Kinan melangkah perlahan menuruni tangga menuju ke ruang makan. Ia mengenakan pakaian yang terlihat jauh lebih santai.
Ia tertegun sejenak melihat Hansel yang tidak bergeming menatapnya. Pada akhirnya Kinan memilih untuk duduk di kursi yang berseberangan dengan Hansel tanpa menatap lagi raut wajah Hansel yang menggelap.
"Kenapa lama sekali?! Sebenarnya kau itu mandi atau ganti kulit sih." Hansel terlihat semakin kesal karena Kinan mengacuhkannya.
Kinan menatapnya sekilas.
"Aku tertidur sebentar tadi." Ucap Kinan tanpa merasa bersalah sama sekali.
Hansel menggeram pelan.
"Bawa makanannya Bik. Kalau setiap hari seperti ini aku bisa mati kelaparan!" Perintah Hansel. Ia melirik Kinan sekilas.
Bik Asih dan Ani buru-buru meletakkan kembali makanan yang telah di panaskan di atas meja.
Hansel mengambil serbet dengan gerakan kasar, meletakkan seporsi besar makanan di atas piringnya dan memberi dirinya sendiri dua kali suapan besar berturut-turut.
Kinan menggeleng pelan melihat tingkah aneh Hansel.
Hansel melotot semakin kesal, rahangnya terasa sedikit kram karena harus mengunyah makanan dalam jumlah besar sekaligus.
"Kenapa?! Belum pernah melihat orang kelaparan?!" Hardik Hansel.
Kinan hanya mendesah. Seingatnya, pria tersebut dulu tidak pernah bertingkah seaneh ini. Mungkinkah kelaparan bisa mengubah seseorang?
"Aku tidak pernah memintamu menunggu. Kalau kau memang lapar makanlah lebih dulu." Ucap Kinan.
Hansel mendengus.
"Cepat makan! Nanti makanannya dingin." Tegurnya.
Kinan melanjutkan acara makannya dengan tenang. Ia sebenarnya sedang tidak terlalu berselera, tapi ia terlalu malas untuk mencari masalah dengan suaminya sehingga ia memilih untuk menuruti saja semua kemauan Hansel.
Hansel menatap Kinan diam-diam. Entah kenapa, ia malah teringat masa-masa sebelum Kinan mengalami kecelakaan itu.
"Sayang....ayamnya enak, apa kau mau tambah?
"Sayang....aku menunggumu untuk makan malam bersama, kau mau kuambilkan nasinya?"
"Sayang....aku senang kita bisa makan malam bersama."
Hansel menggeleng cepat, mencoba mengenyahkan semua bayangan aneh itu. Kenapa juga ia harus mengingat semua itu? Sementara ia tahu dengan persis tingkah Kinan yang seperti itu yang membuatnya muak dan berujung pada keinginan untuk menceraikannya.
Hansel kembali melirik Kinan.
"Hari ini, kau kemana?" Tanyanya akhirnya.
"Makan siang." Jawab Kinan singkat.
"Dengan siapa?" Tanya Hansel lagi.
"Teman." Kinan kembali menjawab singkat.
Hansel meraih air minum dan meneguknya. Wanita ini benar-benar menguji kesabarannya.
"Yang aku ingin tahu, adalah nama temanmu." Hansel menekankan kalimat terakhirnya.
"Oh." Kinan mendesah pelan. Pria ini sangat senang mencari masalah.
"Arnetta." Lanjutnya.
Hansel mendesah lega. Ia tidak begitu suka dengan Arnetta. Tapi jauh lebih baik mengetahui Kinan bersamanya daripada dengan orang-orang yang tidak ia kenal.
"Papa sudah tahu tentang perceraian kita, dan asal kau tahu papa sudah setuju agar aku menceraikanmu."
Kinan terhenti sejenak dari aktivitas makannya.
Hansel tersenyum penuh kemenangan, namun di saat bersamaan ada rasa aneh yang menyusup di dadanya.
Kinan tersenyum dan kembali melanjutkan makannya.
"Kalau memang seperti itu, sebaiknya kau memberikan apa yang kuinginkan secepatnya. Dengan demikian aku akan segera menandatangani surat cerai itu." Ucap Kinan tenang.
"Sudah ada yang mengurusnya, dan kupastikan kalau kau akan keluar dari rumah ini tanpa membawa sepeserpun." Hansel tersenyum sinis.
Kinan mengangkat wajahnya, membalas senyuman Hansel dengan sama sinisnya.
"Apa aku harus mengucapkan selamat sekarang? Atau aku harus menunggu sampai perceraian kita benar-benar ditetapkan pengadilan?" Tanya Kinan.
"Kau pikir aku main-main?" Tantang Hansel.
Kinan meletakkan serbet di meja makan.
"Tidak sama sekali. Aku cukup tahu kau tidak pernah main-main." Nafsu makannya sudah benar-benar lenyap sekarang.
"Aku sudah kenyang." Ucap Kinan, bermaksud pergi dari tempat itu segera.
Hansel mengejarnya dan menarik pergelangan tangannya hingga ia nyaris jatuh dan malah berakhir dengan menabrak d**a bidang pria.
"Kau pikir bisa berbuat se-enaknya? Apa kau lupa kalau akulah tuan di rumah ini?"
Kinan menatap Hansel dengan tatapan benci.
"Memangnya kenapa? Kau mau membunuhku lagi? Seperti kau membunuh anak kita?"
Sekilas Hansel bisa menangkap raut terluka di wajah cantik Kinan. Namun ia tidak bisa berpaling dari tatapan penuh kebencian wanita itu.
"Kau mencurigaiku atas kecelakaan mobil itu?" Tanya Hansel tidak percaya.
"Apa ada alasan untuk tidak mencurigaimu? Kau menyuruhku aborsi berkali-kali, dan yang lebih penting, mobil itu adalah mobilmu, kaulah yang lebih tahu apa yang sebenarnya terjadi." Ucap Kinan dingin.
"Kau gila! Aku memang tidak menginginkan anak itu, tapi itu bukan berarti aku akan berbuat serendah itu. Lagipula, jika kau tidak mabuk....."
"Aku bahkan tidak minum setetes pun....dan hasil tes menyatakan kalau aku mabuk. Memangnya ada orang lain yang mampu melakukan hal itu selain dirimu Han..sel." Kinan menekankan kalimat terakhirnya.
Hansel meraih dagu Kinan.
"Jenis gegar otak seperti apa yang membuat pikiranmu kacau seperti ini?! Hah?! Kau minum karena cemburu pada sepupumu sendiri dan kau kecelakaan adalah kesalahamu sendiri!" Hansel bersikeras.
Kinan tertawa.
"Baiklah...sudah kubilang, kau tidak perlu mempercayaiku. Pada akhirnya kita tetap akan berpisah. Jadi....lakukan saja apa yang kau suka."
Hansel terdiam. Perlahan ia melepaskan Kinan. Ada rasa sakit yang menyusup di dalam dadanya saat menyadari betapa besar kebencian yang dimiliki Kinan untuk dirinya kini.
Ia tidak pernah menyangka kalau ia akan merasa seperti sekarang saat melihat tatapan benci Kinan. Selama ini, dialah yang selalu membenci wanita itu, tidak seharusnya ia merasakan perasaan ganjil seperti ini.
Kinan melangkah mundur.
"Kalau kau sebegitu inginnya bercerai dariku. Berikan apa yang aku inginkan atau tidak sama sekali. Setelah itu, kita tidak akan memiliki hubungan apapun." Ucap Kinan, ia berlari menaiki tangga menuju kamarnya.
Hansel menatap kepergian Kinan dengan tatapan hampa. Kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya.
#
Kinan masuk ke dalam kamar. Ia mendesah pelan sebelum melangkah menuju meja tulis kecil di sudut kamarnya.
Kertas-kertas berisi sketsa perhiasan dan tas yang ia buat beberapa hari ini berserakan disana. Ia masih ragu dengan kemampuannya sendiri, tapi ia tidak punya keahlian lain.
Menjadi model pemula hanyalah salah satu jalan untuk meraih cita-citanya. Dulu ia terlalu fokus pada Hansel sehingga tidak pernah mengasah bakatnya sendiri, ia ingin semua orang melihat dirinya dari sudut pandang yang berbeda. Terutama menunjukkan pada ayahnya kalau dirinya bukan seorang anak yang tidak berguna.
Kinan meraih pensil dan kertas yang baru. Ia mulai menggambar lagi.
Ia tahu, ia mungkin akan menjadi pengemis dalam sekejap mata saat Hansel menceraikannya. Tapi ia tidak akan menyerah. Dia harus bisa bangkit dan mengambil semua yang seharusnya menjadi haknya.
Selama ini, dirinya selalu mengalah. Semenjak ibunya meninggal, ayahnya membawa pulang ibu baru satu paket dengan saudara-saudara baru untuk dirinya. Menguasai rumah termasuk harta kekayaan mendiang ibu dan neneknya. Menyingkirkannya perlahan dari daftar penerima warisan utama menjadi seorang anak perempuan yang hanya berhak mendapat uang saku dengan jumlah seadanya. Itupun terkadang ia harus memohon untuk diberi uang.
Menikah dengan Hansel adalah impiannya. Ia mencintai pria itu sejak pandangan pertama. Namun ia salah karena ia tidak pernah bertanya pada pria itu apakah Hansel mencintainya.
Ia menaruh begitu banyak harapan pada Hansel. Mengira dengan pernikahannya maka ia akan mampu menemukan tempat bersandar.
Sekarang ia sadar. Ia tidak akan mengharapkan pria itu lagi. Ia tidak akan membiarkan hidupnya, masa depannya ditentukan oleh perasaannya lagi. Ia ingin hidup yang lebih baik. Ia ingin dihargai sebagai sebuah pribadi.
Lampu kamar Kinan tetap menyala hingga larut malam.
Wanita itu sama sekali tidak menyadari Hansel yang beberapa kali datang dan berdiri di depan kamarnya seperti orang linglung. Ragu untuk mengetuk pintu atau tidak. Kemudian mengutuki diri sendiri entah karena apa.
Bersambung.....