DAY 4

995 Kata
00.13 Hujan baru berhenti sekitar pukul delapan tadi. Setelah makan malam, Bree langsung bergegas menuju kamar dan tidur lebih awal. Sementara Dean masih kesulitan tidur. Di tengah kegelapan yang menjalar ke setiap sudut kamar, matanya menatap pada cahaya remang-remang lilin di pekarangan. Telinganya mendengar suara deritan pelan jendela yang bergerak terbuka karena tertiup angin. Angin yang diam-diam masuk melalui celah sempit jendela itu dengan cepat menusuk kulitnya. Langit-langit kayu di atas kepalanya kosong. Ketika sedang melamun, mudah sekali untuk membayangkan monster berkepala hitam itu merayap di atas sana, balas menatap Dean dengan sepasang mata merah dan mulut yang terbuka lebar. Tapi malam ini tidak ada monster itu. Tetap saja, Dean tidak bisa tidur. Di sampingnya, Bree tertidur nyenyak. Nafasnya teratur. Dean mengamatinya sesaat kemudian memutuskan untuk menyeret tubuhnya turun dari atas kasur. Dengan bertelanjang kaki, ia berjalan ke dapur untuk menuang segelas air dan minum dengan cepat. Ketika Dean mengecek kembali lantai kayu itu, permukaannya telah mengering. Air yang menggenang di atas sana mungkin telah merembes ke bawah lantai. Kemudian Dean mencoba mengetuk lantai itu lagi, berharap ada suara pukulan yang sama seperti yang didengarnya sore tadi, tapi setelah beberapa detik hasilnya nihil. Memang halusinasinya saja. Dean memutuskan untuk duduk di dekat perapian sembari membuka laptopnya. Begitu layar menyala, ia langsung menghubungkan kabel hitam kecil dari laptop itu pada lubang di ponselnya. Foto makam yang siang tadi diambilnya segera muncul di layar laptop. Dean memperbesar foto itu kemudian mengamati simbol pada papan kecil yang ditautkan pada setiap makam. Bree mengatakan kalau itu hanya makam hewan peliharaan, tapi gundukannya memanjang sekitar satu sampai dua meter. Kalau hewan yang dimaksud Bree adalah anjing atau kucing, seharusnya makamnya tidak sebesar itu. Kenapa juga seseorang harus membuat pemakaman bagi hewan peliharaan sesakral itu. Ketika Dean mencoba terhubung ke internet untuk mencari tahu lebih lanjut, notifikasi yang muncul di depan layar memberitahunya kalau jaringan internet tidak dapat ditemukan. Dean mengerang dengan kesal kemudian menghempaskan tubuh di punggung kursi. Kini matanya menatap kosong ke arah layar yang masih menyala, tiba-tiba saja ia tergerak untuk membuka album foto lamanya. Disana ada puluhan - mungkin ratusan - foto Sam saat masih balita hingga usia empat tahun. Dean membukanya satu persatu dan tersenyum. Pikirannya hanyut ketika ia mencoba mengingat-ingat momen dalam setiap gambar yang ditangkap. Pada foto yang diambil dua tahun lalu, ketika Sam masih berusia tiga tahun, Dean dan Nikki sedang duduk di taman, menikmati liburan musim panas mereka dengan berpiknik. Dean ingat topi musim panas yang dikenakan Nikki pada foto itu. Topi itu sudah berusia tiga tahun sekarang dan Nikki masih suka menyimpannya. Di foto lain, kameranya menangkap gambar ketika Nikki berdiri di samping Sam: dua gadis favoritnya sedang tersenyum lebar ke arah kamera, mereka mengenakan dress dengan bentuk dan motif yang sama. Dean ingat betul kalau ia yang mengambil gambar itu. Kala itu dia juga menggunakan pakaian yang sama. Di foto lain, Sam terlihat sedang berdiri di atas kursinya dengan mulut yang dipenuhi oleh selai coklat. Gadis itu menyipitkan kedua matanya dengan skeptis ke arah kamera dan Dean tersenyum saat melihat bayangan dirinya sendiri yang sedang berdiri persis di dekat konter. Nikki yang mengambil gambar itu, persis setelah perayaan ulang tahun Sam yang kedua. Momen indah membanjiri kepalanya saat sebuah video rekaman lama diputar. Sam masih balita, duduk di atas kursi bayinya dan berusaha mengucapkan kalimat pertamanya. “Pa.. pa..” “Ya!!” sorak Dean. Di sebelahnya, Nikki menggerutu, kesal mengetahui kalau putrinya telah belajar untuk menyebut panggilan Dean lebih dulu, alih-alih menyebut panggilannya. Sementara Dean tersenyum lebar dalam rekaman itu, kemenangan tampak di wajahnya. Rekaman lain kemudian berputar, kali ini adalah rekaman lama pada pesta pernikahannya bersama Nikki. Dean ingat malam yang indah itu. Ia dan Nikki terjaga semalaman, duduk bermesraan di halaman belakang rumah baru mereka, minum dua botol anggur dan menyaksikan cahaya bintang berkedip di kejauhan. Karena mabuk, Nikki bicara melantur dan itu adalah kali pertama Dean melihat wanita itu bertingkah konyol. Seandainya Nikki sadar kalau Dean merekam semuanya malam itu, hanya saja wanita itu terlalu mabuk untuk mengingatnya. Dean sebaliknya, ia ingat persis apa yang terjadi. Bukan hal yang sulit untuk menebaknya. Pesta pernikahan membuat mereka kelelahan, tapi tidak cukup lelah untuk bermesraan semalaman. Ketika rekaman video berakhir dan layar berubah menjadi gelap, Dean mengusap kedua matanya yang berair. Siapa sangka mengenang masa lalu dapat menguras emosinya. Kini ia duduk tertegun disana, melamun sembari memikirkan keluarga kecil yang ditinggalkannya. Seandainya Nikki tidak begitu mengacuhkannya – atau seandinya Dean dapat mengontrol emosinya, hubungan mereka mungkin tidak harus berakhir begitu saja. Sekarang Sam yang malang harus menanggung keegoisan Dean dan Nikki. Gadis itu baru berusia lima tahun, tidak tahu-menau tentang apa yang disebut sebagai perceraian, tiba-tiba harus menghadapi pertanyaan besar itu di depan wajahnya tanpa aba-aba. Dean merundung sendiri dengan pikirannya. Saat usianya tujuh tahun, hubungan orangtuanya meregang. Kala itu ia tidak sadar kalau orangtuanya berusaha keras untuk mempertahankan pernikahan mereka demi Dean dan Kate. Tapi hanya masalah waktu sebelum akhirnya kandas. Tapi setidaknya Dean menghadapi semua itu saat ia sudah remaja dan sudah cukup matang untuk memahami bahwa ada konsekuensi lain yang harus dihadapi dalam pernikahan. Kala itu mudah untuk berpikir kalau Dean tidak akan mengikuti jejak pernikahan kedua orangtuanya. Faktanya tidak begitu. Tampaknya ia terlalu meremehkan apa yang disebut sebagai pernikahan. “Aku bercerai dan sekarang kau bercerai..” ucap Kate dalam satu obrolan mereka di restoran pinggir jalan. “Orangtua kita-pun bercerai. Memang keluarga kita sudah ditakdirkan untuk sebuah perceraian, Dik!” Dean mulai memercayai ucapan itu merskipun ironis kedengarannya karena selama ini ia meyakini yang sebaliknya. Segala hal dapat terasa lebih mudah dipikirkan ketimbang dilakukan. Memang benar. Yang terburuk adalah fakta bahwa ia masih memikirkannya sampai sekarang. Lima belas menit berikutnya Dean masih duduk di atas kursi, menatap sisa baterai pada layar ponselnya. Tiga puluh lima persen. Bagaimana dia akan bertahan beberapa hari ke depan? Siapa bilang ide untuk menetap di kawasan pegunungan itu menarik? Selagi membiarkan dirinya hanyut dalam pikiran, kedua matanya mulai merasa lelah dan sebelum Dean menyadarinya, ia sudah jatuh tertidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN