03.02
Malam itu Nikki tidak bisa tidur. Ia duduk selama berjam-jam di dapur, menatap lurus pada layar laptopnya yang masih menyala, kemudian pergi untuk menuang segelas anggur dan melakukan hal yang sama sekurangnya tiga kali. Sekiranya tiga jam yang lalu setelah memastikan Sam sudah tidur, Nikki turun ke dapur untuk membuka laptop dan mengetikkan suatu kalimat pada kolom pencarian di laman google. Dalam hitungan detik, sejumlah artikel Muncul di layar utama. Nikki memeriksanya satu-persatu dan membacanya dengan hati-hati.
Sampai detik itu ia masih tidak memercayai apa yang disebutkan dalam artikel tentang simbol yang difotokan Dean. Mungkin semua itu hanya mitos belaka, karangan para penulis kolom yang tidak bertanggungjawab, nyatanya tidak. Hampir semua sumber menyebutkan hal yang sama berkali-kali. Dalam satu kisah yang terdengar seperti fiktif belaka, sekelompok suku membakar seorang pria hidup-hidup. Ritual itu dimaksudkan untuk memperpanjang usia seorang gadis remaja yang diagung-agungkan. Dalam beberapa artikel ia Nikki melihat simbol yang sama seperti yang ditunjukkan Dean. Kemudian karena gelisah, Nikki memutuskan untuk minum alkohol.
Sembari menatap langit gelap di luar jendela dapurnya, Nikki mengangkat ponsel dan mencoba menghubungi Dean. Namun panggilannya langsung dialihkan ke pesan suara. Nikki mencoba untuk kali kedua dan kali ketiga, hasilnya tetap sama.
Dean, maaf menganggumu, tapi tolong hubungi aku begitu kau mendengar pesan ini. Ini penting.
Nikki menatap isi pesan itu selama beberapa detik kemudian dengan ragu-ragu menekan tombol kirim. Pesan itu sudah terkirim dari ponselnya tapi belum masuk ke ponsel Dean. Ia kemudian mengingat kalau Dean berkali-kali mengatakan bahwa sangat sulit untuk mendapatkan sinyal disana. Untuk alasan yang sama, Nikki menjadi semakin gelisah. Bagaimana kalau hal buruk terjadi pada laki-laki itu?
Nikki kembali ke meja untuk memeriksa agendanya. Besok ada janji temu dengan dua pasien pada pukul sepuluh dan satu siang. Sementara paginya Nikki akan mengantar Sam dan menitipkannya di rumah Lorrie. Mungkin Nikki bisa mengatur ulang jadwal pertemuan itu atau mengalihkannya pada terapis lain. Begitu ide itu muncul, Nikki tidak menunggu waktu lama untuk mengirim sejumlah pesan ke klinik. Ia akan meminta hak liburnya barang satu atau dua hari. Meskipun ia belum memikirkan rencana khusus, tapi Nikki tahu apa yang akan dilakukan. Pertama-tama, ia dapat berharap Dean membalas pesannya dengan cepat.
§
10.12
Dean terbangun dengan kepala terasa berdenyut-denyut tak keruan. Hal pertama yang disaksikannya adalah kepala monster hitam yang menyembul di atas langit-langit ruangan. Lidahnya terjulur panjang, taring-taringnya mencuat, dan cairan putih bening keluar dari mulutnya.
Tidak! Jangan sekarang! Ayolah..
Ia memejamkan kedua matanya dengan erat kemudian menarik nafas panjang dan menghitung sampai lima sebelum mengembuskannya perlahan. Cara itu selalu berhasil karena ketika Dean membuka kedua matanya lagi, monser itu benar-benar menghilang dan kini meninggalkan langit-langit ruangan yang kosong.
Ia dapat mengembuskan nafas dengan lega. Setidaknya satu masalah hilang, tapi kemudian masalah lain muncul dengan cepat. Sembari menahan rasa sakit pada kepalanya, Dean mengangkat tubuh dari atas ranjang kemudian menatap ke sekelilingnya, tiba-tiba merasa aneh. Dean mengingat dengan jelas apa yang baru saja terjadi: ia berjalan menyusuri lorong gelap yang mengarahkannya ke tempat terlarang. Disana Dean menyaksikan gundukan tulang yang dibentuk melingkar. Gundukan itu mengarahkannya pada tengkorak manusia yang menggantung di dahan pohon oak. Dean juga mengingat patung dewi yang hancur. Panah melesat di depan wajahnya, menacap persis di batang pohon. Jantungnya berdegup kencang. Dean nyaris mati dan seseorang sedang mengejarnya. Ia berlari cepat menyusuri hutan itu tanpa tahu kemana ia pergi, kemudian saat ia merasa kebingungan memilih jalur yang harus diambil, saat itu juga seseorang memukulnya dengan keras dari belakang. Pukulannya cukup keras sampai-sampai Dean berpikir kalau tengkoraknya sudah hancur. Namun, ketika satu tangannya terangkat untuk memeriksa bagian yang dipukul itu, Dean mendapati tidak ada luka yang tertinggal disana.
Tidak mungkin. Meskipun rasa sakitnya sudah mereda tapi tetap saja ada.
Lalu bagaimana ia bisa sampai di pondok? Siapa yang membawanya kesana? Dean tidak ingat apa-apa lagi setelah jatuh pingsan. Pagi itu ia terbangun dengan pikiran kalut. Sementara kepalanya berusaha memproses apa yang terjadi disana, seluruh indra-indranya terjaga.
Jendela di kamar terbuka, memperlihatkan pemandangan langsung ke arah danau dan pondok lain di seberang sana. Cahaya matahari pagi menyusup masuk dengan bebas ke dalam ruangan, jatuh persis di atas lantai kayunya yang dingin. Ranjang yang ditempatinya kosong, Bree tidak ada disana, kemudian Dean bertanya-tanya pukul berapa sekarang?
Dengan linglung, Dean menyeret tubuhnya turun dari atas kasur. Saat bergerak menuruni tangga, Dean mendengar suara percakapan yang teredam dari arah dapur. Dean bisa mengenali suara Bree, tapi suara yang satunya lagi terdengar asing dan mereka berbicara dengan pelan, seolah sedang berbisik-bisik.
Karena penasaran Dean bergerak menuruni tangga dengan cepat. Langkahnya terhenti persis di ruang tengah. Laptopnya masih tergeletak di atas meja dalam keadaan terbuka. Namun layarnya sudah mati. Dean tidak ingat kalau ia meninggalkan jaketnya disana. Seingatnya ia menggunakan jaket itu saat menyusuri lorong menuju hutan terlarang.
Begitu sampai sekat dinding yang membatasi lorong dengan dapur, Dean mengintip ke dalam, sekilas melihat Irine berdiri berhadap-hadapan dengan Bree dan mengatakan sesuatu yang terdengar seperti, “pilih! Kau harus memutuskannya sekarang, sebelum terlambat..”
Seharusnya Dean diam dan tetap bersembunyi disana, setidaknya ia akan mendapatkan informasi lain tentang apa yang hendak mereka sampaikan. Namun, seperti yang sudah-sudah, insting alaminya mendorong ia untuk muncul di depan pintu dapur dengan marah kemudian mengejutkan dua wanita itu dengan pertanyaan kasar.
“Apa yang harus dia putuskan?” tanya Dean dengan kasar.
Bree sempat membeliak saat melihatnya, kemudian wanita itu berjalan mendekati Dean dan menjulurkan tangan untuk menenangkannya. Di seberang ruangan Irine terus menatapnya dengan awas. Dean yakin wanita itu tahu sesuatu tentang apa yang terjadi di dalam hutan. Malahan firasatnya mengatakan kalau Irine terlibat. Tengah malam sebelum ia menemukan pintu masuk menuju lorong itu, Dean melihat Irine berkeliaran di pondok seberang seolah sedang melakukan ritual tertentu dengan menglilingi danau pada pukul dua dini hari. Naluri alaminya langsung mempertanyakan siapa yang akan bangun di pagi buta dan berkeliaran di sekitar pondok tanpa maksud tertentu?
“Dean..” ucap Bree ketika mendekatinya.
Dean menepis tangan Bree yang terjulur ke arahnya, dan langsung menuding Irine dengan pertanyaan ketus. “Kau tahu, kan?”
Irine menegakkan punggung dan mengangkat wajahnya sembari menantang Dean dengan pertanyaan, “apa maksudmu?”
“Hutan itu, tempat itu, mayat yang kutemukan di hutan.”
Kini dua wanita yang mengelilinginya itu saling bertukar pandang.
“Dean, apa yang kau bicarakan?” tanya Bree dengan bingung.
Dean menatap Bree dengan kedua mata disipitkan, kemudian ia mendekat untuk menjelaskan, “aku berada di tempat itu! Kau ingat hutan terlarang itu? Semalam aku ada disana. Aku melihat patung yang hancur, gundukan tulang. Kau bilang makam itu hanyalah makam hewan peliharaan? Kurasa itu tidak benar! Kurasa mereka mengubur manusia disana. Tapi apa maksudnya simbol itu? Kau pasti tahu, kan?”
“Dean, aku tidak mengerti maksudmu?”
“Kenapa kau terus berpura-pura?”
“Aku tidak berpura-pura!” ucap Bree dengan wajah memerah.
“Seseorang mengawasiku. Dia berniat membunuhku dengan anak panah dan dia mengejarku di hutan. Sebelum aku sadar dia memukulku sampai aku pingsan..”
“Dean, kurasa kau hanya bermimpi..”
“Tidak! Bree, aku serius. Wanita ini..” Dean menudingkan satu jarinya ke wajah Irine. “Dia pasti tahu karena aku melihatnya malam itu. Dia berkeliaran di dekat danau. Dia juga melihatku.” Wajahnya berputar ke arah Irine. “Katakan padanya kau melihatku.”
Irine tampak ragu-ragu kemudian wanita itu menggeleng pelan.
“Kurasa kau sakit.”
“Baiklah, aku bisa membuktikannya padamu. Ada pintu menuju lorong itu..”
Dean menatap ke sekeliling dapur sampai ia menemukan lemari kayu di sudut. Kemudian ia menggeser lemari itu. Di belakangnya Bree mengatakan sesuatu untuk menghentikan Dean, namun kedua telinganya sudah tertutup dan ia hanya ingin membuktikan kalau apa yang disaksikannya benar-benar ada – bahwa ada sejumlah keganjilan yang patut dipertanyakan disana. Yang mengejutkan ketika Dean menggeser lemari itu, ia mendapati pintu masuk menuju lorong bawah tanah sudah menghilang. Tubuhnya mematung, Dean terpaku memandangi lantai kayunya yang kosong.
“Tidak mungkin!”
“Apa?” tanya Bree saat berjalan ke sampingnya. “Apa yang kau cari?”
“Pintu.”
“Pintu?”
“Ya! Pintu tersembunyi di bawah sini menuju lorong itu..”
“Tidak ada lorong, Dean! Apa yang kau bicarakan?” Bree terdengar frustrasi, sementara Dean terus memikirkan cara untuk membuktikan ucapannya. Kemudian dengan tergesa-gesa, Dean merogoh saku celananya dan menyadari ponselnya tidak ada disana.
“Dimana ponselku?”
“Apa?”
“Ponselku!” ulang Dean dengan keras.
Bree memutar matanya sembari melipat kedua tangan dan berkata, “di kamar."
“Tunggu disini!”
Dengan tergesa-gesa Dean pergi meninggalkan dapur untuk kembali kamar. Matanya sibuk mencari kotak hitam berbentuk persegi panjang seukuran kepalan tangannya itu sampai ia menemukannya di atas nakas. Kemudian ia kembali ke dapur untuk menunjukkan pada Bree dan Irine gambar patung yang potretnya semalam.
Dua wanita itu masih menunggu disana. Bree tampak kesal sementara Irine terlihat waspada. Sementara itu Dean merasa tercekik saat membolak-balik laman galeri untuk menemukan gambar patung yang dipotretnya semalam.
“Tunggu..” katanya.
“Apa yang kau cari Dean? Komohon jangan seperti ini..”
Dean bolak-balik mencari foto patung dan gundukan tulang itu. Namun foto terakhir yang dilihatnya hanyalah foto makam yang diambilnya kemarin, sementara sisanya adalah foto acak yang diambilnya beberapa hari sebelum kepergiannya ke tempat itu.
Bree masih menunggu dan setelah beberapa detik Dean mulai frustrasi karena tidak juga menemukan foto yang dicarinya.
“Tidak mungkin! Pasti ada disini..”
“Dean! Sudah cukup. Tidak ada tempat apapun. Kau hanya bermimpi, itu saja..”
“Aku..” Dean membuka mulut, siap untuk membantah Bree tapi kemudian mengurung niatnya dengan cepat dan memandangi dua wanita yang berdiri di depannya dengan curiga, tapi juga khawatir. Bagaimana jika Bree benar? Bagaimana kalau semua yang dialaminya itu hanya bagian dari halusinasinya saja? Tapi bagaimana mungkin semua itu terasa begitu nyata? Bukannya menjawab, pertanyaan itu justru menyisakan pertanyaan lain: lalu dimana buktinya? Dimana semua gambar patung dan tulang yang diambilnya itu? Dean mencoba memeriksa kotak pesan, disana juga tidak ada pesan dari Collins. Jadi semua itu hanya halusinasinya saja? Bagaimana ia tahu?
Waktunya minum obat, Dean!
Persetan!
“Sebaiknya aku pergi.”
Irine masih memandangi Dean ketika berjalan mendekati pintu dapur yang terbuka, kemudian wanita itu menghilang disana. Dari tempatnya berdiri, Dean masih memandangi wanita itu dengan awas. Bree di sampingnya menggelengkan kepala sembari mengehela nafas, seolah-olah wanita itu telah melewati hari yang panjang dan ketegangan yang terjadi akibat keributan itu berlangsung sampai siang.