4A

1855 Kata
02.02 Suara bedebum keras membuatnya tersentak bangun. Dean menatap ke sekitar ruangan yang gelap, kemudian sadar kalau ia tertidur di dekat perapian. Penunjuk waktu pada layar ponsel memberitahunya kalau saat itu masih pukul dua dini hari. Hawa dingin yang merambat masuk melalui celah jendela yang terbuka mulai menusuk kulitnya, sementara lidah api di perapian sudah padam mungkin sejak beberapa menit yang lalu karena masih menyisakan bintik-bintik merah panas di antara kayu yang menghitam. Saat suara bedebum itu kembali terdengar, Dean sepenuhnya terjaga. Suara itu terdengar persis seperti benda keras yang membentur lantai kayu. Suaranya teredam seolah berasal dari tempat yang jauh, tapi tidak cukup jauh untuk dapat di dengar. Sembari mengantongi ponselnya, Dean bergerak mendekati dinding kemudian menempelkan satu telinganya di atas permukaan dinding kayu itu dan menunggu. Tidak ada suara apapun. Tidak mungkin suara itu hanya halusinasinya saja. Kemudian ia memutuskan untuk berjalan ke arah dapur. Kali pertama suara itu muncul dari arah dapur, mungkin kali ini tidak berbeda. Dean menjaga langkahnya tetap tenang, tidak berniat membangunkan Bree atau tanpa sengaja menjatuhkan sesuatu hingga membuat keributan. Dalam perjalanan menuju dapur, ia merapatkan tubuhnya ke dinding ketika menyusuri lorong gelap. Sesampainya disana, Dean mendapati jendela kayu di atas nakas kembali terbuka dan memperlihatkan kegelapan pekat yang mengerikan di pekarangan rumah. Ia langsung bergerak untuk memeriksanya. Tidak ada siapapun yang berkeliaran di sekitar sana, tapi jauh di seberang danau, Dean melihat seseorang dengan dress biru sedang berjalan menyusuri halaman pondok. Irine? Dean menyipitkan kedua mata untuk melihatnya lebih jelas, tapi tiba-tiba langkah wanita itu terhenti dan persis ketika Irine memutar wajah ke arahnya, Dean sontak bergerak menjauhi jendela. Kini ia menyusuri lantai kayu di dapur perlahan-lahan, berusaha menemukan sumber dari suara genangan air yang menetes di atas permukaan keras. Suara itu terus terdengar di kepalanya seperti irama musik, suara itu juga yang menuntunnya sampai di sudut dapur, persis di depan lemari kayu besar yang menyimpan sejumlah porselen. Ketika Dean menunduk untuk melongok ke kolong lemari, ia menemukan sebuah pegait hitam yang bersembunyi di bawah lemari itu. Langsung saja ia mengerahkan tenaganya untuk mendorong lemari itu perlahan. Suara berderit yang teredam menyebar ke setiap sudut dapur. Kali ini Dean mendorong lebih pelan sampai pengait itu benar-benar terlihat. Setelahnya ia menunduk untuk mengamatinya. Pengait hitam itu mirip tali yang ditautkan pada logam hitam kecil di atas lantai. Ketika Dean menariknya, pintu kayu persegi berukuran kira-kira dua kali tubuhnya terbuka dan memperlihatkan tangga setinggi dua setengah meter yang mengarah ke lorong gelap di bawah sana. “Sial!” Dean melongokkan wajahnya ke dalam lorong gelap itu dan bau tajam besi berkarat langsung menusuk hidungnya. Satu lengannya terjulur untuk memeriksa tangga besi itu dan ia langsung mengumpat kasar ketika menyentuh permukaannya yang lengket. Dean menyalakan lampu senter pada ponselnya untuk melihat apa yang menempel pada permukaan tangga, kemudian lampu senter itu langsung menyorot lumut hijau yang menyelimuti tangga dan genangan air yang kotor. Meskipun sudah tua, tangga itu masih cukup kuat untuk menopang tubuhnya. Begitu yakin Dean bergerak turun menggunakan tangga kemudian menarik pintu hingga tertutup kembali. Bunyi bedebum pintu yang ditutup pelan menggema di seluruh ruangan gelap itu. Dean menyalakan kembali lampu senter ponselnya kemudian berputar untuk menatap ke sekelilingnya. Itu hanyalah sebuah ruangan yang gelap dengan dinding semen dan atap kayu yang kosong. Ketika ia mengadah, Dean menemukan sumber kebocoran di langit-langitnya yang menyebabkan lantai di dapur menjadi basah. Pipa airnya pecah sehingga air hujan merembes keluar dan menyebar ke setiap sudut atap sebelum jatuh di atas lantai semennya. Kemudian Dean menunduk untuk menatap genangan air pada lantai di bawah kakinya. Genangan air itu kotor dan mengakibatkan bau besi berkarat yang menyangga rangka atap tercium lebih tajam. Ia nyaris saja terpeleset jatuh ketika hendak melangkah menyusuri ruangan itu. Ketika Dean mengarahkan lampu senter ponselnya ke arah lain, persis di salah satu sudut ruangan ada papan kayu yang digunakan untuk menutupi celah lain. Dean menggeser papan kayu itu, tidak merasa kaget lagi saat menyaksikan lorong gelap yang panjang menuju tempat lain. Tapi sejauh yang dilihatnya hanya ada kegelapan yang tersebar sampai ke sudut paling ujung. Dean ragu-ragu untuk menyusuri lorong gelap berbau apak itu, tapi ia justru tetap berjalan menyusurinya. Kau memang orang paling nekat yang dapat melakukan hal-hal gila yang pernah kukenal. Nikki pernah mengatakan hal itu padanya dan wanita itu memang benar. Terkadang Dean mampu melakukan hal-hal bodoh di luar kendalinya. Kate mengetahui secara pasti kalau Dean adalah seseorang yang bertindak mengikuti instingnya. Terkadang sikap itu membawa keuntungan, sebagai contoh, instingnya sering membantu Dean menghindari masalah, tapi tidak jarang juga insting itu justru menjerumuskannya. Suatu hari pada musim dingin yang terasa mencekik ia pernah berdiri di atas balkon rumahnya, berpikir untuk terjun ke atas salju setinggi lutut hanya untuk menakut-nakuti Kate. Tidak butuh waktu lama untuk memutuskan, tapi yang terjadi setelah ia melompat dari ketinggian sepuluh meter ke atas salju, Dean mendapati tulang kaki dan lengannya patah. Hawa dingin membuat organ dalam tubuhnya membeku hingga pembuluh darahnya nyaris saja pecah. Lima menit saja jika ayahnya tidak menemukan Dean tergeletak di atas salju, ia pasti sudah mati. Tapi itu sudah puluhan tahun berlalu. Dean tidak benar-benar tahu konsekuensi dari tindakannya. Sekarang ketika menyusuri lorong gelap yang tak berujung itu ia hanya berpegang teguh pada keyakinan kalau lorong itu dapat mengarahkannya pada jawaban dari semua keganjilan yang ia temukan disana. Tapi sejauh itu ia tidak menemukan apa-apa. Semakin jauh ia menyusuri kegelapan yang pekat, semakin ia tersesat. “Halo?” Suaranya menggema menyusuri lorong, tapi berakhir di suatu tempat yang rasanya tidak jauh dari sana. Dean mengarahkan lampu sendernya jauh ke depan kemudian gembira saat menemukan ujung lorong itu. Ia mempercepat langkahnya, mengabaikan bau menyengat belerang yang menusuk hidungnya. Sementara itu lorong begitu hening sampai ia bisa mendengar nafasnya sendiri yang memburu. Ponselnya bergetar, Dean terkejut saat melihat segaris sinyal yang muncul di layar atas. Kemudian ia melihat sebuah pesan yang masuk ke ponselnya. Hanya ingin memberitahumu kalau berkasmu sudah siap. Omong-omong aku akan menggunakan komputer sampai kau kembali. Kupikir kau juga tidak begitu membutuhkannya. Pesan itu datangnya dari Collins, rekan kerjanya di sekolah. Collins menggantikan Dean untuk melatih murid selama dia pergi. Minggu lalu Dean memintanya untuk menyelesaikan laporan, laki-laki itu butuh waktu tujuh hari untuk menyelesaikannya. Sebuah kemajuan! Dean mengabaikan pesan itu saat mendengar suara berdecit tikus yang bergerak dengan gelisah menyusuri lorong. Tatapannya mengikuti kemana hewan itu pergi, kemudian ketika ia akhirnya sampai di ujung lorong, bau busuk yang tajam bercampur dengan bau tanah basah segera menusuk hidungnya. Dean menatap ke sekeliling dan mendapati dirinya sudah berada di hutan. Ketika menatap ke belakang, lorong gelap masih mengaga terbuka. Tidak ada pintu, seseorang bisa keluar dan masuk dengan bebas. Dean tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu dan kembali pada lorong gelap yang panjang, jadi dia berjalan perlahan menyusuri tanah melandai yang diselimuti oleh hamparan dedaunan kering di atasnya. Pohon-pohon tinggi nyaris menutupi jalan, tapi ada jalur setapak yang bisa dilaluinya. Ketika menunduk untuk mengamati jalur itu lebih jelas, Dean melihat ada jejak kaki yang masih basah di atas lumpur hitam. Jejak itu tampaknya masih baru dan naluri nya meminta Dean untuk mengikuti kemana jejak itu mengarah. Semakin jauh ia melangkah, hutan itu kian terasa menyempit. Bukan hanya pohon-pohon tinggi dan semak-semak yang mengelilinginya, tapi juga karena udaranya yang kian menipis. Tempat itu tidak sepenuhnya gelap. Langit di atasnya berwarna biru pekat, seperti langit fajar. Sementara jam pada layar ponselnya masih menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh lima dini hari, masih terlalu dini untuk menyusuri hutan. Langkahnya terhenti di depan patung sosok wanita yang bagian lengannya telah hancur. Dean berjalan mendekat untuk mengamati patung itu. Seseorang yang membuatnya tanpak seperti memuja sosok dewi yang agung. Pada bagian vital seperti mata, tulang hidung, dan bentuk wajah, patung itu dipahat dengan hati-hati. Lehernya patungnya dilingkari oleh kalung yang tampaknya terbuat dari kayu ukiran, sementara rambutnya yang bergelombang memanjang sampai di atas pinggang. Satu lengannya yang bebas melingkar di bawah pinggulnya yang ramping, sedangkan jari-jarinya berusaha menutupi k*********a. Satu lengan yang lain patah, tapi Dean yakin lengan itu seharusnya melingkar di seputar payudaranya yang tampak hancur. Seseorang pasti sengaja melakukannya. Mungkin, pikirnya, seseorang tidak menyukai ide tentang untuk mengabadikan patung dewi yang bertelanjang di tengah hutan. Dean mengangkat ponselnya, menjepretkan kamera, berpikir untuk mencari tahunya nanti. Mungkin Nikki tahu tentang patung itu. Tiba-tiba ia mendengar suara gemerisik ketika sesuatu memginjak dedaunan kering di belakangnya. Sontak ia membalikkan tubuhnya dengan cepat, namun tidak ada siapapun disana. Mungkin hewan liar seperti anjing atau babi hutan. Setelah meninggalkan patung itu, Dean melanjutkan langkah dengan tergesa-gesa. Kini bau busuk yang tajam menuntunnya ke tempat lain yang tersembunyi di tengah-tengah hutan. Sepanjang seratus meter jauhnya dari patung yang ia lihat, ada gundukan tulang yang melingkari tanah di sekelilingnya. Tatapan Dean mengikuti kemana rantai tulang itu mengarah dan tiba-tiba saja ia sudah berdiri di tengah-tengah gundukan tulang-tulang itu. Dua ekor gagak hitam terbang di atasnya. Suara kepakan sayapnya terdengar keras di telinga. Dean membeku menatap gundukan tulang itu. Setelah mengamati bentuknya tulang itu terlalu besar untuk serkor anjing liar atau babi hutan – atau bahkan hewan peliharaan. Dean bukan ahli biologi tetapi ia masih cukup familier dengan bentuk tulang manusia dan apa yang disaksikannya tidak mungkin salah. Itu memang tulang manusia. Instingnya memintanya untuk mengangkat kamera dan sekali lagi mengambil gambar. Kini ia membawa langkah kakinya mengikuti kemana gundukan tulang itu mengarah hingga tanpa sadar ia menginjak lubang di atas tanah. Satu kakinya tersuruk masuk ke dalam lubang sementara dengan sigap lengannya berpegangan pada sulut tanaman di atas batu besar. Dean menarik tubuhnya dengan susah payah untuk keluar dari dalam lubang. Pakaiannya tersangkut pada sulur-sulur tanaman itu hingga menyebabkan sobekan kecil, tapi akhirnya ia dapat keluar dari sana. Namun yang mengejutkannya ada pandangan di depannya. Dean melihat gundukan tulang itu berakhir di bawah pohon oak besar yang menggantung tengkorak manusia. Tengkorak itu masih berpakaian lengkap: kemeja biru lusuh dan celana hitam panjang yang menutupi hampir seluruh kakinya kecuali jari-jari dan telapak kakinya yang sudah membusuk. Karena kaget sontak ia bergerak mundur. Dean memgumpat kasar kemudian bergerak menjauhi pohon saat mendengar suara langkah kaki seseorang di dekat sana. Bulu kuduk nya meremang, adrenalinnya berpacu keras. Tanda bahaya dipasang disana dan ia sudah dapat menebak apa yang tertulis pada papan kayu kecil itu: Joar, miursah de aimas. Sialan! Derap langkah terdengar semakin cepat. Dean menatap ke sekelilingnya. Tidak ada siapapun. Tiba-tiba panah melesat ke melewati wajahnya, menusuk ke arah pohon. Darahnya mengalir deras. Untuk sejenak jantungnya seakan berhenti berdetak. Hanya beberapa senti dan ujung runcing panah itu akan mengoyak kulit wajahnya. Dean menatap ke sumber dimana panah itu berasal. Tidak ada siapapun, tapi derap langkah terdengar semakin jelas. Lari, bodoh! Apa yang kau tunggu? Lari! Dean mengikuti instingnya dengan berlari secepat yang bisa dilakukannya. Matanya menatap ke sekeliling dengan waspada tapi kemudian sadar kalau ia sudah tersesat. Tiba ketika dihadapi oleh dua jalur yang bersebrangan Dean berhenti, berusaha mengingat-ingat jalur mana yang akan mengarahkannya ke lorong gelap. Sementara itu di balik pohon pinus tinggi Dean melihat pagar besi berkarat yang sama seperti yang dilihatnya pagi tadi dalam perjalanan menuju sungai. Wajahnya berputar, jantungnya berdegup kencang. Baru ia sadari kalau ia berada di kawasan terlarang itu. Sebelum Dean sempat memikirkan tindakan selanjutnya, sesuatu menghantam kepalanya dengan keras dan ia jatuh pingsan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN