After Marriage 13

1656 Kata
Daffa menarik napas. Di depannya sudah ada secangkir kopi hitam pahit yang disodorkan ayahnya. Farhan menatap anaknya yang terlihat kacau. Matanya bengkak seperti habis menangis, ditambah rambutnya yang berantakan membuat Farhan menatapnya aneh. "Kamu kenapa A?" Farhan ikut-ikutan memanggil Daffa dengan sebutan Aa. Katanya biar enak. Daffa menatap ayahnya, lalu menatap kopi di dalam cangkir lagi. Malam ini ia pergi ke rumah Farhan bukan tanpa sebab. Pertengkarannya dengan Reya 3 hari yang lalu membuat Daffa ingin menemui Farhan. "Yah, gimana rasanya kehilangan?" Farhan menatap anaknya terkejut. Ia diam sepersekian detik sebelum menjawab pertanyaan Daffa. "Yang jelas lebih menyakitkan dari pada apapun." Daffa memejamkan matanya. Bayangan Reya meninggalkannya terlintas begitu saja dibenaknya. Bukan apa-apa, hanya saja Daffa sudah merasa nelangsa karna istrinya belum juga mau berbicara dengan dirinya sejak pengakuannya tempo hari. "Aku-" "Aku apa A?" "Aku berantem sama Re," kata Daffa pelan. Farhan menaruh kopi yang tadi sempat berada di genggamannya ke atas meja yang memisahkan mereka. Farhan berdehem sebentar, "berantem kayak gimana?" "Aku boongin Re yah. Aku ketemu Caca, dia mantan pertama sekaligus cewek pertama aku juga. Awalnya aku emang gasuka ketemu dia. Tapi tiba-tiba aja kenangan sama Caca muncul pas aku lagi sama Re," kata Daffa pelan. Farhan masih diam. Belum berani menjawab karna Daffa ingin segera melanjutkannya. "Aku ngajak Caca ketemu waktu itu. Aku izin ke Re, kalo aku mau ketemu temen-temen padahal aku ketemu Caca. Aku akuin aku salah karna berani bilang kangen ke Caca setelah aku beristri. Apalagi istriku lagi hamil. Tapi yah, demi Allah Daffa nggak punya hubungan apapun sama Caca." Daffa menceritakannya dengan suara lirih dan parau. Lelaki itu benar-benar menyesal. "Dan sekarang aku nggak tau gimana bikin Re baik ke aku lagi. Re kecewa sama aku, Re kecewa banget." Farhan memejamkan matanya. Ia merasakan apa yang dirasakan Daffa secara tidak langsung. Dalam hati Farhan memohon, semoga hanya dirinya yang merasakan sakit karna keliru oleh rasa sayang. "A maaf sebelumnya. Kamu masih sayang dia?" Daffa diam. Masih tidak bisa menjawab. Sama seperti pertanyaan Reya 3 hari yang lalu. Daffa menatap ayahnya lalu menggeleng. "Aku nggak tau." "Jangan keliru oleh rasa sayang A. Sayang itu ada dua macem, yang satu menyenangkan kamu, yang satu menyesatkan kamu." "Ayah bilang kayak gini karna ayah pernah ada diposisi kamu. Ayah pernah merasa kehilangan bunda karna cinta ayah yang terlalu besar ke tante Nur. Sakit A, jangan pernah coba-coba ke dalam posisi ayah dulu," Farhan meminum kopi yang ada di gelasnya. Ia menatap Daffa yang masih diam menunduk. "Aku minta maaf yah," "Jangan minta maaf ke ayah. Ayah ini kotor. Ayah b***t. Kamu minta maaf ke bundamu, terus minta maaf ke Reya. Tanya bunda, kamu pantas untuk dimaafkan atau nggak?" Daffa memejamkan matanya erat-erat. Sakit dirasakannya ketika ayah menyebut bunda dalam obrolan mereka. Daffa melihat Farhan, ia seperti melihat dirinya sendiri dengan versi yang berbeda. Good Daffa, kamu benar-benar b******k! *** Daffa memasuki kamar Diffa tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Diffa langsung melempar Daffa dengan sepatu yang sedang ada didekat kakinya. Karna cewek itu sedang memakai baju. "BANGKE! AA JANGAN MASUK!" Teriak Diffa. Daffa berdecak pelan. Ia memungut sepatu Diffa, lalu menutup pintunya. Membiarkan Diffa menyelesaikan kegiatannya. Ketika pintu dibuka, Daffa melihat Diffa sudah rapih dengan handuk yang masih melilit rambutnya. Daffa masuk ke kamar Diffa dan langsung merangsek tiduran di kasur kembarannya itu. Diffa menggesek rambutnya dengan handuk. Daffa memperhatikan Diffa. "Ngapain ngeliatin gue A! Buset dah ngeri banget berasa mau dianuin guenya," Diffa duduk di depan meja riasnya. Daffa melempar bantal cinta ke arah Diffa. "Ngaco. Badan lo aja tepos. Masih enakan juga Re!" Tukas Daffa. "Yeu songong!" "Bodoamat!" "Yain aja deh. Lo tumben banget pulang ke rumah. Kenapa mas bro?" Daffa memejamkan matanya sebentar. Ia bangun dari tidurnya lalu menatap Diffa lagi. Daffa mengambil guling lalu menaruhnya di atas paha. Membuat guling itu sebagai penyangga sikunya. "Gue ribut sama Reya," Ah rasanya sudah lama sekali Daffa tidak berbagi cerita dengan kembarannya ini. Diffa menatap Daffa sambil menyisir rambutnya dengan sisir yang ia pegang. "Yaelah santai aja! Lagian rumah tangga kalo ngga berantem kayanya gaenak. Ayah yang sabarnya ketulungan aja pernah berantem kan sama bunda? Meskipun ngga berantem gede-gedean sih." "Iya tapi ini beda. Itu bunda sama ayah berantem karna Ayah salah masukin gula sama micin ke adonan kue," Daffa menghela napas gusar. "Lah emang lo kenapa?" Daffa menarik napasnya. Lalu menceritakan semuanya ke Diffa. Diffa refleks melempar bantal cinta yang tadi Daffa lempar. "Itu lo yang keterlaluan!" "Gue nggak tau kudu apaan dif," lirih Daffa. "Jangan bilang ngga tau A. Lo laki-laki masa lembek gini. Lo juga salah, udah tau lo punya Reya kenapa juga masih mikirin Caca?" "Itu refleks Diff. Gue juga ngga mau mikirin Caca, tapi dia hadir mulu di kepala gue. Lo tau sendiri gue sama dia pacaran lama, terus lo juga tau dia cewek pertama yang bikin gue jatuh." Diffa memutar bola matanya malas, "t***l. Harusnya lo sadar kalo yang lo lakuin itu salah. Bukan malah membela diri kayak gini. Apalagi pake alasan cinta. Cih, A denger ya, cinta itu bikin seneng bukan bikin sengsara. Tolong jangan bucin banget!" Diffa berkata dengan sangat pedas. Dirinya merasa panas kala Daffa masih berusaha membela dirinya sendiri, padahal sudah jelas lelaki itu salah. "Bukannya bucin Diff. Gue cuma bingung sama diri gue sendiri." "Harusnya lo ngga usah bingung kalo emang lo sayang sama istri lo," Daffa menatap Diffa. Kembarannya itu menatapnya berapi-api tapi masih dengan gaya yang santai. Daffa tau, apa yang dilakukannya memancing kemarahan banyak orang. "Secara ngga langsung lo bilang kalo gue ga sayang Re?" "Lo ngerasa?" Daffa diam. Keterdiaman Daffa malah membuat Diffa naik pitam. "Sumpah. Lo harus minta maaf ke bunda. Minta maaf ke Reya, jangan sampe lo kehilangan Reya sama kayak ayah Farhan yang kehilangan bunda karna kebodohannya memilih cinta yang salah," Daffa menunduk dalam-dalam. Ia merasa akan runtuh karna kalimat Diffa benar-benar menusuknya. Daffa menatap Diffa nanar. "Maafin gue diff. Secara ngga langsung gue ngelukain lo juga," *** Caca menatap nanar ke arah Galen yang tengah terduduk sambil meminum kopinya pagi ini. Perempuan itu masih berada di rumah Galen setelah apa yang dilakukan Galen pada dirinya 3 hari yang lalu. "Mau ngapain kamu disitu?" Tanya Galen tanpa menatap Caca. Caca memilin ujung bajunya. "Antter aku ketemu Daffa," cicit nya pelan. Galen menghentikan acara meminum kopinya. Ia menaruh gelas di atas meja, lalu menghampiri caca yang sedang berada di pojok ruangan. "Kamu jangan gila. Dia udah beristri." "Aku gapeduli! Aku sayang sama dia Galen!" Galen memejamkan matanya berusaha menghalau rasa sakit yang tiba-tiba saja muncul karna pengakuan Caca. "Terserah! Mau kamu sayang, mau kamu cinta, dia udah beristri. Kamu nggak pantes buat dia!" Caca menampar Galen. "b******k! Kalo bukan karna kamu aku ngga bakalan putus sama Daffa waktu itu!" "Aku gapeduli. Terserah kamu mau bilang apa, yang jelas perempuan kayak kamu gapantes buat Daffa." Galen mengusap sudut bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah karna tamparan Caca yang terlampau kencang. "Terus menurut kamu, aku pantes gitu sama kamu? Nggak!" Galen tersenyum sinis. Lalu membelai pipi Caca. Membuat Caca kembali memundurkan langkahnya. "Galen jangan," lirihnya. Galen tidak peduli. Ia menarik Caca dan membawanya ke kamar untuk menuju puncak bersama. Maaf ca maaf. Aku cuma ga pengen kamu merusak hubungan dia dan istrinya. Lagipula aku mencintai kamu! *** Daffa membuka pintu kamarnya bersama Reya. Terlihat perempuan itu sedang memakai bajunya didepan lemari. Daffa tersenyum sembari menutup pintu. Freya melirik Daffa, ketika tau suaminya pulang Reya buru-buru ke kamar mandi untuk memakai baju disana. Daffa menarik napas lelah. Istrinya seperti malas melihat dirinya. Daffa duduk di ranjang lalu melepas kaus kaki miliknya. Tangannya beralih membuka kancing jeansnya. Reya keluar dari kamar mandi lalu mengambil satu boxer untuk Daffa pakai dan menaruhnya di ranjang. Tanpa berkata-kata lagi Freya turun ke bawah untuk membuat s**u. "Sini biar aku aja sayang," Daffa berusaha mengambil alih toples berisi s**u itu ke dalam genggamannya. Reya menepis tangan Daffa pelan. "Ngga usah." "Kenapa? Ngga papa kok sini aku buatin ya," Daffa masih mencoba untuk membujuk Reya. "Nggaa." Freya menuangkan air hangat dari dalam termos ke dalam gelas kaca yang sudah diisi dengan s**u bubuk. Daffa memperhatikan Reya, tangannya berusaha mengusap perut Reya ketika wanita itu sedang meminum susunya. Reya menepis tangan Daffa, lalu menaruh gelas ke atas wastafel. "Aku minta maaf," lirihnya suara Daffa membuat Reya tidak jadi kembali ke kamarnya. Wanita itu membalikan badannya dengan susah payah karna perutnya yang lumayan besar. Freya tersenyum hambar. "Ngga usah minta maaf. Udah lewat juga. Toh kalo emang kamu sayang sama dia ngga papa." Daffa memejamkan matanya. Dirinya langsung mendekati Reya untuk memeluk wanita itu. "Jangan bilang gitu Re. Aku sakit dengernya." "Kamu ngerasa sakit aku bilang kayak gitu? Apa kabar sama kamu yang justru terang-terangan ngaku kalo kamu ketemu cewek kegatelan itu karna kangen?!" Freya menatap Daffa tajam. Daffa mengepalkan tangannya berusaha menahan emosi karna Reya menyebut Caca 'kegatelan'. "Re kamu boleh marah sama aku. Aku emang salah aku ngaku. Tapi jangan bilang dia kayak gitu, dia ngga kayak-" Freya tertawa sumbang. "Jelas kan? Kamu ngebela dia. Didepan aku kamu ngebela dia." "Nggak kayak gitu sayang maksudnya. Maksud aku tuh-" "Apa?! Kamu bilang kalo kamu salah, iya kamu emang salah. Terus kamu bilang kalo dia ga kegatelan. A, kalo dia ga kegatelan dia ngga akan mau diajak kamu keluar apalagi sampe mau kamu ajak pulang bareng!" "Tapi dia emang ga kayak yang kamu nilai Re!" Refleks Daffa meneriaki Reya. Lelaki itu mengacak rambutnya sendiri. Merasa bersalah karna sudah meneriaki Reya. "Re maaf Aa-" "Udah cukup A, cukup." Freya menarik napas sambil berusaha menghalau air matanya agar tidak tumpah. "Dari semua yang Aa lakuin sampe hari ini. Sampe saat Aa bela Caca didepan aku, aku paham kalo Aa belum sepenuhnya ngelupain dia. Makasih A," Freya berjalan meninggalkan Daffa dimeja makan. Meninggalkan lelaki itu sendirian. Freya masuk ke kamarnya dan menangis disana. Ia mengusap perutnya sambil terus beristighfar. Reya ngga mau jadi Mama. Reya ngga mau jadi ayah, Reya ngga mau jadi bunda Nara. Reya ngga mau egois. Tapi perlakuan Daffa menyakiti hatinya. Ya Allah re harus apa? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN