Pagi buta, Ayumi telah mengendarai mobilnya, kebetulan sekali Bil sudah berangkat ke Solo, Jawa Tengah untuk urusan bisnis.
Ayumi mengenakan celana ketat bermerk dipadu dengan atasan motif bunga plus jilbab polos warna senada.
Hendrik mengajak Ayumi untuk mengenakan jilbab karena itu identitas wanita muslimah dan atas nama cinta Ayumi mengikutinya.
Ayumi mengendarai mobilnya dengan sangat yakin. Ia menuju rumah besar dengan pagar hitam menjulang.
Pagar itu telah terbuka padahal hari masih pagi.
Ayumi memasukkan mobilnya ke halaman yang luas itu, dengan hati-hati ia memarkir mobilnya di halaman tersebut. Merapikan wajahnya lalu turun dari mobil. Rumah itu tampak sunyi, sepertinya semua sedang berada di dalam. Ayumi sengaja tidak menghubungi Hendrik karena dia memang ingin bertemu Arum bukan Hendrik.
Seorang tukang kebun nampak melintas,
"assalamualaikum, Bu Arum ada ?"
Tanya Ayumi hati-hati.
"Ibu ?" Orang itu bicara dengan menggunakan kalimat tanya.
"Iya, apakah ibu ada di rumah ?"
"Ada, tunggu sebentar." Tukang kebun itu pun berlalu pergi.
Ia memasuki rumah tersebut dan Ayumi pun memilih duduk.
Tak berapa lama seorang wanita menggunakan daster batik motif kelelawar muncul dengan kerudung yang hanya diletakkan begitu saja di kepalanya.
"Assalamualaikum." Ayumi menyapa ramah. Sontak Arum terkejut, apa mungkin wanita ini berani datang kemari ?, untuk apa ia datang ?, dalam rangka apa ?. Apakah untuk meminta maaf atas lelakunya. Arum tak habis pikir. Ia pun berusaha bersikap ramah. Ia bisa saja marah, berteriak, memaki. Tetapi itu tidak elegan, berhadapan dengan pribadi murahan tak perlulah menggunakan teori-teori murahan.
"Waalaikumsalam, silahkan duduk, ada kepentingan apa ?" Ucap Arum berusaha menahan emosinya.
"Aku kemari mau minta maaf."
"Iya, sudah ku maafkan."
"Aku punya anak dari Hendrik, aku hidup hanya ingin melihat anakku bahagia, aku mohon pada mbak Arum untuk memahaminya."
"Aku paham, lalu mau mu apa ?" Tanya Arum berusaha mencari tahu.
"Saat ini Bunga bahagia bisa berkomunikasi dengan ayahnya. Hampir dua puluh tahun ia menunggu saat ini. Tolong jangan pisahkan Bunga dengan ayahnya." Ayumi mulai menangis.
"Lho, yang ingin memisahkan siapa ?, tidak ada kok yang ingin memisahkan." Arum berusaha tenang padahal hatinya mendidih.
"Mbak, aku tidak ingin meminta rumah mu, aku tidak minta nafkah dari Hendrik. Aku hanya minta ijinkan Hendrik menjadi ayah Bunga, ijinkan Hendrik menikah lagi."
Apaaaa ?
Ayumi berani bicara seperti ini. Sama persis dengan kejadian Raisa beberapa tahun yang lalu. Tetapi Ayumi lebih gila lagi. Jika Raisa kemarin meminta ijin via tulisan sekarang Ayumi berani datang langsung meminta sesuatu pada yang berhak memiliki. Meminta Hendrik pada Arum. Ingin rasanya Arum mencincang wanita paling naif di dunia ini. Ingin rasanya Arum menghabisi wanita di depannya seperti adegan di sinetron-sinetron Indonesia.
Luka lho, mendengar suami ada hubungan dengan wanita lain. Masih ditambah wanita tersebut berani datang ke rumahnya, menemuinya dan bermohon padanya. Ini sebuah kegilaan !.
Anehnya wanita- wanita berperangai buruk seperti ini banyak sekali muncul saat ini. Arum ingin sekali melumatnya sampai habis tak bersisa.
"Lalu, sekarang kemauan mu apa ? Kamu minta Hendrik menikah dengan mu maksudnya bagaimana ? Bukankah kemarin aku telah menyuruh kalian menikah dan hidup bersama ?"
"Bila mbak Arum yang menyuruh, Hendrik pasti mau. Aku sangat yakin karena Hendrik sangat mencintai mbak Arum."
"Kamu sudah tahu kalau mas Hendrik mencintai aku, kenapa kamu nekat datang dan minta dinikahi haaahhh ?" Arum mulai tidak habis pikir dengan kejadian di depan matanya.
"Andai aku tidak pernah pergi." Suara Ayumi lirih.
"Maksudnya apa ?, andai kamu tidak pernah pergi pasti kamu masih memiliki mas Hendrik, begitu kah ?" Arum bicara sambil memotong kuku jemari tangannya. Ia mulai malas meladeni Ayumi namun disisi lain ia penasaran pada apa yang diinginkan wanita ini.
"Sudahlah nona Ayumi, saat ini mas Hendrik itu suamiku. Artinya aku yang lebih berhak atas dirinya dan kamu tidak. Kalau bunga ingin bertemu ayahnya silahkan saja. Sebatas hubungan ayah dan anak. Tidak masalah."
Ayumi mengernyitkan dahi mendengar apa yang Arum ucapkan barusan.
"Mbak Arum saat ini sebaiknya kita panggil Hendrik saja."
"Untuk apa ?" Tanya Arum.
"Untuk memastikan apa Hendrik bersedia menikahiku sesuai dengan ijin mbak Arum."
"Oh tidak usah."
"Maksud mbak Arum apa ?, apakah itu berarti mbak yang akan mengeksekusi semuanya ?"
Hati Arum makin kuat bergolak, ia rasanya ingin mencincang wanita di depannya itu. Tidak punya malu sekali.
"Tidak nona Ayumi. Anda salah."
"Salah bagaimana ?" Ayumi bingung.
"Selamanya mas Hendrik akan jadi suamiku dan ayah dari anak-anakku !."
"Tapi tadi, mbak Arum bilang. . ."
"Keputusanku kemarin aku cabut. " Arum tersenyum kemudian berdiri tegak sembari berkata.
"Sekarang pulanglah. Tidak ada yang akan berubah."
Arum meninggalkan Ayumi yang terpaku di beranda rumah Hendrik. Arum masuk, menutup pintu dan "klek", pintu rumah itu terkunci. Arum seolah ingin sekali mempermainkan Ayumi. Wanita itu tidak punya malu jadi sebaiknya ia diberi pelajaran tentang rasa malu.
Arum tidak tahu benar atau tidak ucapannya saat ini, yang pasti Arum masih ingin mengombang-ambingkan perasaan Ayumi.
Sampai kapan ?
Sampai Arum puas.