PART 6 (Bukan) Malam Pertama

1482 Kata
Hanya butuh waktu 2 jam, Miko meminta dua orang yang di kenalnya untuk menjadi saksi pernikahannya. Ibu dan adik-adiknya sudah Miko hubungi dan mereka sedikit terkejut dengan prihal pernikahan mendadak yang akan Miko laksanakan, bahkan sempat terbesit dipikiran ibunya bahwa putra kebanggaannya itu telah melakukan kesalahan, tapi sekali lagi Miko meyakinkan ibunya bahwa tidak terjadi apa apa. Meski begitu, Ibu dan adiknya di kampung sana hanya bisa berdoa semoga semua dilancarkan dan meminta Miko jika ada waktu luang membawa istrinya pulang ke kampung. Prosesi ijab kabul pun berjalan cukup sederhana, Irna sendiri dinikahkan secara langsung oleh Dior yang sejak menjabat tangan Miko menampakkan wajahnya yang mengeras. Untuk masalah mahar, Irna mempermudah Miko dan hanya meminta uang tunai yang ada di dompet Miko sebagai maharnya. Dior sendiri lebih banyak diam. Bahkan setelah selesai ijab kabul, Dior langsung pamit pergi diikuti dengan Cilla. Meninggalkan Umar; supir keluarga Irna dan dua orang teman Miko; Okan dan Pak Uslan. Namun, tak seberapa lama, setelah itu mereka pun pamit pulang. Dan disinilah mereka sekarang, Irna tengah duduk di sofa depan televisi dengan kebaya yang cukup indah membalut tubuhya, Miko sempat berpikir darimana Irna bisa mendapatkan kebaya itu jika pernikahan ini dilakukan secara mendadak seperti ini, dan ketika ia teringat bahwa Irna adalah model, Miko yakin bahwa lemari baju Irna penuh dengan berbagai baju dengan model dan warna yang berbeda. Miko sendiri mematung di depan pintu masuk. Dia bingung harus melakukan apa, dan Irna sepertinya tidak terlalu peduli dengan keberadaannya. "Lo punya rumah?" Tanya Irna tiba-tiba. "Ngg—mungkin tidak bisa dikatakan rumah. Gue tinggalnya di ruko." “Hah? Ruko?” Miko menggaruk dahinya yang tidak gatal. Sudah gue duga, Gumannya dalam hati. “Gue punya usaha bengkel. Daripada harus bolak – balik kalau gue punya rumah. Mending gue tinggal di ruko sekalian jaga bengkel.” “Gue nggak mau tinggal di ruko. Dan gue nggak bisa tinggal sama lo!” “Terus lo mau kita tinggal terpisah? Ayolah Na, kita ini suami – istri.” “Kalau sudah tau kayak gitu beliin rumah dong! Lo emang nggak malu tinggal di tempat istri?” Sabar, sabar.. Miko terus membatin dalam hati. Ini masih satu jam lo jadi suami, masa iya lo langsung nyerah sih? “Iya tapi sementara kita tinggal di ruko dulu ya? Cari rumah itu nggak gampang lho Na. Ehmm.. mungkin kita bisa kontrak rumah dulu. Bagaimana?” “Tetap gue nggak mau tinggal di ruko.” “Lima hari. Kasih gue waktu lima hari buat cari kontrakan rumah.” Menggerutu. Pada akhirnya Irna mengangguk walau terlihat enggan. “Pokoknya lo harus segera cari rumah. Terserah lo, mau beli rumah atau sekedar kontrak rumah. Intinya, besok adalah hari terakhir gue tinggal di apartemen ini, karena apartemen ini mau gue jual.” “Oh oke. Kalau gitu, bisa kan sekarang kemasi barang – barang lo dan pindah ke ruko?” “Lo tuli ya? Barusan gue bilang besok bukan sekarang!” Miko memejamkan mata untuk sesaat sebelum menghela napas. Sabar, Mik. Sabar. Wanita yang lo nikahi ini memang terlalu bar – bar, lo hanya perlu menjinakkan dia dan buat dia nurut sama lo. Itu sudah cukup. Batin Miko lagi sebelum pria itu mengangguk pasrah. ** Keesokan harinya. Miko yang semalam tidur di sofa dan ketika bangun tidur, tulang – tulangnya serasa seperti di lolosi dari tubuhnya. Pegal dan nyeri perpaduan yang cocok untuk kondisinya saat ini, namun Miko sadar diri dan segera beranjak. Dia sudah melihat Irna dengan sebuah kemeja putih yang menutupi separuh pahanya dan juga celana jeans pendek yang memperlihatkan kakinya yang jenjang. Miko meringis sesaat melihat penampilan wanita yang kemarin baru ia nikahi. “Kenapa lihat – lihat!” Bentak wanita itu tiba – tiba. Miko nyaris terlonjak kaget dengan tampang polosnya dan menggaruk rambutnya yang sebenarnya tidak gatal. “Sudah beberes?” “Lo pikir?” “Ya sudah.. ayo pergi.” “Eh eh—gue nggak mau ya ikut lo!” “Katanya kemarin lo mau tinggal di ruko?” Miko menatap Irna lama, berharap bisa memahami wanita itu. “Iya tapi nggak sekarang. Chat aja alamat lengkap lo. Gue ada urusan.” “Lo mau ke mana?” Cegat Miko ketika Irna akan keluar. “Pergi lah. Apa lagi? Gue nggak harus bilang mau pergi ke mana sama lo kan? Lo sama gue hanya sebatas nikah secara agama!” “Gimana pun gue suami lo Na! Lo harus nurut apa kata suami!” “Hellooo!! Lo pikir gue bisa langsung nurut gitu sama lo? Dalam mimpi! Sudah minggir! Gue mau keluar! Sudah telat nih!” Irna mendorong Miko ketika pria itu menghalangi jalannya. Sedikit berdecak kesal ketika Miko menghalangi langkahnya, bahkan mencekal pergelangan tangannya. “Gue nggak mau lo pergi. Gue nggak kasih izin. Sekarang balik. Masuk ke kamar. Nurut sama gue!” “Nggak mau gue tetap akan pergi!” “Gue suami lo sekarang! Patuh sama gue apa susahnya sih Na?” “Nih balik! Gue balik! Puas kan lo!” Dengan kaki di hentak – hentak Irna berbalik, dia memasuki kamarnya dan menutupnya sangat kencang. Dan Miko yang berdiri di ambang pintu mengelus dadanya beberapa kali seraya menggelengkan kepala karena tak habis pikir dengan kelakuan istrinya. “Ampun deh! Lo minta gue tinggal di sini? Yang benar aja!” Miko sudah kebal dengan kata – kata hinaan yang keluar dari bibir Irna. Pria itu hanya menatap datar Irna, lalu berjalan begitu saja melewati Irna seraya menarik kopor milik istrinya itu. “Gue balik ke apartemen! Gue nggak mau tinggal sama lo!” Miko mendengkus kesal dan menatap Irna tajam. “Nurut sama suami, Na! Bisa nggak sih? Bantah mulu kerjaan lo!” “Nurut sih nurut! Ya kali gue tinggal di ruko lo yang jelek ini! Apa kata teman – teman gue, Mikoooo!!!” “Ya nggak gimana – gimana. Salah siapa nyuruh gue nikahin lo. Hidup susah kan lo?” Irna menahan napas. Melototi Miko yang tengah berdiri pongah setelah membuatnya mati kutu. “Namanya juga bengkel, pasti kotor. Lo tenang aja, di atas bersih kok. Gue tinggalnya kan di atas,” “Tapi tetap aja, Dodol!” “Na, bahasa kamu yang sopan dikit! Aku suami kamu!” “Terus ajaa—terus ancam gue begitu.. f*****g dah lo! Buruan mana kamar gue. Pokonya harus bersih ya! Awas kalau kotor!” “Gue nggak bilang itu kamar lo.” “Lha terus? Gue tidur di mana?” “Ya di kamar lah. Sama gue.” “Nggak mau!” Berdecak. Miko segera memasuki ruko dengan perasaan dongkol setelah membuka rolling door. Dengan terpaksa, Irna mengekori Miko, dia menatap sekeliling lantai satu yang berisi banyak sekali perabot bengkel, lalu naik ke lantai dua dan disana Irna asumsikan sebagai tempat istirahat dan tempat penyimpanan barang onderdil. Mereka naik lagi menuju ke lantai ketiga dan terdapat satu pintu yang di buka Miko. Miko masuk ke dalam sana, diikuti Irna dan ternyata memang tempat itu adalah kamar Miko. Kamar Miko terlihat cukup luas, terdiri dari satu ranjang juga lemari pakaian, dan ada sebuah meja yang berisi tumpukan buku-buku. Ada satu ruangan lagi di dalam kamar ini yang Irna yakini kamar mandi.  “Cukup bersih kan?” “Lumayan..” Irna duduk di pinggiran ranjang Miko yang tidak terlalu empuk menurutnya. “Keras banget nih ranjang. Gue nggak bisa tidur kalau alas tidur gue aja udah nggak empuk.” “Astaga Irna! Setidaknya di sini ada kasur! Bersyukur napa sih Na!” Irna melirik sengit pada suaminya itu. Menggerutu akan sikap menyebalkannya Miko, Irna segera beranjak menuju kamar mandi yang ada di sana untuk membersihkan diri. “Ampun Irna!” Miko melotot menatap tajam pada Irna yang mengganti pakaiannya tanpa mengunci pintu kamar dan bisa – bisanya wanita itu tidak langsung menutupi tubuhnya ketika mata Miko sudah mendelik melihat tubuhnya. “Lain kali itu kunci pintu kalau ganti baju! Kalau nggak gitu ganti bajunya di kamar mandi.” “Bodo amat!” Irna segera memakai kaos kedodoran favoritnya yang super duper tipis, hingga Miko mampu melihat dengan jelas lekuk tubuh Irna dari balik kaos itu yang tercetak; karena wanita itu tidak memakai bra. Lalu pada akhirnya, Miko memilih memalingkan wajah dan mencoba tidak terpengaruh dengan godaan yang ada di depannya. “Nggak usah sok nggak mau lihat gue. Bullshit banget kelihatannya. Padahal napsu kan lo?” “Irna—“ “Gue nggak masalah kok kalau lo minta itu. Lo dan gue sudah menikah, sekalipun nggak ada perasaan tapi kalau wanita sama laki - lagi berduaan apalagi di kamar kayak gini yang ketiga pasti setan. Percaya deh sama gue.” Irna melangkah menuju meja kerja Miko yang di sana banyak berisi tumpukan buku dan mengambil lotion yang memang Irna letakkan di sana; karena di sini tidak ada meja rias. Lalu Irna mengusap lotion itu di lengan dan kakinya yang jenjang dan semua itu tak luput dari perhatian Miko. “Tunggu apa lagi? Masa iya gue yang inisiatif duluan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN