6

1030 Kata
~Senja~ Mataku enggan terpejam walau mata di dera kantuk hebat. Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dan aku belum juga bisa tidur, padahal aku besok masih harus kerja lagi. Ini semua gara-gara kak Biru yang tadi tiba-tiba nongol di salon dan ngajak aku makan sepulang kerja. "Pacaran yuk." Katanya. "Hah ?" "Pedes ? Minum gih." Katanya sambil memberikanku minuman. "Ih aku ga kepedesen kak!" Tolakku sambil mengambil gelas yang dia berikan dan mengembalikannya ke meja. "Lha tadi 'hah' gitu ? Kirain kepedesen ?" "Bukan. Tapi kaget tuh sama omongan kamu." Kataku sambil terus memakan bakso. "Kenapa kaget ? Emang gak mau ?" "Gak ucah ngaco deh kak, udah makan aja. Laper." "Yaelah bocah, malah dibilang ngaco lagi. Serius ini. Emang gak kelihatan dari wajahku?" Tanya kak Biru sambil menaruh mangkok baksonya ke meja dan melihatku. "Hubungan kita sejauh ini udah baik lho kak, jangan dibumbui pake cinta-cintaan ah. Takut malah jadi musuh kalau nanti gak jodoh." Kataku. "Ya harus jodoh dong!" "Kok gitu ? Berani maksa Tuhan emang ?" "Demi kamu berani. Hahahha." "Aku fokus kerja dulu, kakak fokus kuliah dulu, kalau masih ada waktu dan kita berjodoh, langsung lamar ya gak udah pacar-pacaran." Jawabku sambil menyeruput es teh. "Wah nih bocah ngajaknya serius langsung ya, oke kalau gitu. Tunggu ya jangan cari pacar dulu." "Iya." Ini bukan kali pertama kak Biru ngajal pacaran, aku sendiri gak pernah tau apakah dia serius atau enggak, pasalnya setiap kali dia nembak jatuhnya bukan kaya ngajak pacaran, untung aku bukan orang yang baperan, jadi ga gampang mengiyakan ajakan kak Biru. Kupikir mungkin dia memang bercanda, buktinya setelah dia ngajak pacaran dan kutolak, besoknya dia pacaran sama temen sekolahku. Patah hati ? Enggaklah. Bukan aku tidak memiliki rasa padanya, getaran itu ada, rasa itu ada untuk kak Biru, tapi jujur aku belum berani mengatakan 'iya' karena aku bener-bener takut kalau akhirnya nanti kecewa. Hubungan yang terjalin beberapa tahun ini udah baik, dan biarkan seterusnya menjadi baik, aku tidak mau gara-gara pacaran malah merusak semuanya, kecuali jika Tuhan memang menjodohkan kak Biru buat aku. **** "Tante Senja !" Aku kaget ketika melihat ada Bulan di salon tempatku bekerja. Meskipun aku baru pertama bertemu dengannya aku sudah hafal betul wajah hitam manis miliknya. "Bulan ? Kamu ngapain disini ?" Aku yang baru saja selesai menyapu salon lamgsung menghampiri Bulan. "Ayo ikut tante, Bintang dari kemarin sakit panas, dia terus-terusan ngigau manggil tante." Kata Bulan sambil menangis. "Tapi tante lagi kerja, tante gak bisa." Tolakku halus. "Kenapa Ja ?" Tanya tante Intan. "Ini Bulan, adek mbak Mentari mi, dia minta aku buat ikut dia karena adeknya sakit." Jelasku. "Adeknya Mentari yang manggil kamu mama itu ?" Aku dan Bulan mengangguk. "Untuk apa adekmu mencari Senja ?" Tanya tante Intan pada Bulan. "Bagi Bintang, tante Senja mirip sama mama kami. Tolong tante ijinkan tante Senja ikut saya sebentar saja. Adek saya Bintang tidak pernah melihat mama, mama meninggal saat melahirkan Bintang, saya juga gak tau kenapa bisa seperti ini, dia menganggap tante Senja seperti mama kami. Saya mohon tante ijinkan tante Senja ikut kami sebentar saja." Bulan merengek memohon pada Tante Intan. Tante Intan melihat sekeliling. Ada mbak Meka dan yang lain, pelanggan salon baru ada 2 orang, mungkin tante pikir bisa dilayani oleh karyawan lain. "Yasudah boleh. Tapi jangan lama-lama ya?" Jawab tante Intan sambil tersenyum. "Makasih tante." "Semoga adikmu cepet sembuh ya." Kata tante Intan sebelum pergi meninggalkan kami. "Ayo tante!" Ajak Bulan. "Iya sebentar. Tante beresin dulu sapu dan yang lain. Kamu naik apa kesini ?" "Naik taksi online tante." "Yaudah nanti pakai motor tante ya. Kamu hapal kan jalan ke rumah kamu ?" "Tapi gak bawa helm tante." "Nanti tante pinjemin helm tante Meka ya. Kamu tunggu sebentar." Aku melajukan motorku dengan kecepatan sedang. Entah kenapa tiba-tiba aku menjadi deg-deg.an seperti ini. Aku tak menyangka sama sekali kalau Bintang benar-benar memganggapku sebagai mamanya. Bahkan Bulanpun juga sampai rela memjemputku demi Bulan. Perjalanan dari salon menuju rumah Bulan cukup menempuh waktu 20 menit. Jalanan begitu ramai karena ini hari minggu. Biasanya kalau hari minggu orang-orang pada berbondong-bondong memanjakan dirinya ke mall, sekedar makan bersama keluarga, pacar atau nonton film doang. Sebelum sampai kerumah Bintang aku sempatkan dulu mampir ke pasar beli bubur ayam langgananku, semoga saja belum habis mengingat ini sudah hampir jam 9. Rumah bercat putih berpagar hitam itu nampak asri, bersih dan rapi. Taman ikan di depan rumah menyejukkan telinga ketika kita mendengarnya di sore hari. Aku mengikuti langkah Bulan memasuki rumahnya, rumahnya gak begitu besar, tapi rapi. Banyak poto-poto keluarga terpampang di setiap sudut rumah. Mulai menaiki tangga menuju kamar Bintang, aku merasa tak nyaman ketika memasuki kamar Bintang karena kulihat ayah Bintang masih tertidur pulas di sofa pojok kamar. "Ayo tante." Bulan menarikku masuk karena aku kembali keluar kamar. "Kamu aja, tante gak enak ada papamu." Kataku berbisik. "Papa kan tidur. Ayo kita bangunkan Bintang, dia pasti seneng ada tante datang." Bulan kembali menarikku ke kemar. Pelan-pelan aku memasuki kamar, aku melangkah menuju ke arah dimana Bintang berbaring. Aku duduk disampingnya dan memegang tangannya. Masih hangat, kupegang juga wajahnya masih panas dibagian pipi dan leher. "Mama ?" Tiba-tiba Bintang bangun dan memanggilku. "Stttt papa tidur, Bintang jangan keras-keras." Kuberikan isyarat agar Bintang memelankan suaranya. "Bintang seneng mama datang." Kata Bintang sambil memelukku. "Keluar sebentar yuk sama mama. Mama beliin bubur ayam buat kamu." Ajakku "Mau ma." Kugendong Bintang keluar kamar disusul Bulan di belakangku. Mereka memintaku untuk duduk di taman belakang, Bintang senang sekali dengan kedatangannku. Aku bisa melihat keceriaan diwajahnya, enta kebetulan atau tidak yang jelas saat aku selesai menyuapinya bubur ayam panas dibadannya langsung hilang. Entah kenapa disaat seperti ini jiwa keibuanku keluar, aku memandikan Bintang, menyisir rambutnya, mendandaninya dan bermain dengannya, melihat dia tersenyum membuatku bahagia. "Ini poto mama kami." Kata Bulan memperlihatkan poto keluarga saat ibu mereka masih mengandung. "Dan yang di dalam perut mama itu aku." Sambung Bintang. "Mama meninggal setelah melahirkan aku, kata kak Mentari kalau aku gak lahir mama pasti gak akan meninggal." Kata Bintang sambil menunduk. "Eh gak boleh begitu, sini sayang peluk mama." Kupeluk Bintang. Bener-bener pedes ya mulut Mentari, pantes aja di sekolahan dia sadis banget, ternyata udah bawaan sifat kali ya. Tapi kok ya tega bener sama adik sendiri seperti itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN