Wangian Khas

1160 Kata
Bram terlihat cuek dengan perkataan Pak Arya. Padahal, dia tidak biasanya menjadi orang yang tak tanggap. Seperti ada sesuatu hal yang aneh, jika dilihat dari sorot matanya. Nalendra bergerak ke arah Bram. Tangannya mulai menyentuh pundak untuk menyadarkan temannya yang sedang melamun. Apalagi, matanya yang tampak sayu itu. Bahkan, sampai mereka kembali ke rumah Pak Arya pun, Bram masih memiliki tatapan yang aneh. “Lo sakit?” tanya Nalendra dengan berbisik. “Eh, iya?” jawabnya yang terlihat kebingungan. Rupanya, sudah tidak beres dengan Bram. Pak Arya menatap Bram dari balik kacamatanya yang merosot ke bawah, nyaris sampai hidungnya. Beliau beranjak untuk mendekati Bram yang masih terlihat bingung itu. Berdiri di hadapan Bram sembari memberikan satu gelas air putih. Sepertinya, Pak Arya telah sadar dengan apa yang dialami Bram. “Coba apa yang kamu rasakan sampai tidak mendengar sekitar?” tanya Pak Arya dengan lemah lembut. “Saya hanya mencium bau dupa, tapi bukankah di sini tidak ada dupa?” jawab Bram sembari mengedarkan matanya ke penjuru arah. Benar saja, di sekeliling rumah Pak Arya tidak ada satu pun dupa yang dinyalakan. Nalendra pun menyetujui dengan Bram. Bahwa dia pun tahu kalau di ujung desa ada beberapa dupa yang menyala dengan kepulan asap. Sebagai manusia yang normal, seharusnya dupa itu tak tercium dari rumah Pak Arya. Artinya, Bram memiliki kepekaan yang kuat dalam merasakan hal-hal yang tak kasat mata. “Oke, kamu jangan melamun. Saya ingatkan sama kalian, selama di sini jangan pernah melakukan kegiatan yang tidak senonoh serta jangan pernah melamun berlebihan,” kata Pak Arya kembali duduk di tempat asalnya. Kemudian, mengambil satu tempe mendoan untuk dimakannya. “Silakan di makan dulu,” sambungnya menawarkan hidangan yang tersaji di meja. “Terima kasih, Pak. Tapi, kalau boleh tahu, sebenarnya di ujung sana, kan, ada jalan yang tertutup ... apa itu berbahaya atau karena apa?” tanya Pratiwi sedikit berhati-hati. “Tidak ada apa-apa dengan titik tempat itu. Hanya saja, lebih baik kita hindari untuk masuk ke tempat itu. Kalian cukup percaya dan menaati peraturan. Selain itu, jangan aneh-aneh, saya jamin kalian selamat sampai rumah setelah selesai KKN nanti,” jawab Pak Arya dengan senyum yang mengembang begitu manis. Perkataan Pak Arya terdengar seperti sebuah jawaban yang berlawanan. Justru dengan pernyataan itu membuat seorang Nalendra semakin penasaran dengan tempat itu. Terlintas di dalam pikirannya untuk mencoba masuk ke dalam sana. Tapi, dia pun enggan untuk melanggar apa yang sudah menjadi larangan di tempat itu. “Pak Arya, kenapa saya bisa mencium aroma khas asap dupa? Padahal, kan, tidak ada dupa di sini,” kata Bram sembari meneguk air putih dari gelasnya. “Karena kamu tadi dalam keadaan yang tidak sadar. Pikiranmu itu di bawah sadar. Jadi, ya, sudah begitu, terganggu. Kita harus ingat kalau hidup itu tidak hanya berdampingan dengan manusia saja, tapi juga dengan makhluk yang tak kasat mata,” jawab Pak Arya sembari berlalu ke dalam rumah. Beliau izin untuk mengambil beberapa berkas yang harus disampaikan kepada keempat anak kuliah itu. Beberapa menit kemudian, Pak Arya telah kembali duduk di kursinya. “Pak, apa ada hal penting lainnya?’ tanya Dewi dengan sopan. Sebenarnya, Dewi merasakan badan yang kurang sehat. Bahkan, dilihat dari bibirnya saja bisa dibilang berwarna abu-abu, pucat. Tapi, dia memaksa untuk tetap mengikuti apa yang sedang dikerjakan di tempat KKN-nya. “Tidak. Saya hanya ingin memberikan berkas ini ke kalian,” katanya sembari memberikan satu map kertas berisikan tulisan yang harus keempat anggota KKN itu patuhi selama tinggal di desa. Beberapa saat kemudian, mereka memilih kembali ke rumah yang sudah disediakan. Mereka duduk di dalam sembari menikmati camilan yang diberi oleh Pak Alya. Duduk bersama, sembari membaca beberapa larangan yang harus dipatuhi selama ada di desa. Di sana tertulis bahwa salah satu larangannya adalah masuk ke dalam kebun dengan jalan ditutup balok kayu dan kain hitam. Benar-benar, secara logika, hal ini menyembunyikan rahasia besar yang tidak bisa diungkapkan kepada orang lain. “Gila, sih. Gue kenapa jadi sama kaya Bram. Gue cium aroma dupa yang menyengat banget di hidung. Tambah lagi, gue gak suka aroma asap-asap sejenis itu,” kata Pratiwi sembari menutup hidung dengan kerudungnya. “Tiwi, lo serius? Kok ... gue sama sekali enggak mencium bau dupa?” jawab Dewi sembari menggaruk kepala dan mata mengedar ke arah luar mencari dupa, tapi sama saja. Tidak ada satu pun dupa yang menyala. “Enggak, gue bohongan. Mana mungkin gue serius kalau bukan hal penting?” jawab Pratiwi sembari mengambil air dari botol kemasan. “Tapi, gue penasaran sama itu jalan,” ujar Nalendra menghentikan perdebatan antara kedua cewek agar tidak berkepanjangan. “Sama, tapi apa daya?” jawab Dewi yang berjalan ke arah kamar untuk mengambil jaketnya. Saat ini, cuaca di desa itu begitu dingin. Bahkan, sampai terasa sampai ke tulang-tulang. Sekitar pukul delapan malam, tepatnya setelah selesai salat isya. Nalendra pamit untuk pergi ke rumah Pak Arya dengan alasan ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Tapi, anehnya, dia tidak ingin ditemani siapa pun. Tidak lama kemudian, Bram mengikuti Nalendra untuk pamit keluar, tapi dengan alasan membuang air kecil ke rumah Pak Arya, katanya dia takut jika harus masuk ke kamar mandi belakang rumah bambu itu. Nalendra berjalan berlawanan arah dengan rumah Pak Arya. Kakinya melangkah ke arah jalan yang dilarang itu. Karena hal itu, Bram pun ikut mengikuti Nalendra. Penuh kehati-hatian agar tidak ketahuan oleh Nalendra. Mereka melenggang masuk ke area kebun itu dengan paksa. Terus menelusuri area itu, walaupun mereka tahu tidak ada jalan yang bisa ditapaki dengan baik. Mereka harus menempuh semak belukar untuk mencari tahu tentang hal yang dilarang itu. Nalendra melihat ada sebuah sanggar di dalam sana. Tapi, entah sanggar apa. Di sana tidak ada tulisan yang terpajang untuk memberikan informasi. Tapi, dilihat dari struktur bangunan, jelas saja itu bangunan tua yang terbengkalai. Tidak lama kemudian, wangi dupa dan bunga mawar beradu kuat, tercium oleh Nalendra sampai terasa sesak. Melihat aura tempat yang negatif, Nalendra memutuskan untuk buru-buru kembali ke rumah. Bram yang mengetahui Nalendra berbalik arah pun menganggapnya tidak berani. Akhirnya, Bram tetap menelusuri tempat itu sampai mendetail. Berkeliling di sekitar bangunan itu sampai melihat seorang perempuan cantik yang sedang berlenggok menarikan sebuah gerak tradisional. “Bening amat itu cewek,” lirih Bram. Tanpa sengaja, tatapan mereka bertemu hanya terbatas kaca jendela yang telah kumuh termakan usia. Bram menundukkan kepala lalu melanjutkan perjalanan. Melihat ada sebuah panggung yang terlihat mewah dan megah, bisa dikatakan mirip dengan panggung konser untuk seniman terkenal. Melihat ke arah panggung yang terpasang berbagai macam karya seni. Mulai gambar, lukisan, patung, dan lainnya yang menghiasi panggung itu. Bram merasakan d**a yang semakin sesak karena asap dupa, tidak lama kemudian, Bram memutuskan untuk segera kembali ke rumah. Tapi, di tengah jalan, dia dihadang oleh seorang perempuan yang ia lihat tadi. “Besok, main ke sini, ya, bawa kawan,” katanya dengan lembut. Sosok perempuan itu masih menggunakan pakaian yang lengkap layaknya seorang penari tradisional. “Maksudnya?” jawab Bram lirih. “Iya, bawa kawan ke mari. Besok, bakal saya kasih tahu cara untuk mendapatkan ... “
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN