After Marriage 14

1407 Kata
=== Freya memasukan beberapa baju Daffa ke dalam koper. Perempuan itu sedang menyiapkan keperluan Daffa untuk beberapa hari ke depan. Meskipun ia sedang dalam mode marah, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Daffa memeluk Reya dari belakang. Perempuan itu langsung melepasnya begitu saja. Daffa menatap punggung Reya yang tertutup daster panjang. "Re," panggilnya pelan. Freya tidak menjawab, juga tidak menoleh. "Re aku cuma 5 hari," kata Daffa. Freya menghentikan kegiatannya. Tangannya mengambil beberapa baju yang tadi sudah ia masukan ke dalam koper lalu mengembalikannya ke tempat semula. Reya menarik resleting koper lalu menaruh koper itu dipojokan. Daffa masih setia memperhatikan Reya. Daffa rindu Reya. Istrinya berubah menjadi pasif sejak kejadian itu. Freya mengambil kaus dan boxer dari dalam lemari lalu memberinya ke Daffa. Daffa tersenyum ia memajukan wajahnya untuk mencium Reya, tapi lagi-lagi perempuan itu menolak. "Jangan ke aku kalo kamu masih belum bisa nentuin siapa yang ada di hati kamu." *** Diffa menyeruput juice alpukat dari dalam gelas tinggi yang ada didepannya. Tangannya memegang ponsel sambil terus tertawa dengan wanita di hadapan nya. "Sumpah, sumpah. Lo dulu diem banget kampret!" Pekik Diffa. Caca tertawa kencang. Perempuan itu menatap Diffa sambil menutup mulutnya agar bukannya tidak terlalu lebar. "HAHAHAHAHA! Gue diem aja bisa ngegaet Aa lo kan? Gimana lagi kalo cerewet?" "Bisa mati kali Aa gua. Tapi ca, A daffa emang suka yang berisik." Caca mengerutkan keningnya. "Ah masa?" "Iya! lo liat aja tuh, lo fikir dulu Aa bisa naro hati ke Reya gara-gara apa?" Diffa berkata dengan antusias. Masa bodo dengan perasaan Caca. Wanita itu sudah tau duduk permasalahan antara Kakak dan kakak iparnya. Caca berdehem sebentar guna menuntaskan juice yang diminumnya agar masuk ke dalam pencernaan. "Lo serius Daffa jatuh cinta ke dia? Gue fikir Aa lo belum bisa lupain gue," Diffa tertawa. "Bukan jatuh ca. Naruh lebih tepatnya. Aa nitip hatinya di Reya, Reya juga nitip hatinya di Aa. Bukan asal jatuh cinta, terus nikah. Mereka ngga kayak gitu." Caca menatap Diffa. Perempuan itu merasa bahwa sahabatnya sudah putar haluan membela Freya dibanding dirinya. Ah sial wanita ganjen itu! -caca *** Daffa mencoba mendial nomor Reya. Laki-laki itu baru saja landing di bandara Branti-Lampung. Daffa menghembuskan napas gusar. Ini sudah telfon ketiganya, tapi Reya masih tidak mengangkatnya. Lagi, Daffa mencoba menghubungi Reya. Tapi istrinya itu masih tidak menjawab panggilannya. Akhirnya karna khawatir akan keadaan Freya, Daffa memutuskan untuk menelfon Rayyan agar datang ke apartemen nya bersama Reya. Via tlp "Ry Lo ke apart gua ya," "Hah? Mau ngapain A? Gue lagi beli taichan ini buat bunda." Rayyan menatap pedagang sate taichan yang sedang membuatkan pesanannya. Lelaki itu memerhatikan mobil dan motor-motor yang sedang melintas. "Buat ketemu kak re. Tolong ry. Gua ngga tau kudu kesiapa kalo bukan ke lo," suara Daffa terdengar memohon. "Emang kak re kenapa? Mau lahiran dia?" "Masih jauh cuk. Udah buruan lo kesana aja, gua khawatir sama dia." "Emang lo nggak telfon dia?" "Ngga diangkat." Rayyan menarik napas. "Yaudah gua ke apart lo." "Makasih ry." Daffa menarik napas lega. Ia mengelus d**a sambil menutup telfonnya. Daffa memperhatikan landasan pesawat dari balik kaca cockpitnya. Laki-laki itu memandang cincin nikahnya bersama Reya. Tuhan, Daffa rindu Reya. *** Freya berjalan untuk membukakan pintu kala bel terdengar dari luar. Perempuan itu tersenyum sumringah ketika tahu bahwa Rayyan adalah tamunya. "Hoi kakak ipar!" Sapa Rayyan. Rayyan menyambut tangan Reya lalu menciumnya. Reya mempersilahkan Rayyan masuk ke dalam. "Kamu tumben kesini dek!" Rayyan menghempaskan bokongnya pada sofa merah di ruang tamu. Rayyan nyengir, lalu memberi Reya sebungkus taichan. "Hehe ini mau ngasih ini, sekalian tadi disuruh Aa juga buat liat Lo," Freya langsung diam. Perempuan itu menarik napas lalu mengambil sebungkus taichan dari tangan Rayyan. Ia menaruhnya di meja makan lalu mengambil beberapa camilan beserta minuman untuk adik iparnya tersebut. "Nih ry, kakak cuma punya ini ngga papa?" Ucap Reya sambil menyodorkan stoples kripik kentang balado dan sebungkus chitatto. Rayyan nyengir. Lalu menyambut makanan yang di sodorkan Reya, "ice cream ngga ada kak?" "Chocolate ada. Kamu mau?" Rayyan mengangguk antusias. "Mau lah mau!" Freya tertawa, lalu kembali berjalan ke arah dapur untuk mengambil semangkuk ice cream chocolate untuk Rayyan. "Parah ini sih enaaak! Gue udah lama ngga makan es krim!" "Emang kenapa? Bunda ngga bolehin kamu?" Freya mengusap perutnya pelan-pelan sambil menatap Rayyan yang masih menyantap ice cream dengan khidmat. "Iyaa ngga boleh. Keren emang si bunda mah!" Rayyan menaruh mangkuk kecil berisi ice cream itu ke atas meja. Ia menatap Freya yang matanya sedang mengerjap-ngerjap lucu. "Oiya, omong-omong kata A Daffa, Kakak ngga angkat telfonnya." "Hah? Oh iyaa," Freya menarik napas. "Iya ini tadi kakak ga denger. Hpnya kakak silent." Rayyan memicingkan matanya, menatap Reya curiga. "Bener ngga denger kak?" Freya mengangguk. Rayyan merasa bahwa Freya berbohong. Lelaki itu mengusap rambutnya lalu menatap Reya lagi. "Kalo misal ada apa-apa sama kakak, kakak ngga usah takut. Ry bakalan jadi tameng kakak." *** Caca berdiri di depan cermin di kamarnya. Ia tidak lagi kerumah Galen semenjak terakhir kali laki-laki itu menggauli dirinya. Ia meremas sebuah foto yang sudah repot-repot ia cuci. Caca menatap foto itu dengan pandangan benci. "Semua orang sayang sama lo re, lo hidup dari dulu kayanya enak banget. Udah kayak Putri kerajaan yang ketemu sama pangeran ganteng!" Caca memperhatikan foto Reya yang ada ditangannya. Perempuan itu menatap benci ke arah senyum Reya yang merekah. "Bibir lo kebanyakan senyum Re. Lo gapantes bahagia." Tangannya menyambit silet, lalu merobek foto itu tepat di bagian bibir Reya. Caca tertawa. "Pantasnya emang gini. Anak p*****r kayak lo, harusnya gapernah bahagia. Lo cuma beruntung aja nikah sama Aa." Lagi, Caca menyilet foto Reya dibagian pipi. Foto itu sudah terlihat jelek. Caca semakin tertawa. "Lo jadi jelek. Freya Binar Abigail yang kayak tuan putri sekarang udah mirip Upik abu hahahaha.." *** Freya mengusap perutnya perlahan. Hari ini jadwal ia cek kandungan dengan dokter Nina. Reya berjalan pelan-pelan di lorong rumah sakit. Beberapa suster yang mengenalnya langsung menyapa perempuan itu dengan hangat. Reya duduk di kursi tunggu. Rumah sakit milik keluarga Farhan terlihat ramai sekarang. Apalagi banyak juga jejeran ibu-ibu hamil yang juga sedang mengantri untuk mendapat gilirannya seperti Reya. Reya mendapat urutan kedua, selain karna memang dokter Nina adalah dokter kandungannya, Reya juga sudah mengambil urutan nomor 2 semalam. "Suami nya mana dek?" Tanya ibu-ibu berbaju terusan merah disamping Reya. Ibu-ibu itu menatap Reya dengan pandangan menjatuhkan. Reya tersenyum hangat. Sambil masih mengusap perutnya perempuan itu menjawab. "Suami saya masih terbang Bu." Ibu-ibu itu mencebikkan bibirnya. Lalu menatap prihatin ke arah Reya. "Suami kamu pilot? Saya kira kamu bocah hamil diluar nikah!" Katanya dengan tajam. Freya memejamkan matanya. Ibu-ibu disampingnya ini terlihat baru oleh Reya. Maka dari itu Reya memakluminya. "Ngga kok buk. Suami saya emang pilot. Dia baru aja tugas 3 hari yang lalu." Ibu-ibu itu menganggukkan kepalanya. Masih mencoba memperhatikan Reya. Ketika perempuan itu dipanggil, Reya mengusap bahu ibu-ibu itu pelan. "Aku duluan ya," katanya dengan senyum. Ibu-ibu itu jadi tidak enak hati kala melihat cincin nikah yang ada di jari Reya. Ibu-ibu disebelahnya menyikut lengan wanita itu pelan. "Sembarangan kamu kalo ngomong!" *** Freya tersenyum haru ketika telinganya mendengar detak jantung buah hatinya melalui layar ultrasonik. Dokter Nina menggerakkan alat yang dipegangnya ke perut Reya yang sudah dilapisi oleh gel. "Sehat ya buk janinnya, ini tangannya udah ada ya, ibu mau tau jenis kelaminnya nggak?" Freya menggeleng. "Nggak usah dokter, saya pengen jadi surprise aja." Dokter Nina tersenyum. Ia membersihkan perut Reya dari gel lalu mengancingi baju hamil yang dipakai Reya. Dokter Nina berjalan ke arah mejanya diikuti Reya yang juga berjalan ke arah mejanya. Dokter Nina memberikan resep vitamin yang harus reya tebus di apotek. "Kamu ngga boleh stress ya. Kalo bisa kamu harus banyak-banyak bahagia. Biar si dedek juga jadi kebawa bahagia ibunya!" Freya tersenyum. Lalu mengangguk. Setelahnya ia keluar dari ruangan dokter Nina untuk ke apotek dan menebus obat. Alhamdulillah kamu sehat! *** Daffa menatap layar ponselnya. Reya memberikan foto 3D hasil pemeriksaan anaknya. Daffa tersenyum haru, laki-laki itu dengan bangga menunjukannya kepada semua awak di kabin pesawat. "Wah capt anaknya cewek/cowok tuh?" Daffa tertawa. Matanya berair karna melihat foto 'bakal' anaknya yang dikirimi Reya. Laki-laki itu ingin segera pulang lalu mengunjungi anaknya. Tapi mengingat reya yang tidak mau disentuh olehnya, membuat Daffa jadi miris sendiri. "Istri saya ngga bilang ini cewek atau cowok. Tapi apapun bakalan saya syukuri. Ini nikmat dari Allah," kata Daffa. Laki-laki itu benar-benar memperhatikan foto yang di kirim Reya. Tuhan, Daffa benar-benar menyayangi mereka. Daffa tidak ingin kehilangan mereka. Tidak ingin.  Re maafin aa sayang - lirihnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN