Malam makin larut ketika Arum dan keluarga duduk dan berbincang di beranda, terlebih ketika memperhatikan tingkah pola Fara yang kian lucu dan menggemaskan.
“Ya,,, doakan Era bisa cepet hamil lagi, Um. Biar bisa memberikan keturunan buat Kak Azzam.” Era bicara dengan polos dan apa adanya namun saying kalimat itu justru membuat Azzam dan umminya terhenyak.
“Kamu itu bicara apa ?”
“Lho, kenapa, salah ya ?” Tanya Era heran.
“Fara ini juga anakku, nggak usah dibeda-bedakan.” Azzam menimpali.
“Iya, Er, bagaimanapun juga Fara adalah bagian dari keluarga ini, yang penting kalian bisa terus baik, tidak tercerai berai, tetap setia, itu saja sudah cukup.” Arum bicara seolah pada dirinya sendiri.
Mereka pun akhirnya memilih beristirahat saat tahu bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 Waktu Indonesia Tengah. Tapi tidak dengan Arum, dia masih duduk di beranda, memejamkan mata sambil menikmati semilir angin. Ia seolah ingin menyatu dengan dingin dan menghayati arti sendiri. Hingga Hendrik menyapanya.
“Um, belum tidur ?”
“Iya, Mas. Mas duduk di sini yuk, aku ingin ngomong.” Ucap Arum santai tepatnya berusaha untuk santai.
“Ada apa ?” Hendrik menarik kursi dan duduk di depan Arum.
“Itu lho, Mas, aku tadi dating ke acara bisnis, kebetulan aku dapat job mendesain gaun untuk sebuah perusahaan yang akan launching dua bulan lagi. Hasilnya sih lumayan.”
“Alhamdulillah, bagus dong.”
“Iya Mas, tetapi aku itu tadi anu..” Arum menjadi gagap, ia bingung harus memulai dari mana agar apa yang diucapkan tidak menjadi tuduhan. Bila itu terjadi maka perbincangan kali ini akan menjadi tidak nyaman.
“Kenapa, Um ?”
“Itu jilbab biru yang Mas belikan waktu Mask e Turki, kok nggak ada ya.”
Akhirnya hanya pertanyaan itu yang mampu Arum ucapkan.
“Yang mana ?” Tanya Hendrik.
“Yang biru motif bunga tulip, yang ada tiga warna.” Arum mencoba mendiskripsikan.
Hendrik menerawang sejenak. Lalu ia sepertinya ingat sesuatu.
“Oh, itu, iya aku berikan ke keponakan Pak Bil saat kemarin dia ulang tahun, aku bingung mau bawa kado apa ? Akhirnya kado itu yang aku bawa.” Jawab Hendrik lancer. Arum sedikit tenang.
“Tumben tidak minta tolong aku untuk membelikan, “
“Sudahlah, Um. Hanya sebuah jilbab.” Jawab Hendrik berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Bukan tentang jilbabnya, Mas. Tapi ijinnya itu, lho.” Arum mulai sedikit ketus.
“Sebentar, apa betul adik Pak Bil itu teman sekolah Mas Hendrik waktu di SMA ? “ Tanya Arum tepat sasaran. Membuat Hendrik sedikit kebingungan.
“Yang mana ?” Tanya Hendrik mencoba mencari alas an.
“Yang cewek, yang janda.” Suara Arum menjelaskan, Hendrik berlagak sedang mengingat sesuatu.
“Aku lupa, Um.” Suara Hendrik akhirnya.
Hendrik pun berlalu meninggalkan Arum yang terdiam, ia belum menyusul Hendrik hingga malam begitu larut. Ia masih duduk di kursi yang sama dan berusaha memecahkan misteri antara jilbab biru, Hendrik suaminya juga Ayumi mitra bisnisnya.
Dunia ini terasa begitu sempit, setiap apa yang berhubungan dengan Hendrik selalu Arum mampu mengetahuinya, apakah itu terjadi karena memang Tuhan inginnya begitu ? Arum juga tak tahu.
Lamat-lamat Adzan subuh terdengar, Arum kaget bukan kepalang saat menyadari bahwa dirinya masih duduk di bangku yang sama sejak semalam. Arum bangkit mengambil air wudhu, melepaskan semua partikel letih yang ada di tubuhnya lalu berjibaku dengan rindunya pada Tuhan. Rokaat demi rokaat ia biarkan berlalu, ada yang mulai mengalir dalam hatinya… perasaan damai dalam dekap kasih saying TuhanNya. Peristiwa sholat itu peristiwa Maha hebat, kita menyampaikan pinta di bumi tetapi yang mendengar seluruh penduduk langit dan yang mengabulkan justru pemilik bumi dan langit.
Usai sarapan, Hendrik nampak memakai pakaian olahraganya.
“Mau kemana, Mas.”
“Mau jalan-jalan tapi ketemuan dengan teman-teman di Patmaraga jadi aku naik motor online saja.” Arum hanya diam, kecurigaan masih menyelimuti hatinya namun sedikitpun ia tidak ingin protes.
Selepas kepergian Hendrik, Arum mencoba membukai alamat email Hendrik untuk mengetahui Hendrik pergi kemana hari ini. Beruntung sebuah laporan dari aplikasi online masuk dan menunjukkan tujuan Hendrik hari ini.
Arum menghubungi Kartika lalu menanyakan tentang alamat tersebut benarkah itu alamat Ayumi ? Kartika langsung menjawab “ Sepertinya, Ia.”
Tak menunggu waktu lama Arum bergegas menstater mobilnya lalu berangkat menuju alamat itu. Ia menunggu di depan rumah namun mobilnya ia biarkan berhenti agak jauh dari rumah tersebut. Arum sedikit gusar karena belum ada tanda-tanda apapun. Hingga kemudian seorang lelaki dengan dua wanita muncul, mereka saling berjabat tangan dan mencium tangan lelaki itu dengan takdim. Hati Arum bukan hanya bergemuruh tapi ia ingin sekali berteriak lalu mengobrak-abrik semuanya namun sekali lagi ia mencoba menahan diri.
Dua orang itu pun masuk saat motor yang ditunggu dating, Hendrik naik motor tersebut, Arum mengikuti di belakangnya.
Dengan sigap, Arum membunyikan klakson mobil meminta pengemudi berhenti. Motor itu pun berhenti, Hendrik turun begitu menyadari ada mobil Arum di belakang motornya.
“Pasti aka nada pertengkaran ini.” Desis hati Hendrik. Hendrik memasuki mobil tersebut dan meminta pengemudi motor pergi.
“Um, apa yang kamu lakukan di sini ?” Tanya Hendrik basa-basi.
“Membuntuti mu.”
“Maksud ummi apa ?”
“Kita ke tempat Ayumi sekarang.” Suara Arum tanpa memandang Hendrik.
“Um, bersabarlah.”
“Kita ke tempat Ayumi sekarang.” Arum mengulangi kalimatnya.
“Kita redakan dulu semuanya di rumah, saat ini ummi masih emosi.” Jawab Hendrik lembut tapi saying kelembutan itu tidak merubah apapun.
“Kita ke tempat Ayumi sekarang.”
Hendrik sudah tidak punya kemampuan untuk mencegah Arum lagi, kepalanya mendadak pusing..
“Kalau Mas tidak mengantar aku bertemu Ayumi artinya kita akan bertemu di Pengadilan Agama.” Suara Arum tegas. Hendrik meradang dua pilihan yang sama-sama sulit. Keputusan apapun yang ia buat saat ini pasti menimbulkan rasa sakit. Hendrik merasa dirinya berada di ujung masalah di mana di kanan kirinya terdapat jurang yang menganga.