Iman Kuat di Hati Pratiwi

1528 Kata
Bram berjalan ke arah pintu yang sama. Sepanjang perjalanan, Bram merasakan ada sesuatu yang salah dengan gadis itu. Tapi, apa yang ia janjikan begitu menarik pemikirannya. Rasa cinta yang ada di dalam hatinya untuk seorang perempuan idamannya begitu mendalam. Rasanya, janji gadis penari itu sangat menggiurkan Bram. Bram masuk ke dalam rumah sederhana itu lalu duduk di sebuah bangku kayu. Menatap Nalendra dengan tatapan yang tidak biasa. Terlebih, Bram merasa bahwa ada sesuatu yang ditutupi oleh Nalendra. Bram mengambil air putih untuk menetralkan diri yang masih tak percaya akan apa yang terjadi beberapa jam yang lalu. Saat ini, waktu telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Kedua gadis telah tertidur di ruangannya. Hanya tersisa Nalendra yang masih menunggu kepulangan Bram. “Lo dari mana?” tanya Nalendra sembari mengamati wajah Bram yang bercucuran keringat. “Dari rumah Pak Arya,” jawabnya dengan suara yang terdengar gugup. “Oh,” kata Nalendra sembari bergegas mengunci pintu. Sebuah pintu yang hanya bisa dikunci dengan kayu pula. Lalu, memejamkan mata dengan bersandar pada tembok anyaman bambu itu. Menggunakan sarung untuk bersembunyi dari nyamuk-nyamuk nakal itu. Keesokan harinya, tepat pukul empat pagi, Bram telah selesai mandi di kamar mandi belakang rumah itu. Setelah selesai mandi, ada sesuatu yang aneh dari Bram. Terlihat wajahnya yang tampak terpancar seperti bercahaya. Berseri-seri seperti layaknya orang yang menjaga air wudu. Padahal, Bram tidaklah seorang laki-laki yang selalu menjaga wudu. Dia duduk di bangku kayu dengan menikmati minuman teh panas dalam gelas. Rambutnya yang masih basah dan handuk yang masih disampirkan di pundaknya, menambah ketampanan dalam dirinya. “Bram, tumben banget. Btw, lo pakai sabun apa?” tanya Pratiwi yang baru selesai menjalankan salat subuh. “Eh, Tiwi, sini!” Bram meletakkan gelas ke meja lalu beranjak untuk membuat segelas teh lagi untuk diberikan pada Pratiwi. “Kenapa?” tanya Pratiwi. “Ini ... minum dulu,” kata Bram berhadapan dengan Pratiwi di samping meja yang sebenarnya sudah reyot, tapi masih mampu menahan beban. “Boleh enggak gue minta tolong sesuatu?” Bram duduk di samping kanan Pratiwi. Belum juga dijawab, tiba-tiba Nalendra pulang dari masjid lalu duduk di bangku yang sama. Dalam beberapa detik kemudian, Nalendra berdiri untuk membuat sebuah gelas teh. Rupanya, meminum teh di pagi hari membuatnya merasa hangat, tambah lagi hubungan antara mereka saat ini begitu terlihat masih hangat. Dari pintu ruangan itu keluar Dewi yang baru selesai beribadah. Dewi pun turut ikut bergabung untuk menikmati teh. “Oh iya, Bram ... lo tadi mau minta tolong apa?” tanya Pratiwi sembari meneduh teh panas yang masih mengeluarkan asap dari dalam gelas. “Sama gue saja Bram, apa yang lo butuhkan?” timpal Nalendra yang sudah curiga sejak semalam. “Ogah,” jawab Bram. Keesokan harinya, mereka berjalan keliling desa untuk melemaskan organ-organ tubuh yang tampak berat dengan segala beban. Dewi dan Nalendra jauh lebih depan dari Bram, sedangkan Pratiwi yang memang lemah dalam hal olahraga pun berada di barisan paling belakang. Bram yang menyadari dengan Pratiwi yang masih tertinggal pun inisiatif untuk menunggunya. Dia juga merelakan seorang perempuan yang menjadi idamannya berjalan lebih dulu bersama Nalendra. Bram berdiri di tepi jalan sembari mengurut kakinya yang telah tampak lelah untuk menunggu Pratiwi. “Pegal soalnya,” kata Bram kepada Pratiwi yang sudah berada di dekatnya. Perkataannya itu hanya sebuah alibi agar Pratiwi tidak begitu curiga. Bram berdiri tegak lalu mengajak Pratiwi kembali jalan. Tepat dekat dengan pintu jalan yang dilarang itu, Bram mulai melakukan rencananya. Bram mulai menggoda Pratiwi agar rasa penasarannya semakin menggebu sehingga bisa untuk ikut dengannya masuk ke dalam. Menemui gadis yang ditemui Bram kala malam itu. Tapi, Pratiwi menolaknya lalu berjalan lagi dengan langkah yang lebih dipercepat. Beberapa waktu kemudian, mereka telah selesai olahraga pagi. Mereka pergi ke rumah Pak Arya untuk konsultasi kelanjutan program kerja. Pak Arya memberikan usul untuk melakukan pembuatan bak mandi terlebih dahulu. Sebab, menurutnya hal itu jauh lebih baik dan dibutuhkan. Mengingat, masih banyak warga yang belum memiliki kamar mandi sendiri. “Saran dari Bapak bagus, sih. Jadi, memang saat ini jauh lebih baik untuk tempat untuk penampungan air yang bisa digunakan warga. Jadi, kami akan membantu untuk membuat itu, kebetulan juga, pihak dari desa akan melaksanakan hal ini juga,” jawab Nalendra sembari menuliskan poin penting dari pembicaraan pagi ini. “Iya, Mas. Mengingat, selama ini warga mandi dan ambil air untuk keperluan sehari-hari, ya, mengandalkan gentong di belakang rumah yang kalian tempati. Jadi, menurut saya lebih baik membangun bak mandi untuk umum,” jawab Pak Arya yang disambung dengan menawarkan hidangan yang baru disajikan oleh ibu Rahma. “Baik, Pak. Terima kasih. Lalu, untuk material, apa dari pihak desa sudah ada?” tanya Nalendra yang sebenarnya jauh lebih pantas dijadikan ketua di kelompok ini daripada Bram. Justru, Bram yang dipercaya sebagai ketua malah seenaknya sendiri mengerjakan berbagai kegiatan yang mereka lakukan. Sebenarnya, kelompok mereka hanya orang-orang sisa dari kelompok lain yang sudah genap. Padahal, sebelumnya pihak kampus sudah memberikan kelonggaran untuk gabung bersama kelompok lainnya, tapi mereka memilih untuk membuat kelompok sendiri. Mereka memilih itu agar memiliki kenangan dan kisah tersendiri. Rupanya, kisah itu jauh dari apa yang menjadi angan sebelumnya. “Pak, kenapa harus membuat bak mandi? Padahal, sudah ada gentong itu, kan? Dasar, tidak puas dengan apa yang sudah ada, bagaimana bisa bersyukur?” kata Bram sembari menyesap rokoknya. Bahkan, kakinya terangkat ditumpangkan di kakinya yang lain. Membuat malu nama baik kelompok dan kampus. “Bram .... “ Pratiwi menatap laki-laki itu dengan jengah, tapi Bram menatapnya dengan penuh kelembutan. Tapi, bukan sebuah lemah lembut yang ikhlas melainkan terpaksa karena ada kemauan untuk mengajak Pratiwi masuk ke area terlarang itu. “Oke. Maaf,” kata Bram singkat masih setia dengan rokoknya. “Bukan tidak merasa puas, Bram. Tapi, apa menurutmu dengan satu gentong bisa mencukupi orang banyak? Selain itu, dengan menunggu tandon penuh kembali juga membutuhkan waktu,” jawab Pak Arya dengan tersenyum. Dari jalan, depan rumah, terlihat ada dua orang warga yang mendekat. Mereka mengucapkan salam lalu turut duduk bersama. Rupanya, mereka merupakan warga yang diundang Pak Arya untuk ikut musyawarah, sebagai perwakilan dari warga. Mereka pun sepakat dengan Pak Arya yang menginginkan adanya tempat yang layak sebagai tandon air. “Menurut saya, jika memang akan membangun bak air seperti impian warga, lebih baik berada di titik yang strategis dan terjangkau oleh warga dengan adil,” ujar salah satu warga memberikan usul. Beliau berwarna Pak Dadang yang sedang memakai kaos berwarna merah bergambar tani. Mungkin, kaos itu dia dapatkan dari toko tani terdekat, sebagai bonus pembelian pestisida. “Rencana saya, dibangun di dekat kebun. Di saja kan jauh lebih terjangkau sama warga,” kata Pak Arya. Mendengar penuturan itu membuat Bram menjadi jauh lebih semangat. Bukan karena kemauannya untuk ikut membahas dan menyetujuinya, melainkan agar bisa memiliki kesempatan lebih untuk masuk ke daerah yang pernah di kunjungi tempo hari. Akhirnya, selama kurang lebih satu jam, mereka telah selesai membahas hal itu. Membangun bak mandi di dekat kebun dimulai Hari Minggu sebagai keputusan akhir. Kini, keempat anak kampus itu telah kembali ke rumah. Bram dan Nalendra duduk di bangku kayu di ruang tamu dengan aktivitasnya masing-masing. Sedangkan, Dewi dan Pratiwi berada di dapur untuk memasak menggunakan kompor dan alat dapur yang dipinjamkan oleh ibu Rahma. Belum lagi, bahan masakan juga beliau yang menyiapkan. Begitu beruntung, bisa bertemu dengan orang-orang baik yang menolong di desa ini selama KKN. “Ndra, pinjam ponsel dong, kamera gue burik,” kata Bram. Dia ingin mengambil gambar pemandangan di desa itu. Nalendra pun memberikan ponselnya untuk digunakan oleh Bram. Tanpa ada rasa curiga atau apa pun. Pikir Nalendra, dengan ponsel digunakan Bram untuk mengambil beberapa dokumentasi akan memudahkan dalam penyusunan laporan, kelak. “Nalendra, kenapa lo kasih hp ke Bram? Menurut gue, dia itu kurang baik. Takutnya, bakal disalahgunakan. Lagi pula, dia juga punya ponsel sendiri. Kalau pun mau mengambil gambar untuk dokumentasi, bukankah kita juga sewa kamera?” kata Dewi yang baru saja keluar dari dapur sembari membawa satu mangkuk berisi sayur. “Ya, sudahlah. Jadi, orang tidak usah berpikiran negatif, Wi.” “Tapi, Bram itu orangnya tidak akan pernah merasa puas. Dia itu .... “ “Hush, makan saja, yok,” timpal Pratiwi yang telah membawa satu nampan berisi lauk, nasi, dan empat piring serta sendok. Kemudian, Dewi kembali ke dapur mengambil empat gelas dan satu botol air mineral dengan berat satu setengah liter air. Pratiwi beranjak keluar untuk memanggil Bram. Bagaimana pun sikap Bram, dia tetap satu kelompok. Mereka pun masih membutuhkan peran Bram dalam kelompok agar kegiatan tetap bisa berjalan sampai selesai, nanti. “Oke,” jawab Bram sembari mematikan ponsel milik Nalendra. Mereka menikmati makan siang di hari itu. Kemudian, entah ke mana perginya Nalendra dan Dewi setelah selesai makan. Justru, hal itu menjadi sebuah kesempatan emas bagi Bram untuk mengajak Pratiwi ke tempat itu. Benar-benar kekeh dalam berjuang merayu Pratiwi. Lagi-lagi, Pratiwi menolaknya dengan keras. Iman masih ada di dalam hati Pratiwi. “Tiwi, ayolah, bukannya kamu juga penasaran? Lagian mumpung masih ada di sini,” kata Bram. “Enggak, takut gue. Pamali,” jawabnya. “DASAR CEWE CUPU!” teriak Bram lalu duduk ke teras, sebelumnya, dia membanting pintu kayu itu dengan sedikit keras. Beruntung, tidak memberikan dampak buruk pada bangunan, mengingat kondisi rumah yang sudah tak kokoh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN