#
Arnetta tampak tersenyum ketika melihat kedatangan Kinan.
Kinan melangkah ke arah tempat sahabatnya melambaikan tangan.
Arnetta menilik penampilan Kinan.
"Wow....kemana Kinan kita yang glamor." Ucap Arnetta. Setelah sekian lama, baru sekarang ia melihat Kinan berpakaian seperti ini lagi. Hanya kaos putih dan celana jeans, kalau sampai ia mengenakan sneakers maka Arnetta benar-benar akan merasa kalau sahabatnya itu kembali menjadi anak SMA.
Kinan tertawa.
"Pakaian seperti itu tidak terlalu cocok untukku. Aku memperbarui selera fashionku."
"Baiklah....kulihat kecelakaan itu tidak hanya mengambil beberapa memorimu, tapi juga selera burukmu dalam berpakaian. Serius, saudara dan sepupumu benar-benar memberi pengaruh buruk pada caramu berpakaian, dulu kau bahkan tidak mau mendengarkanku." Ucap Arnetta.
Kinan tertawa, wajahnya menunjukkan ekspresi meminta maaf.
"Maafkan aku, kurasa sekarang aku harus lebih mendengarkanmu, disini kau modelnya. Siapa yang lebih tahu tentang fashion selain dirimu?"
Arnetta mengangkat jempolnya.
"Definitely. Mulai sekarang aku akan membantumu menjadi Miss fashionista." Ucap Arnetta.
Kinan hanya tersenyum.
"Jadi apa rencanamu sekarang? Apa kau baik-baik saja tinggal di rumah itu?" Tanya Arnetta.
Kinan meraih menu.
"Sikapnya masih tidak baik, tapi setidaknya kami jarang berinteraksi untuk saat ini."
Kinan memesan croissant dan kopi.
Arnetta menatap Kinan.
"Makanan itu tidak cocok untuk makan siang, kau sudah cukup kurus pilihlah makanan yang mengandung sedikit karbo dan protein." Arnetta meraih menu membatalkan pesanan Kinan dan menggantinya dengan pesanan steak serta jus jeruk.
Kinan tertawa. Sejak dulu hingga sekarang, sahabatnya ini tidak pernah berubah.
"Aku butuh pekerjaan. Apa kau bisa membantuku?" Tanya Kinan akhirnya.
Arnetta menatap Kinan dengan sorot prihatin yang tidak kentara. Ia tahu, keluarga Kinan tidak lagi memperdulikannya, dan si b******k Hansel mungkin tidak memberinya uang.
Kinan tersenyum lembut. Ia tahu apa yang kini tengah dipikirkan sahabatnya itu.
"Papa masih mengirimkan uang ke rekeningku setiap bulannya, meski tidak banyak dan Hansel masih membayar semua tagihan kartu kreditku. Lagipula, dia cukup baik dengan menghandle semua berita tentang kecelakaanku, setidaknya sampai sekarang tidak ada wartawan yang menggangguku." Kinan menjelaskan.
Arnetta mendengus. Sahabatnya masih saja membela pria itu.
Kinan tersenyum, menampilkan dua lesung pipi yang menggoda.
Seorang pelayan membawakan pesanan Kinan dan Arnetta. Meletakkannya di atas meja sebelum mempersilahkan mereka menikmati pesanannya.
"Jadi, pekerjaan seperti apa yang kau inginkan?" Tanya Arnetta.
"Apapun, aku tidak punya kemampuan yang cukup, apalagi pengalaman, dan....aku hanya punya ijazah SMA sebagai modal. Aku sebenarnya tidak apa-apa dengan pekerjaan biasa saja, tapi jika aku salah langkah dan sampai ke telinga media. Hansel akan mencari cara untuk membatasi kebebasanku, dan aku tidak menginginkan hal itu. Karena itu aku tidak bisa mengirimkan surat lamaran kerja ke sembarang perusahaan secara random." Ucap Kinan.
Apa yang dikatakan Kinan memang benar. Menjadi istri seorang Hansel Adiwarman memang tidak hanya membuatnya terkenal tapi juga incaran media infotainment. Terlebih selama ini dia dikenal sebagai Nyonya Adiwarman yang royal, eksentrik dan arogan. Itu saja sudah cukup membawa masalah untuknya.
Dalam hati, Kinan menyesali kebodohannya dulu. Kenapa dulu ia tidak bisa menjadi Nyonya Adiwarman yang tenang dan menjauhkan diri dari media?
"Kau bisa menjadi model." Ucap Arnetta.
Kinan mengerutkan dahinya.
"Model? Sepertimu?" Tanyanya tidak yakin.
"Kenapa tidak? Dulu kau yang memperkenalkanku ke dunia ini, kalau bukan karena dirimu dan Tante, aku tidak akan pernah sampai ke dunia ini, aku tahu kau berbakat. Lihat dirimu Kinan? Kau masih muda, cantik, dengan tubuh seperti itu kau bisa menjadi model populer kalau kau mau." Arnetta memotong steak dihadapannya menjadi potongan-potongan kecil.
Kinan terdiam.
"Apa aku bisa?" Ucapnya pelan.
Arnetta menyodorkan potongan-potongan kecil steak itu ke hadapan Kinan.
"Untuk usiamu sekarang, bisa dikatakan kalau kau sedikit terlambat masuk ke dunia ini, tapi aku yakin kalau kau bisa. Jangan khawatir. Menjadi model produk tidak akan membuatmu terekspos secara pribadi seperti artis. Orang-orang cenderung melihat produk yang kita bawakan saat menjadi model brand. Lagipula sebagai pendatang baru, sangat tidak mungkin wajahmu akan langsung mengisi Billboard atau semacamnya. Wajahmu hanya akan lalu lalang di majalah-majalah mode dan situs-situs official brand tertentu." Arnetta berusaha meyakinkan sahabatnya.
Kinan menarik nafas panjang.
"Baiklah, aku akan melakukannya. Dari mana aku harus mulai?." Tanya Kinan. Ia memang tidak memiliki banyak pilihan.
Arnetta tersenyum lega.
"Kau ingat? Tunanganku seorang fotographer pro. Aku akan memintanya mengambil beberapa posemu dan aku juga akan meminta managerku membantu. Dia paling tahu tempat yang tepat untuk memulai bagi seorang model pemula." Arnetta mengedipkan sebelah matanya.
"Aku berhutang budi terlalu banyak kepadamu." Kinan menatap Arnetta dengan tatapan haru.
"Itulah gunanya sahabat. Dulu kaulah yang selalu membantuku dimasa-masa tersulit dalam hidupku, kali ini aku juga akan melakukan apapun untuk membantumu." Ada kesungguhan dalam nada suara Arnetta.
Kinan memasukkan potongan kecil daging yang tadi disodorkan Arnetta ke dalam mulutnya.
"Bagaiman dengan sekolah? Dulu kau suka membuat desain kan? Kenapa tidak mencoba mengasah bakatmu di bidang itu?" Tanya Arnetta dengan hati-hati.
Kinan mengangguk.
"Aku ingin, tapi sebelum itu kondisi keuanganku harus stabil dulu. Dengan kondisiku sekarang, sewaktu-waktu aku bisa saja menjadi gembel. Kalau Hansel dan aku bercerai, aku ragu Papa akan tetap memberiku uang bulanan." Ucap Kinan.
Dahi Arnetta mengerut bingung.
"Untuk apa kau bersikeras meminta sebanyak itu kepada Hansel kalau kau tahu ia hampir mustahil mengabulkannya?" Ucap Arnetta.
Kinan menggigit bibirnya pelan.
"Jika aku menjadi janda Hansel. Hidupku akan sulit kedepannya. Aku harus punya modal hidup yang cukup untuk memulai hidupku di tempat lain. Aku ingin meninggalkan negara ini. Sekolah lagi, membangun karir, dan entahlah....mungkin memulai bisnis kecil-kecilan di luar sana." Ujar Kinan.
"Kalau kau memang ingin membangun hidup yang baru jauh dari Hansel, kenapa kau harus menuntut rumah yang di Singapura dan rumah yang kalian tempati sekarang?" Arnetta benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran sahabatnya.
Kinan tersenyum.
"Kedua rumah itu dibangun di tempat yang bagus. Dalam beberapa tahun kedepan, harga aset seperti itu akan melonjak. Jika ternyata aku tidak berhasil dalam bisnis dan karir. Aku masih memiliki jaminan hidup." Jawabnya ringan.
Arnetta melongo menatap Kinan.
"Wow, sejak kapan sahabatku menjadi pintar dalam hal seperti ini? Kau tahu? Kau terdengar sedikit serakah, tapi aku suka."
Kinan tertawa lepas
"Sejak aku tahu kalau uang dan masa depan lebih penting dibanding cinta. Aku hanya ingin hidup dengan lebih baik."
Arnetta mengangguk paham. Ia setuju.
"Kau mempertaruhkan segalanya untuk mendapatkan segalanya." Ucap Arnetta akhirnya.
"Kalau Hansel memberikan yang aku minta, aku tidak akan perlu khawatir lagi tentang hidupku di masa depan. Kalau tidak, kau akan memiliki seorang sahabat yang miskin." Ucap Kinan.
Setelah sekian lama, akhirnya Arnetta bisa melihat Kinan bersikap dan berpikir logis.
"Tidak masalah, aku akan menghidupimu seperti anakku sendiri."
Keduanya tertawa.
"Apa kali ini aku harus mulai memanggilmu mama?" Ejek Kinan.
Tanpa keduanya sadari, tidak jauh dari tempat mereka berada, seseorang tengah diam-diam memperhatikan mereka.
#
Hansel baru keluar dari ruang kerjanya, ia duduk di meja makan seorang diri.
"Panggil Kinan turun untuk makan malam." Ucap Hansel pada Mbok Asih.
Hampir seminggu Kinan menjauhinya. Setelah kejadian malam itu, Kinan sama sekali tidak mau berbicara kepadanya dan memilih untuk makan dikamar daripada di ruang makan bersamanya. Kalau mereka bertemu, Kinan akan bersikap seolah tidak melihatnya.
Meski begitu, ia tidak bisa tidak mengamati perubahan penampilan dan sikap istrinya dari hari ke hari.
Kinan tidak lagi mempersoalkan kalau dirinya pulang atau tidak. Wanita itu lebih senang mengurung diri di kamar, entah apa yang ia lakukan, dan ia juga tidak pernah lagi melihat Kinan berpenampilan glamor seperti dulu. Tidak ada make-up berat di wajahnya, tidak ada baju seksi yang norak.
Penampilan Kinan berubah dari glamor menjadi kasual. Lebih santai dan lebih segar di mata Hansel.
Hansel menggeleng cepat mengusir bayangan Kinan dari dalam pikirannya. Sejak kapan ia begitu memperhatikan penampilan istrinya?
"Tapi, nyonya belum pulang tuan." Ucap Mbok Asih.
Hansel mengerutkan dahinya.
"Dia tidak ada dirumah? Kemana? Sejak jam berapa dia keluar?" Tanya Hansel, wajahnya terlihat kesal.
Mbok Asih menggeleng.
"Tidak tahu tuan, nyonya tidak bilang apa-apa. Tapi Nyonya sudah keluar sejak jam 11 siang." Ucap Mbok Asih.
Sekali lagi tanpa alasan yang jelas ia merasa tidak suka dan kesal saat tahu istrinya tidak mengabarinya.
Suara langkah kaki terdengar dari ruang depan. Hansel berdiri, melesat ke ruang tengah. Ia tahu itu suara langkah kaki Kinan.
Kinan baru saja masuk, ia melangkah melewati Hansel menuju tangga.
"Darimana saja kau?" Tanya Hansel dengan mata menyipit. Ia menatap Kinan dari ujung kaki hingga ujung kepala. Jeans dan kaos oblong? Make-up tipis? Istrinya terlihat seperti bukan istrinya.
Kinan berhenti.
"Bertemu teman." Jawabnya.
"Kita masih suami istri, kau seharusnya mengabariku! Teman yang kau temui apa teman-temanmu di bar itu?!" Nada suara Hansel agak meninggi.
Kinan tidak begitu ingat dengan teman-temannya yang lain selain Arnetta.
Bar? Apa ia suka minum dulu?
Amnesianya bukan jenis yang parah hingga membuatnya lupa segala-galanya. Hanya beberapa hal kecil yang tampaknya tidak begitu ia butuhkan dalam menjalani hidupnya sekarang. Tapi lama-lama ia mulai merasa terganggu.
"Apa aku dulu pernah ke bar?" Kinan balik bertanya.
Hansel mendecih.
"Ck...Jangan bilang kalau amnesiamu membuatmu lupa dengan hal itu. Kau hampir setiap hari ke bar sebelum kau mengandung. Teman-teman dari lingkungan sosialitamu itu, mana mungkin kau lupa." Ia menatap Kinan sinis.
Kinan selalu senang bergaul dengan para wanita kurang kerjaan yang hanya tahu bagaimana cara menghabiskan uang dari suami-suami tua kaya raya mereka.
Kinan mendesah.
"Kau tidak perlu percaya juga. Tidak penting." Ucap Kinan. Ia berlalu, kakinya menapak satu anak tangga.
"Kau belum menjawab pertanyaanku." Hansel menuntut.
"Bukan urusanmu." Ucap Kinan datar, ia melanjutkan langkah kakinya menuju kamarnya.
"Kinan!" Hansel berteriak kesal.
Kinan kembali berhenti melangkah, ia menatap Hansel tanpa ekspresi berarti.
"Turunlah untuk makan malam." Ucap Hansel akhirnya.
"Aku akan makan di kamar seperti biasa." Ucap Kinan.
"Kubilang turun untuk makan malam!" Hansel kembali bersikeras.
Kinan tersenyum.
"Sekarang? Tidak bisakah aku mandi dulu? Aku perlu menyegarkan diri."
"Mandilah dan turun untuk makan malam! Tidak ada lagi sarapan, makan siang, atau makan malam di kamar!" Titah Hansel sebelum akhirnya berbalik menuju ke ruang makan.
"Tuan...tidak makan?" Tanya Ani penasaran. Ia tidak perduli meski Mbok Asih menyenggolnya sebagai isyarat agar ia diam.
"Nanti saja. Aku akan menunggu Kinan." Ucap Hansel.
Keduanya membereskan lagi makanan di atas meja untuk disajikan lagi nanti.
Kinan melangkah santai menuju kamar mandi. Mengisi bath tub dengan air hangat dan sabun, melepaskan pakaian yang melekat di tubuhnya, kemudian masuk ke dalamnya. Merasakan kelembutan membelai kulitnya, menikmati surga kecil yang sangat digemarinya entah sejak kapan.
Bersambung.....