktu sekitar satu jam untuk menemukan di mana rumahnya.            Melihat rumah milik kliennya yang sangat besar, dan juga banyaknya hiasan yang menurut Lucius tidak dibutuhkan untuk mendekorasi rumahnya seperti air mancur bahkan patung katak dari emas … sepertinya ia mengerti kenapa Lakra bilang kalau pekerjaan ini bisa menarik perhatiannya.            Seseorang yang berseragam layaknya seorang kesatria mengawasi Lucius dengan kedua matanya yang tajam. Ah, untuk memulai misinya yang kemungkinan bisa menarik perhatiannya … ia harus berurusan dengan orang-orang seperti ini.            Mungkin karena orang yang dari tadi memperhatikan Lucius tidak bisa lagi menahan kesabarannya, ia menghampiri Lucius dengan wajah yang menyebalkan. “Kami tidak akan memberikan sumbangan pada gelandangan lagi. Pergi dari sini.”            Kening Lucius langsung berkerut. Gelandangan? Apa dirinya terlihat seperti gelandangan!? Ia langsung menatap pakaian yang sedang ia pakai. Karena beberapa jam terakhir ia berkuda untuk sampai ke kota ini, dan di tengah-tengah perjalanannya tiba-tiba turun hujan … pakaiannya menjadi basah dan dipenuhi oleh lumpur. Tidak hanya itu, entah semalam ia bermimpi apa, karena tiba-tiba sol sepatu kesayangannya lepas. Membuat sepatu miliknya terlihat seperti mulut yang terbuka.            “Aku ada urusan dengan pemilik rumah ini,” jawab Lucius.            Wajah kesatria itu semakin masam, kemudian ia berkata, “Sudah kukatakan kami tidak akan memberikan sumbangan lagi pada gelandangan!”            Lucius menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. Ia tidak pernah berurusan dengan orang yang seperti ini. Ah, tentu saja … hal itu dikarenakan ia selalu menghabisi siapa pun yang menghalangi pekerjaannya.            Karena tidak bisa menghabisi orang yang ada di depannya ini, tanpa mempedulikan mainan berbentuk pedang yang dipegang oleh kesatria itu, Lucius berjalan santai dan melompati pagar rumah itu yang setinggi enam meter dengan mudah.            Kesatria yang dari tadi menghalanginya hanya bisa mengedipkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya ia meniupkan sebuah terompet kecil. Bunyi dari terompet kecil itu ternyata merupakan sebuah tanda jika ada penyusup, karena lebih dari sepuluh orang bersenjatakan lengkap menghentikan Lucius untuk masuk lebih dalam lagi. Tidak hanya itu, masih banyak lagi orang-orang yang sedang berlarian menuju arahnya.            Bagi Lucius, melewati orang-orang itu tanpa membunuh mereka lebih sulit dibandingkan dengan membunuhnya. Untung saja sebelum kesabarannya habis, teriakkan seseorang menghentikan mereka.            Di depan pintu masuk rumah itu, seorang gadis yang terlihat memiliki umur yang sama dengan Lucius sedang bercekak pinggang dan menatapnya dengan mata yang disipitkan. Setelah meminta semua kesatria yang akan menyerang Lucius secara bersamaan untuk pergi, akhirnya gadis itu mendekat ke arahnya.            Gadis itu melihat Lucius dari ujung kaki hingga ke ujung kepala setelah ia berdiri di depannya. Sambil mengerutkan keningnya sedikit, ia berkata, “Maaf, untuk saat ini kami tidak—”            Tanpa menunggu gadis itu selesai berbicara, Lucius langsung mengeluarkan sebuah surat yang masih tersegel di dalam amplop yang sebelumnya sudah ditulis oleh Lakra dan memperlihatkannya.            Gadis itu langsung mengerutkan hidungnya. Namun beberapa detik kemudian matanya langsung terbelalak dengan lebar. “Tunggu, tanda pada surat itu … apa kau bagian dari salah satu keluarga Xlavyr?”            Lucius memiringkan kepalanya sedikit, kemudian berkata, “Menurutmu?”            Gadis itu kembali mengerutkan hidungnya, tetapi kali ini ia mengambil surat yang ada di tangan Lucius dan mulai membacanya. Beberapa saat kemudian, akhirnya ia berkata, “Eh ... tapi aku meminta Lakra untuk menjadi pengawalku.”            “Aku tidak tahu apa yang Lakra tulis di dalam suratnya. Tetapi, permintaanmu itu diberikan padaku. Jadi, aku yang akan menjadi pengawalmu selama lima hari ke depan,” jawab Lucius acuh tak acuh.            Gadis itu mendesah panjang, lalu melipat tangannya di d**a. “Apa aku bisa mengandalkanmu?”            “Aku berada di sini menggantikan Lakra. Berarti, ia memercayakan seseorang yang bisa mengerjakan pekerjaannya sebaik dirinya.”            “Baiklah, baiklah. Aku hanya ... kurang yakin padamu karena kau terlihat … masih terlalu muda. Berapa umurmu? Enam belas? Tujuh belas?”            “Ku harap kau tidak melihat umurku sebagai penghalang. Bukankah seharusnya kau memikirkan pengalamanku dalam mengerjakan misiku?” tanya Lucius. “Apa aku harus membuktikannya dengan menyerang beberapa orang yang terlihat menggunakan kostrum kesatria ini?”            “Kostum kesatria?” tanya gadis itu sambil memiringkan kepalanya sedikit. “Apa maksudmu mereka tidak terlihat seperti seorang kesatria yang sesungguhnya?”            Lucius mengangkat kedua bahunya. “Mereka? Kesatria? Orang-orang yang sengaja di latih atas nama keluargamu? Dengan sumpah untuk melindungimu? Jika seseorang yang sehebat Lakra … tidak, yang sehebat diriku … mereka semua akan kehilangan nyawa mereka dalam hitungan detik.            Gadis itu menggaruk kepalanya dengan wajah yang terlihat bingung, lalu mengangkat bahunya menyerah. “Baik, baik. Aku percaya padamu.”            “Pilihan yang bagus, Nona Gra—”            “Panggil saja Tria,” potong gadis itu.            “Baiklah, Tria.”            Tria menganggukkan kepalanya dengan puas. “Hm, meski aku sudah yakin dengan kemampuanmu yang sama dengan Lakra … dan bisa melindungiku dengan mudah, kau masih kurang cocok untuk berada di sampingku.”            Entah kenapa perkataan itu sedikit membuat Lucius kesal. “Apa lagi masalah selanjutnya?”            “Apa kau lupa tugasmu sebagai apa?”            “Menjadi pengawalmu saat kau menghadiri pesta yang akan diadakan beberapa hari ke depan?”            “Lalu, tugas seorang pengawal itu apa?”            “Seperti yang kau katakan, melindungimu dari orang-orang yang berusaha untuk membunu—melukaimu.”            “Nah, sebagai seorang pengawal, berarti kau harus berada di sampingku, ‘kan?”            Lucius sedikit mengerutkan keningnya, kemudian berkata, “Mungkin? Aku belum pernah menerima pekerjaan yang seperti ini.”            Tria langsung memukul keningnya dengan keras. “Padahal kau tadi mengatakan seharusnya aku menilaimu dari  pengalamanmu dalam mengerjakan misi? Tapi kau belum pernah menjalankan permintaan yang seperti ini!?”            Lucius hanya bisa mengedipkan matanya sekali. Baru kali ini ia tidak bisa membalas pernyataan seseorang. Merasa dirinya sudah kalah berargumen dengan Tria, ia berkata, “Lalu, apa yang harus kulakukan?”            “Apa kau tidak membawa sesuatu?”            “Aku membawa belatiku.”            “Bukan. Maksudku ... seperti pakaian?”            Kening Lucius sedikit berkerut. “Untuk apa aku membawa pakaian?”            Tria kembali menepuk keningnya dengan keras. “Ah! Aku benar-benar tidak percaya hal ini!” katanya mulai mengacak-acak rambutnya. “Apa aku bisa membatalkan permintaan ini dan meminta uangku yang kubayar untuk uang muka? Aku ingin Lakra!”            Sudut bibir Lucius rasanya tertekuk ke bawah. “Karena aku sudah sampai di sini, kau tidak bisa meminta kembali uangmu, tetapi kau bisa membatalkan permintaanmu ini.”            “Dan kau akan langsung pergi begitu saja? Hm? Ah! Aku akan memotong bayaranmu!”            Lucius mengerutkan keningnya semakin dalam. “Kenapa?”            “Untuk membelikanmu pakaian formal,” katanya singkat. “Tidak ada keluhan,” tambahnya ketika melihat Lucius yang mulai membuka mulutnya untuk protes.            .            .            Lucius menggaruk punggungnya yang terasa gatal karena setelan lengkap yang baru pertama kali ia gunakan. Setelah dirasa rapi dan ia menggunakan setelan itu dengan benar, akhirnya ia bisa keluar dari ruangan untuk mencoba pakaian yang sangat sempit itu.            “Bagaimana dengan yang ini?” tanya Lucius pada Tria untuk ke yang sekian kalinya.            Tria yang sebelumnya sedang berbicara dengan pegawai toko tempat dirinya dan Lucius berada untuk membeli pakaian langsung memutar tubuhnya melihat ke arah Lucius. Sekali lagi, ia melihat Lucius dari kaki sampai ujung kepalanya dengan mata yang tidak percaya.            “Uwah … ternyata memang benar. Cinta pada pandangan pertama itu akan terjadi jika orang yang kau lihat sangat tampan.” Tria langsung mengedipkan sebelah matanya dan membuat bentuk hati dengan jari tangannya. “Lucius, kau lebih tampan dibandingkan dengan Lakra jika pakaianmu rapi dan tidak seperti gelandangan!”            Pegawai toko yang ada di sebelahnya mengangguk semangat dengan wajah yang sedikit memerah “Kau benar-benar tampan! Apa Nona akan membeli yang ini?”            “Ya. Aku akan membelinya sebanyak dua pasang dengan warna yang berbeda. Hmm … hitam dan putih sepertinya sangat bagus.”            “Tunggu. Aku tidak perlu dua,” protes Lucius cepat sebelum pegawai toko itu pergi.            “Kau tentu butuh dua! Pesta itu diadakan selama tiga hari dua malam. Berarti kau butuh dua pasang untuk acara formalnya!” timpal Tria dan menyuruh pegawai toko itu mengambilkan pesanannya. “Kau juga butuh pakaian kasual.”            “Jika seperti ini, potongan yang kau katakan dari bayaranku itu akan habis.”            Tria berdeham pelan, kemudian berkata, “Lupakan perkataanku tadi yang akan memotong bayaranmu. Aku akan tetap membayarmu penuh, dan membelikanmu pakaian. Hmph, terima kasihlah pada wajahmu itu! Jika kau bukan tipeku, aku tetap akan memotong bayaranmu.”            Lucius menaikkan sebelah alisnya. “Apa itu sebuah pujian?”            Tria mendengus pelan. “Tentu saja! Sekarang, cepat ganti dengan yang ini!” katanya sambil memberikan Lucius celana bahan panjang dan kaus lengan pendek berwarna hitam.            Meski ia ingin protes, ia tidak bisa. Karena Tria selalu berbicara tentang ‘Pekerjaan seorang Pro’. Akhirnya, Lucius menerimanya tanpa pertanyaan lebih lanjut. Kemudian ia masuk ke ruang ganti pakaian dan mencoba pakaian yang dipilih oleh Tria untuk kesekian kalinya.            .            .            Tria mengangguk senang sambil mengusap-usap dagunya dengan bangga. Senyuman yang ada di wajah Tria semakin lama terlihat semakin mengerikan. Bahkan lebih mengerikan jika dibandingkan dengan senyuman Lakra ketika ia sedang marah. Tidak hanya itu, matanya yang terlihat seperti bercahaya terus memerhatikan Lucius dari ujung kaki sampai ujung kepala. Melihatnya, Lucius bisa merasakan ada bahaya yang akan menimpanya.            Tria semakin terlihat mengerikan ketika rambut Lucius yang sebelumnya sedikit panjang dan berantakan sudah dipotong pendek dan rapi.            “Sempurna! Kali ini aku tidak akan kecewa kalau Lakra tidak bersamaku! Ah, jika kau tidak keberatan ... mungkin aku akan memintamu untuk menjadi pengawalku seumur hidup!” sahut Tria yang terlihat terlalu senang.            “Dengan tidak mengurangi rasa hormat, saya harus menolak permintaan Nona,” jawab Lucius.            Tria langsung menghirup udara dingin di antara giginya. “Hiih, meski aku merasa kesal … tetapi karena cara bicaramu yang tiba-tiba sopan dan auramu berubah dan lebih mirip dengan pria idamanku, aku akan memaafkanmu.”            Mulai saat ini, lebih baik Lucius menutup mulutnya.            “Aku juga sudah selesai berbelanja. Ayo kita pulang,” katanya santai sambil melempar beberapa kantong yang berisi belanjaan Tria untuk keperluan pesta yang akan datang.            Dengan cepat Lucius menangkap kantong belanjaan yang baru saja dilemparkan oleh Tria dan mengikutinya di belakang. Sungguh, untuk ratusan kalinya … ia tidak akan mengambil pekerjaan yang seperti ini lagi. Meski bayarannya sangat besar, ia tidak akan mau.            Saat Lucius sedang berpikir jika ia bisa melarikan diri ketika Tria mulai berbelok ke toko yang lain … sesuatu yang membuatnya semangat akhirnya menampakkan diri mereka.            “Tria,” bisik Lucius pelan.            Tria yang hampir saja memasuki toko lain langsung menghentikan langkahnya. Melihat wajah Lucius yang sangat serius, Tria langsung memutar tubuhnya dan berkata, “Ah! Hampir saja. Bukankah aku sudah bilang kalau kita sudah selesai berbelanja?”            Untunglah, setidaknya Tria lebih pindar dari pada apa yang Lucius bayangkan. Tanpa berbelok ke toko yang lain, mereka berdua akhirnya bisa meletakkan seluruh barang belanjaan mereka di dalam kereta kuda yang mereka gunakan.            Lucius tidak butuh menengokkan wajahnya untuk memeriksa apakah orang-orang yang dari tadi mengikuti mereka masih melakukan pekerjaannya. Karena, meski jarak mereka cukup jauh, ia bisa merasakan dengan sangat jelas nafsu membunuh mereka.            “Apa sebelum pergi kau menginginkan sesuatu selama di perjalanan?” tanya Lucius.            Tria mengusap dagunya beberapa saat kemudian akhirnya menjawab, “Ah! Roti isi yang ada di dekat sini sangaaat enak! Begitu pula dengan es krim yang ada di sebelahnya! Belikan aku keduanya!”            Lucius mengangkat sebelah tangannya dan menghadapkan telapak tangannya ke atas. Dengan pandangan bingung, Tria menggenggam tangan Lucius.            “Apa yang kau lakukan?” tanya Lucius.            “Apa yang kau lakukan?” Tria malah balik bertanya.            Meski sedikit kesal, entah kenapa rasanya ia ingin tertawa. “Aku tidak berniat untuk membantumu naik ke atas kereta. Aku ingin meminta uang padamu untuk membelikan pesananmu itu.”            Tria langsung mengerutkan dagunya, tapi tetap menggenggam tangan Lucius yang sudah terlanjur ia genggam dan naik ke atas kereta kuda dengan ‘bantuan’ dari Lucius. Setelah mendengus pelan, akhirnya ia memberi Lucius satu koin emas.            “Kalau begitu, tunggu aku di sini dan jangan berpikir untuk keluar dari kereta kuda ini. Ah, kalau bisa jauhi jendela,” bisik Lucius.            Tria memutar kedua bola matanya. “Aku tahu, dan aku selalu sadar seperti apa keadaan di sekitarku setelah kematian kedua orang tuaku. Karena itu, aku menyewa seseorang dari keluarga Xlavyr.”            “Hmm … kau tidak sebodoh yang kukira.”            “Permisi!?” protes Tria.            Meski Tria tidak bisa melihatnya, tetapi ujung bibir Lucius sedikit terangkat. Setelah meminta Tria untuk memberi tahu orang yang mengendarai kereta kuda untuk menunggunya, tanpa berlama-lama lagi Lucius mulai berjalan untuk bermain … ah, maksudnya membeli makanan untuk Tria. [] 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN