07 - Dandelion

1621 Kata
           Suara teriakkan dari seseorang membuat Lucius terpaksa membuka kedua matanya. Langit malam itu sangat gelap. Meski bintang bertaburan di langit malam, bulan yang baru belum juga muncul. Sehingga keadaan di sekitarnya sangat gelap gulita jika Lucius tidak membuat api unggun yang tidak jauh darinya.            Entah kenapa bulu kuduknya meremang seketika. Seperti ada angin dingin yang sengaja menggelitik punggung Lucius. Tidak hanya itu, perasaan yang belum pernah ia rasakan muncul di dadanya. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal … apa karena ia belum makan selama dua hari ini?             “Hei! Lepaskan aku!” sahut suara menyebalkan itu lagi.            Lucius mendesah panjang, lalu melompat turun dari pohon tempatnya tidur tadi. Sambil menggaruk pipinya yang sedikit gatal karena kemungkinan digigit oleh nyamuk, ia berkata, “Kali ini alasan apa lagi yang ingin kau katakan?”            Seorang gadis dengan pakaian yang sudah tidak karuan terikat pada sebuah pohon tidak jauh darinya. Tidak hanya itu, kaki dan tangannya juga terikat dengan kuat, membuatnya semakin sulit bergerak. Rambutnya yang berwarna cokelat tidak membuatnya spesial, tetapi matanya yang berwarna merah layaknya batu rubi mengubah penilaian sebelumnya.            Gadis itu menggertakkan giginya karena kesal ketika Lucius mendekat. “Sebenarnya apa yang kau inginkan? Kenapa kau tidak membunuhku seperti yang lain?” tanya gadis itu pada Lucius.            Selalu pertanyaan sama yang membosankan. “Karena seseorang yang membayarku cukup mahal menginginkanmu untuk kembali, ‘Tuan Putri’,” kata Lucius dengan nada mengejek.            Gadis itu mendengus. “Apa kau seseorang yang disuruh oleh ayahku? Katakan padanya, aku tidak akan pernah kembali lagi padanya!”            “Sayangnya, aku sudah setuju untuk melakukan permintaannya.” Lucius menengadahkan wajahnya, melihat pekatnya malam. Sepertinya pagi masih lama.            “Tolong, aku mohon. Aku tidak ingin kembali padanya,” rengek gadis itu. Akhirnya, ia tidak bisa menahan perasaannya lagi, ya?            “Kenapa?” tanya Lucius sambil berjalan mendekati gadis itu.            “Aku tidak memiliki kebebasanku sendiri. Ayahku selalu menyuruhku untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya. Kau ... kau seumuran denganku, ‘kan? Apa kau juga disuruh oleh ayahmu menjadi seorang pembunuh?”            Lucius menatap wajah gadis itu, senyuman tipis langsung terpasang di wajahnya. “Tidak. Aku menjadi seorang pembunuh karena keinginanku sendiri.”            Gadis itu mulai meneteskan air mata. “Kau iblis!”            “Terserah kau ingin menyebutku sebagai apa,” kata Lucius singkat sambil mengeluarkan belatinya. Kemudian ia memutuskan tali yang mengikat gadis itu. “Ingin menyebutku iblis, seseorang yang tidak memiliki perasaan, atau apa pun itu. Karena … semua itu benar.”            Gadis itu hanya bisa kembali menangis dengan kencang. Masih berusaha menendang Lucius dengan kedua kakinya, ia terus meneriakkan sumpah serapah padanya.            Meski Lucius menutup kedua telinganya, suara gadis itu tetap terdengar dengan keras. Akhirnya, ia menutup mulutnya dengan kain yang diikatkan pada kepalanya.            Setidaknya, teriakkan gadis itu sedikit teredam dan menyelamatkan telinga Lucius. Meski tubuh gadis itu tidak lebih kecil dibandingkan dengan Lucius, tetapi ia tetap dengan mudah memanggul gadis itu di sebelah bahunya seperti memanggul sebuah karung yang berisi kentang.            “Ah, semoga saja aku mendapat bayaran lebih karena membawamu lebih cepat dibandingkan dengan waktu yang ditentukan,” kata Lucius dengan malas. Setelahnya, ia mulai berlari dengan cepat. Seperti tidak ada beban apa pun di bahunya.            .            .            Meski melihat kedua mata gadis yang dipenuhi oleh putus asa, Lucius tidak merasakan apa pun ketika ia sampai di tempat perjanjiannya dengan klien yang menyuruhnya untuk membawa gadis itu padanya.            Ketika ia sampai di tempat itu, langit masih sangat gelap. Untung saja klien yang membuat perjanjian oleh Lucius sudah berada di sebuah gubuk tua yang ada di tengah hutan sesuai dengan janji yang dibuatnya.            Pipi kliennya yang sangat tembam dengan beberapa lapisan lemak pada lehernya, dan tubuhnya yang tidak kalah besar membuat Lucius ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu.            “Kerja bagus. Seseorang dari keluarga Xlavyr memang tidak pernah mengecewakan,” kata orang itu sambil memperlihatkan giginya yang dilapisi oleh emas pada Lucius.            “Bayaranku,” kata Lucius singkat. Tidak ingin menghabiskan waktunya lebih lama di tempat ini.            Kliennya hanya tertawa terbahak-bahak. Sambil melambaikan tangannya yang gempal, ia berkata, “Tunggulah sebentar. Aku harus memeriksa keadaan barang yang sudah kuterima terlebih dahulu … apakah ada cacat atau tidak,” katanya pelan sambil menjilat bagian bawah bibirnya.            Sayangnya, Lucius belum menerima uang hasil pekerjaannya. Jika sudah, mungkin ia akan menebas satu atau dua jari orang yang ada di depannya ini. “Lakukan dengan cepat. Pekerjaanku masih banyak.”            Kliennya terkekeh pelan, sambil mengusap-usap tangannya dengan mata yang berkilat menjijikan, ia berkata, “Oh tentu … tentu … tunggulah di luar. Oh, atau kau ingin ikut bersamaku?”            Lucius langsung  memutar tubuhnya untuk pergi menjauhi gubuk tua itu. Tidak lama setelahnya, teriakkan sama yang beberapa jam lalu selalu mengganggu tidurnya kembali terdengar. Tetapi, kali ini suara teriakkan itu terdengar menyedihkan.            .            .            Pekerjaan selanjutnya langsung ia kerjakan setelah ia mendapat bayaran dari pekerjaannya yang sebelumnya. Setidaknya untuk pekerjaan kali ini, ia tidak perlu berinteraksi dengan orang yang menjengkelkan seperti gadis itu.            Kali ini, Lucius hanya perlu mengantar sebuah paket yang tentu saja terlihat mencurigakan. Meski begitu, pekerjaan adalah pekerjaan. Ia tidak akan menanyakan apa pun selama ia melakukan pekerjaannya.            Tetapi karena puluhan orang yang selalu mengganggunya selama ia mengirimkan barang itu … ia akan meminta bayaran lebih. Kali ini, ia harus mendapatkannya.            Barang yang ada di tangan Lucius ini pasti sangat berharga. Karena, puluhan orang yang mengganggunya tidak peduli meski nyawa mereka melayang dengan mudah bagaikan dandelion yang tertiup angin.            Selama orang-orang itu mengganggu pekerjaan Lucius, ia harus berusaha dengan sekuat tenaga, semampunya untuk menahan kuapnya. Serangan yang dilakukan oleh orang-orang itu begitu membosankan, bahkan jika saat ini Lucius hanya memegang sebuah sendok, bukannya dua buah belati kesayangannya, mungkin ia masih tetap bisa mengalahkan orang-orang itu.            Akhirnya, setelah lebih dari lima puluh jari kelingking dikumpulkan oleh Lucius, ia bisa kembali melanjutkan pekerjaannya untuk mengirim ‘paket’ ke tempat tujuan.            “Ah, aku tidak akan menerima pekerjaan untuk mencari orang dan mengirim paket lagi,” gumam Lucius sedikit kesal sambil memasukkan lima puluh jari kelingking pada kantong yang selalu ia bawa setiap melakukan pekerjaan.            Untungnya, tidak ada lagi dandelion yang mengganggu Lucius sampai ia tiba di tujuannya. Lagi-lagi, klien yang berwajah menyebalkan terlihat oleh Lucius.            “Apa yang membuatmu terlambat, hah!? Apa segini kemampuan keluarga Xlavyr?” oceh orang itu.            Lucius melemparkan paket tepat di wajah kliennya. Sebelum kliennya protes, ia melemparkan kantong berwarna hitam kembali tepat di wajahnya.            “Bonus untukmu,” kata Lucius pelan sambil melipat tangannya di d**a.            Klien itu mendecakkan lidah, kemudian melihat isi kantong yang diberikan oleh Lucius. Pekikkan pelan terdengar darinya, dengan cepat ia membuang kantong itu.            “Bayaranku,” kata Lucius singkat.            Klien itu tidak lagi bersikap arogan pada Lucius. Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia memberikan Lucius kantong berisi koin emas padanya.            Lucius mengangkat kantong itu setinggi dadanya, kemudian berkata, “Tambahan untuk menghilangkan pengganggu itu mana?”            Tanpa basa basi, kliennya langsung mengeluarkan sepuluh koin emas dari kantong celananya, dan memberikannya pada Lucius secara langsung.            Lucius tertawa sinis. “Senang bekerja sama denganmu,” katanya sebelum ia pergi dari tempat itu.            .            .            Lucius membuka pintu ‘rumahnya’ dengan malas. Pekerjaan hari ini sungguh membosankan. Ia menggenggam salah satu belati di sebelah tangannya, kemudian melemparkannya ke balik pintu.            “Bagus, kau langsung menyadari keberadaanku,” kata seseorang yang membuat hari Lucius semakin menyebalkan.            “Dengan nafsu membunuhmu itu, kau berusaha untuk sembunyi? Apa kau bercanda, kakak?” tanya Lucius.            Seseorang yang Lucius panggil sebagai kakak keluar dari tempat persembunyiannya. Wajahnya hampir sama dengan Lucius, begitu pula dengan mata dan warna rambutnya. Yang membuatnya lebih menarik perhatian adalah rambutnya yang panjang untuk seorang laki-laki, dan juga sebuah tindik di telinga sebelah kirinya.            “Ayolah, jangan sinis seperti itu. Aku merindukan Lucius yang selalu mengejarku dan mengajakku untuk bermain—”            “Katakan apa maumu, Lakra,” putus Lucius sebelum kakaknya ini kembali mengoceh dengan panjang.            Dengan wajah yang dibuat sedih, Lakra berjalan menuju sofa dan duduk di atasnya. “Bagaimana pekerjaan kali ini?” tanya Lakra yang sengaja membuat Lucius lebih kesal dibandingkan dengan sebelumnya.            Lucius mendesah kesal, dan melemparkan dua buah kantong yang berisi koin emas. “Membosankan. Jangan berikan aku pekerjaan untuk mencari orang hilang dan mengirimkan paket.”            Lakra mengangkat sebelah alisnya. “Oh? Tapi, dilihat dari banyaknya uang yang kau dapat ... sepertinya kau juga ‘bermain’ dengan banyak orang, ‘kan?” katanya sambil melempar tiga puluh koin emas pada Lucius.            Lucius mendengus pelan. “Pekerjaan kita memang seharusnya seperti ini, bukan?”            “Pikiranmu itu sangat tua, Lucius. Di masa yang seperti ini, kita harus bisa menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang tersedia.”            “Sayangnya, aku tidak sepemikiran denganmu.”            Lakra terkekeh pelan, kemudian ia mengeluarkan selembar kertas dari kantong celananya. “Ini pekerjaanmu selanjutnya.”            Lucius mengambilnya, lalu membaca kertas yang diberikan oleh kakaknya dengan seksama. Sedetik kemudian ia mengangkat sebelah alisnya dan meremas kertas itu dengan kesal. “Sudah kubilang, aku tidak ingin pekerjaan seperti ini! Menjadi seorang pengawal? Apa yang kau pikirkan ketika menerima pekerjaan seperti ini, kak!?”            “Kau akan mengawal seorang anak bangsawan. Kau lihat penjelasannya, bukan? Dia seorang gadis, dan anak satu-satunya. Orang tuanya baru saja meninggal beberapa minggu lalu, dan dia mendapat seluruh harta yang dimiliki oleh kedua orang tuanya.”            “Lalu, kenapa?”            Lakra mendecakkan lidahnya. “Sudah kukira pengalamanmu masih kurang, Lucius.”            Lucius mendengus kesal sambil melipat tangannya di d**a.            “Berarti, akan ada banyak orang yang ingin membunuhnya untuk mendapatkan hartanya! Kau bisa membayangkannya, bukan? Kau bisa membunuh banyak orang,” lanjut Lakra.            Lucius mendecakkan lidahnya, lalu kembali mengambil kertas yang baru saja ia lempar, kembali membaca tugasnya sekali lagi. “Baiklah, akan kukerjakan. Tetapi lain kali ... jangan memilih pekerjaan seperti ini lagi untukku.”            Lakra mengangkat kedua bahunya menyerah. “Baiklah, lakukan apa yang kau inginkan. Ini tempat yang harus kau tuju. Kau akan mengawalnya selama lima hari,” lanjutnya sambil memberikan Lucius selembar kertas lain dengan alamat yang tertulis di atasnya.            Lucius mengerang pelan dan protes panjang lebar pada kakaknya, yang tentu saja tidak didengar sedikit pun olehnya. Meski begitu, keesokan paginya Lucius tetap berangkat menuju rumah kliennya yang baru.            Semoga saja pekerjaannya kali ini tidak separah seperti seseorang yang harus mengurus bayi. Tetapi entah kenapa, rasanya Lucius tahu bahwa kejadian yang bisa mengubah hidupnya akan terjadi saat ia mengerjakan tugas kali ini. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN