Pertengkaran di dalam mobil kian tidak dapat dihindari, mereka berdebat sengit meski tanpa teriakan-teriakan seperti layaknya dua orang yang sedang bertengkar. Mereka berbicara sedikit tertahan namun kalimat demi kalimat sangat menusuk. Mereka lupa bahwa setiap kalimat yang terlontar bisa saja menimbulkan berkurangnya rasa cinta terhadap pasangan. Tapia pa boleh buat, semua sudah terjadi dan tidak dapat dielakkan lagi. Arum tidak adapt lagi berkolaborasi dengan rasa sakitnya begitupun Hendrik yang terus menerus ingin dipahami. Hingga yang ada sekarang adalah mereka bertentang kata. Tanpa ada penyelesaian dari keduanya.
Arum mundur menuju rumah Ayumi. Ia tidak perduli lagi apa yang akan terjadi dengan dirinya dan rumah tangganya dan untuk pertama kalinya Arum memenangkan egonya.
Mereka memasuki rumah Ayumi. Hendrik menghubungi Ayumi dengan ponselnya. Karena rumah ini terlalu besar bila tidak dihubungi lewat telepon dulu maka mereka akan menunggu terlalu lama untuk dibukakan pintu.
“Telepon siapa ?” Tanya Arum dingin dan datar.
“Telepon yang punya rumah.”
“Untuk apa ?” Arum marah sambil memandang Hendrik, cemburunya mulai meletup-letup.
“Rumah ini terlalu besar, Um. Kita harus janjian dulu agar bisa bertemu dengan yang punya rumah.” Penjelasan Hendrik pada Arum yang berharap Arum bisa tenang.
“Keraskan suaranya.”
Hendrik dengan kesal menuruti kemauan Arum, ia tidak menyangka Arum bisa segila ini. Memang benar mungkin bahwa tiga hal yang tidak bisa ditahan oleh wanita, cemburu, air mata dan rasa ingin tahu. Hendrik terbata melaksanakan perintah Arum hingga muncul suara dari sebrang.
“Ada apa mas ?” Suara Ayumi renyah sekali.
“Aku ada di depan rumah.” Jawab Hendrik.
“Lho, kok sudah balik lagi, apa ada yang tertinggal ?”
“Tidak, ada yang ingin aku bicarakan.” Jawab Hendrik berusaha tenang, tidak nyaman sekali rasanya bicara dengan kekasih di hadapan istri.
“Ih,, pasti masih kangen ya, tadi sudah ku bilang jangan pulang dulu tetep minta pulang. Bentar ya, biar Pak Amir yang membukakan pintu, aku masih di kamar mandi, nanti ku kirim fotoku deh biar mas Hendrik percaya.” Suara Ayumi dengan sangat santainya, ya, karena Ayumi tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, itu sebabnya ia begitu santainya berbicara. Sedangkan wajah Arum merah padam menahan amarah yang sudah bergolak di hatinya.
“Cling cling.” Suara pesan masuk.
Arum dengan lancing dan sangat berani merampas ponsel Hendrik lalu ia melihat seorang wanita sedang berada dalam bak mandi sambil tubuhnya direndam dengan air sabun yang berbusa. Wanita itu tersenyum sangat menggoda.
Hoy, hati wanita mana yang bisa mentolerir kenyataan seperti ini ? nyeri sekali rasanya.
“Seorang lelaki setengah baya keluar dari taman samping lalu membuka pintu untuk Arum dan Hendrik serta mempersilahkan mereka masuk. Arum duduk berhadapan dengan Hendrik. Tetiba seorang wanita berkulit putih keluar dengan piyama dan rambut basah. Arum melotot lalu menunduk, ada air mata yang hendak turun namun ia paksakan agar tak meluber.
“Ups, berdua ? aku piker sendiri, maaf aku ganti baju dulu.” Suara Ayumi lirih, ada malu di nada bicaranya.
“Tidak usah begitu saja tidak apa-apa, kalau biasanya menemui dengan kondisi seperti itu pasti tidak akan canggung lagi, kan ?” Jawab Arum membuat Hendrik dan Ayumi terkejut. Ayumi tetap hendak melangkah pergi namun Arum menghentikannya.
Akhirnya Ayumi duduk di samping Arum.
“Aku Arum, kita mitra bisnis masih ingat kan ?” Ayumi mengangguk.
“Aku juga istri mas Hendrik, sampai hari ini masih istri sah.” Suara Arum penuh ledekan. Ayumi menjaga hatinya, Hendrik diam tanpa suara.
“Andai kamu tidak mengenakan jilbab biru itu mungkin aku tidak akan pernah tahu bahwa kalian ada hubungan.” Tandas Arum lagi.
“Ini tidak seperti yang ummi bayangkan.” Hendrik menyahut namun justru membuat Arum marah.
“Apa saja yang sudah diberikan oleh suami ku padamu selain cinta dan harapan ?” Tanya Arum pada Ayumi. Ayumi diam.
“Jawablah, aku tidak apa-apa.” Arum mulai tidak sabar.
“Hanya jilbab itu, jam tangan rolex dan satu buah tas.”
“Motor matic itu ?” Tanya Arum pada Ayumi sungguh membuat Hendrik terhenyak, Arum ingat Hendrik pernah memesan motor yang katanya untuk menunjang kinerja anak buahnya beberapa hari yang lalu. Motor itu yang kini bertengger di depan rumah Ayumi.
“Itu hadiah untuk Bunga.”
“Siapa Bunga ?” Tanya Arum lagi.
“Anakku.”
“Ups.. baik sekali suami ku pada kalian padahal menurut ceritamu kemarin kalian hanyalah sepasang teman yang baru saja dipertemukan Tuhan lagi, begitukan?”
Mata Arum berkaca-kaca.
“Kalian menikahlah dan tinggallah di dalam rumah yang sama dari pada kalian terjebak dosa.” Suara Arum tegas.
“Kamu bicara apa, Um.”
“Aku serius, Mas. Sebaiknya kalian menikah dari pada berdosa. Tinggallah di dalam rumah mas Hendrik bersama Bunga.”
Ayumi menatap nanar pada Arum tapi Arum justru tersenyum memandang ke duanya. Ia berdiri lalu menenteng tas brandednya meninggalkan mereka berdua. Hendrik menyusul kepergian Arum sedang Ayumi ternganga di tempatnya.
Bagaimanapun juga tidak ada seorang wanita pun yang berkenan rumah tangganya di masuki oleh cerita lain apapun alasannya. Karenanya memilih berdamai atau meninggalkan mungkin hanya itu jalan keluar yang terbaik dari pada terus menerus mendapat beban yang tidak berkesudahan dan Arum sepertinya telah siap bertindak untuk luka yang dituai Hendrik saat ini.
Bila hari kemarin Arum hanya cemburu atas kebaikan Hendrik pada wanita lain namun hari ini Arum justru benci pada semua kelakuan Hendrik. Tidak ada yang perlu dipertahankan. Semuanya sudah hancur.