7

1038 Kata
Aku melajukan motorku dengan kecepatan tinggi. Sungguh emosi aku dengan perkataan Mentari. Aku bahkan ga nyangka sama sekali kalau om Langit juga diem aja ketika mendengar anak bungsunya itu menghina orang lain. Jika bukan karena Bulan dan Bintang aku tentu tidak akan sudi mau kerumah mereka. Udah bagus aku yang bukan siapa-siapa mau nolongin, kalau ga gitu kan Bintang pasti udah sakit karena rindu pada mamanya. "Kenapa sih cemberut aja ?" Tanya Biru. "Inget ga sih sama anak kecil yang manggil aku mama tempo hari ?" "Inget. Kenapa ?" Aku lalu menceritakan semuanya pada kak Biru, bercerita padanya sedikit mengurangi kemarahanku akibat ulah Mentari tadi pagi. "Sabar, niatmu kan menolong Bintang. Anggap saja Mentari angin lalu." "Ya tapi tetep aja BT. Dia itu bener-bener merendahkan orang banget lho. Setidaknya sedikit menghargai kek." "Udah-udah jangan cemberut, nanti gak cantik lagi." "Orang emang gak cantik kok." "Cantik kok. Semua cewek itu cantik." "Halah gombalmu kak." "Hahahaha jadi gimana ? Mau gak pacaran ?" "Enggak. Cari sana cewe dikampus banyak yang cantik." "Bosen sama yang cantik, pengen ngrasain gantian pacaran sama yang jelek." "Astaga..... Sana ih pulang ! Aku ngantuk. Mau tidur!" Kutinggalkan Biru sendirian di luar rumah, biarlah dia disana sendirian. Bete banget dibuatnya, habis dipuji terus dikatain, kan menyebalkan. **** Aku terbangun ketika mendengar suara tangisan ibuku yang begitu kencang, aku segera berlari keluar kamar dan kudapati ibuku bersimpuh di depan para pria-pria berperawakan tinggi besar seperti preman. Aku langsung menuju ke arah ibuku, kubantu dia berdiri agar tak lagi berlutut di depan manusia jahat seperti mereka. "Pergilah dari sini ! Karena rumah ini sudah akan di tempati pemilik barunya !" Perintah salah satu preman itu. "Jika kami pergi, kami akan tinggal dimana ?" "Bukan urusan kami ! Tanyakan sendiri kepada Handoyo kenapa dia menjual rumahnya !" Handoyo itu nama ayahku. Dia sudah menghilang selama bertahun-tahun, kini kudengar kembali namanya dengan membawa luka dihatiku dan ibuku. Baru kutau jika ayahku menjual rumah tanpa sepengetahuan kami. Ayahku berhutang kepada rentenir dan menjaminkan rumah kami sebagai jaminan atas hutang-hutangnya. Ibuku tak pernah bercerita jika mereka pernah kemari satu minggu lalu untuk memberi peringatan pada kami agar kami segera pergi meninggalkan rumah ini, dan kini kami berdua harus pergi dari rumah kami sendiri. Sepeserpun kami tidak menikmati uang hasil pinjaman ayah, tapi kami yang disuruh menanggung semua hutang ayah. Sumpah demi apapun aku tidak akan memaafkan ayahku. Hal yang buruk kuucap dalam hatiku agar ayahku menerima balasan setimpal atas perbuatan jahatnya. Aku tidak lagi takut berdosa karena mendokan ayahku yang jelek, karena buatku perbuatannya yang buruk kepada kami layak mendapat sumpah serapah dariku. "Berhenti dulu Ja." Pinta ibuku saat kuajak dia pergi ke salon menggunakan motorku. "Kenapa buk ?" Tanyaku begitu motor ku pinggirkan. "Kepala ibuk pusing Ja." Jawab ibuku sambil turun dari motor dan langsung terduduk di trotoar. "Eh ibuk, kenapa buk ?" Tanyaku panik sambil mendekati ibuku. "Maafkan ibuk ya Ja, gak bisa jadi ibuk yang baik buat kamu." Kata ibuku sambil menangis. "Ibuk jangan bilang begitu. Kita ke salon dulu hari ini ya buk, setelah dapat pinjaman dari mami Intan nanti kita cari kontrakan. Sekarang ibuk gak boleh mikir yang aneh-aneh, jangan tinggalin aku ya buk. Ibuk disini dulu sebentar, Senja cariin minum ya." Aku meninggalkan ibuku di trotoar sebentar sementara aku pergi mencari air mineral. Mungkin dia lelah sehingga hampir pingsan seperti ini, aku bingung setelah ini dapat pinjaman tidak dari mami Intan, karena aku sendiri kerja disana belum ada sebulan. Sementara aku tak punya uang sepeserpun untuk mencari kontrakan baru. Tin ...... Tin..... Tin ..... "Aaaaaaaaaaa !!!!!" Aku memejamkan mataku karena kulihat sebuah mobil pajero Hitam melintas tepat di depanku. Aku melamun sehingga aku tidak menyadari jika motor yang ku kendarai berjalan ke tengah dan membuat mobil dari seberang arah menabrakku. "Woy ! Bisa naik motor tidak !" Suara orang berteriak tepat di depanku. Aku masih memejamkan mata karena takut jika aku sudah tidak bisa melihat ibuku lagi. "Buka matamu !" Bentak seseorang itu. Pelan-pelan mulai kubuka mataku. Kulihat sepatu pantofel terbuat dari kulit asli, celana levis dan kemeja warna hitam rapi dikenakan oleh pria tersebut. "Om Langit ?" Ternyata dia papa Bintang. "Kamu mau bunuh diri ?" Bentaknya. "Maaf om, aku ga konsen naik motornya." Jawabku sambil kembali menunduk. "Kalau tidak konsen tidak usah naik motor ! Kamu tau tidak apa yang kamu lakukan itu membahayakan kamu sendiri dan orang lain !" "Maaf om saya gak sengaja." "Minggir ! Gara-gara kamu meeting saya jadi terlambat !" Perintahnya kemudian kembali memasuki mobil. Kupinggirkan motorku, kembali kukendarai dengan pelan karena takut kalau membahayakan seperti tadi. Kujemput ibuku dan kuberikan dia air putih setelah lebih baik kuajak ibuku pergi ke salon. Kuceritakan semua yang kualami pada mami Intan, benar saja dugaanku. Mami Intan tidak memberikan aku pinjaman uang, dan sekarang aku harus memutar otak bagaimana caranya agar bisa mendapatkan uang untuk menyewa kontrakan. "Ibuk tunggu disini ya. Senja mau pergi sebentar." "Kamu mau kemana ?" "Sebentar aja bu. Senja mau cari uang dulu. Ibu tunggu disini." Kutinggalkan ibuku sendiri di depan salon, mumpung belum buka aku segera melajukan motorku dengan kecepatan tinggi. Mungkin akan sedikit terlihat bodoh, tapi inilah cara satu-satunya agar aku bisa mendapatkan uang. Motorku berhenti tepat di depan pabrik kue milik papa Bintang. Ya ! Aku tak tau darimana ide bodoh ini tapi aku berharap usahaku kali ini sedikit membuahkan hasil. Kutarik nafas dalam-dalam sebelum memasuki pabrik besar yang di depannya terdapat toko kue itu. "Permisi pak." Sapaku pada satpam yang menunggu di depan pabrik. "Iya mbak. Ada yang bisa dibantu ?" Tanya satpam. "Saya mau cari om, eh Langit ada ?" "Oh pak Langit ? Ada mbak, baru saja beliau datang. Kalau boleh tau mbak siapa ?" "Saya ..... Saya ...... " Aku bingung harus mengaku sebagai siapa, karena aku tau om Langit pasti tidak akan mengenaliku. "Mbak ?" Panggil satpam itu lagi membuyarkan kebingunganku. "Saya calon istrinya!" Bodoh ! Dapat keberanian darimana aku berkata seperti itu. Wajah satpam itu langsung menatapku dengan wajah keheranan dan melihatku dari atas sampai bawah, setelahnya dia menunduk sopan kepadaku dan meminta izin untuk masuk memanggilkan om Langit. Aku menepuk bibirku sendiri atas tindakan bodohku, aku yakin setelah ini nanti om Langit akan keluar dan akan memakiku, tapi sungguh aku tak bermaksud sama sekali untuk membuatnya malu ataupun marah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN