Bab 4 : Buang Semuanya

1668 Kata
# Kinan menyeret kopernya turun dari Taxi yang mengantarnya pulang. "Nyonya. Mari...mari saya bawa kopernya ke atas." Ucap seorang wanita paruh baya yang merupakan pembantu di rumah itu Kinan mengangguk. Ia mengikuti langkah wanita paruh baya itu ke arah kamarnya. Seorang pembantu lainnya mengetuk pintu pelan sebelum masuk dan memberikan air minum kepada Kinan. "Nyonya, ada lagi yang nyonya inginkan?" Tanya pembantu yang lebih tua. "Dimana yang lainnya? Kenapa aku tidak melihat yang lainnya?" Tanya Kinan. Kedua pembantu di hadapannya saling berpandangan satu sama lain. Pembantu yang lebih tua dipanggil Mbok Asih, dia sudah bekerja di keluarga Hansel sejak lama. Hansel membawanya dari rumahnya yang lama. Sementara yang lebih muda adalah Nia, keponakan jauh Mbok Asih, bekerja membantu mbok Asih. Keduanya adalah pembantu keluarga Adiwarman sebelumnya. Seingat Kinan, rumah ini memiliki banyak pelayan. Herannya ia hanya menemui seorang tukang kebun, dua orang satpam dan dua pembantu di rumah sebesar ini. Mbok Asih tampak ragu-ragu sebelum menjawab. "Anu Nya...Bu...bukanya Nyonya sudah memecat yang lainnya...sebelum kecelakaan...itu." Mbok Asih sedikit gemetar ketakutan. Semua pelayan di rumah ini sangat tau kalau majikan muda mereka yang satu ini adalah seseorang yang sangat gampang marah. Kesalahan kecil bisa membuat mereka dihukum atau bahkan dipecat. Kinan mengurut dahinya pelan, kepalanya sedikit sakit. Ia mulai sedikit mengingat hal itu. Kenapa ia harus begitu arogan waktu itu? Ia hampir tidak bisa mengingat penyebab ia memecat begitu banyak orang? Ia memandangi kedua pembantu di hadapannya, kemudian teringat dengan ekspresi satpam di depan yang menatapnya horor. Mengapa ia hanya punya sedikit ingatan tentang orang-orang dirumah ini? Sebegitu menakutkannya kah dirinya dulu? Kinan menarik nafas panjang. Menatap bergantian kedua orang yang masih berdiri di hadapannya dengan kepala menunduk gemetar. Kinan meraih air minum yang sejak tadi dipegang Asih. "Begitu rupanya." Ucapnya, kemudian meneguk habis isinya. Suhu Jakarta yang panas memang sudah membuatnya haus sejak di dalam taxi tadi. Mbok Asih dan Nia saling berpandangan kembali. Kebingungan dengan perubahan sikap Kinan. Kinan mengalihkan pandangan ke sekeliling kamarnya. Sejak awal menikah, dia dan Hansel tidur di kamar terpisah. Di tengah ruangan ada foto pernikahan dirinya dan Hansel dalam ukuran raksasa. Selain itu banyak foto-foto Hansel yang menghiasi dinding di sekitarnya. Kinan merasa dirinya begitu menyedihkan. Untuk apa memandangi begitu banyak foto dari orang yang sama sekali tidak mencintainya? "Ambilkan aku dus yang besar " Ucap Kinan. Nia segera berlari ke dapur dan kembali dengan sebuah dus berukuran besar. Kinan melepas sepatunya dan naik ke atas kursi untuk menggapai foto - foto berisi dirinya dan Hansel. Ia melemparkannya ke dalam dus, kebodohan ini harus segera di akhiri. Selanjutnya ia membongkar lemarinya, mengeluarkan sebagian besar baju-baju miliknya. Dulu ia sempat berpikir, dengan semua pakaian itu, Hansel akan tertarik kepadanya. Ia ingin tampil seksi di hadapan Hansel, tapi pria itu malah menyebutnya tidak bermartabat. Terakhir, ia mencampakkan semua hadiah-hadiah Hansel ketika mereka belum menikah yang selama ini menjadi harta karun kecilnya. Dalam sekejap dus itu sudah penuh dengan barang-barang dan Nia harus kembali membawa beberapa kardus besar dari dapur. "Nyonya....ini..." Mbok Asih tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Kinan tertawa. "Buang semuanya dan panggil orang untuk untuk menurunkan foto itu." Ucap Kinan. Meski dengan sedikit ragu, Mbok Asih menuruti perintah majikannya. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan dua orang pria yang membantu menurunkan foto itu dan sekaligus mengangkat kardus-kardus besar yang ingin dibuang majikannya tersebut. Hanya dalam waktu singkat, ruang kamar Kinan sudah terlihat kosong dan lenggang. Kinan menghapus keringat di dahinya dan tersenyum puas ke arah kedua pembantunya yang sejak tadi hanya bisa melongo menatapnya. "Sekarang, terlihat lebih baik kan?" Tanya Kinan. Keduanya hanya bisa mengangguk bingung, tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiran majikannya. "Nanti....nanti..kalau tuan bertanya...gimana Nya?" Nia akhirnya memberanikan diri bertanya. Mbok Asih menyenggolnya dan ia hanya bisa meringis kemudian menyadari kesalahannya. Bagaimana kalau Nyonya menganggapnya terlalu ikut campur? "Tidak apa-apa. Bilang saja, aku ingin berganti suasana." Ucapnya tenang. Tidak ada nada tersinggung dalam kalimatnya. Keduanya mengangguk mengerti. Kinan kembali tersenyum. "Keluarlah, aku akan memanggil kalian kalau aku butuh." Ucap Kinan. Baik Mbok Asih dan Nia masih terlihat shock dan bingung dengan perubahan sikap Kinan saat ini. Mungkinkah Nyonya muda mereka bisa berubah menjadi orang lain hanya karena koma beberapa waktu lamanya? Saat sudah berada di lantai bawah, Nia mengalihkan pandangannya sekali lagi kearah pintu kamar Kinan di lantai dua yang tertutup rapat. "Mbok...Nyonya jadi lain sekali ya? Apa mungkin...itu...itu...bukan Nyonya?" Nia berbisik. "Hush...ngaco kamu, jangan ngomong sembarangan. Tapi, Nyonya memang berubah....semua yang dibuang, bukannya barang kesayangan Nyonya?" Mbok Asih tampak berpikir untuk sejenak. "Tapi Nyonya Kinan yang sekarang tidak segalak dulu ya Mbok....malah sejak tadi suka senyum-senyum begitu. Jadi adem liatnya." Nia tertawa. Mbok Asih menoel kepala keponakannya. "Sudah. Jangan bicara yang tidak-tidak lagi." Ucap Mbok Asih sambil menarik tangan Nia. # Kinan terduduk diam. Dinding kamarnya kini terlihat polos tanpa foto-foto itu. Ia mendesah pelan. Perlahan ia melangkah ke arah lemari pakaiannya. Meneliti satu persatu pakaiannya yang kini berkurang lebih dari separuh karena ia menyingkirkan sebagian besar baju-baju miliknya. Dulu, ia selalu mendengarkan saran kedua saudara tiri dan sepupu-sepupunya setiap kali berbelanja, meski mereka membuatnya membeli pakaian yang aneh dan norak. Hansel pernah menyeretnya pulang dari sebuah pesta karena mengenakan sebuah gaun yang membuat dirinya terlihat seperti p*****r. Sejak hari itu, Hansel tidak pernah mengajaknya ke pesta apapun dan lebih memilih mengajak wanita lain untuk menemaninya ke banyak acara undangan. Kinan tersenyum pahit. Betapa naif-nya dia dulu. # Hansel baru saja akan memulai makan malamnya saat ia melihat Kinan memasuki ruang makan. Penampilannya santai dengan kaos polos putih kebesaran dan celana pendek berwarna senada. Rambutnya yang sedikit basah tampak dibiarkan terurai. Wajahnya tidak dihiasi make up sama sekali. Kinan mengambil tempat duduk di meja makan dan memulai ritual makannya dalam diam. Ia bahkan tidak menatap Hansel sama sekali. Hansel mengernyit mendapati perubahan baru dalam sikap Kinan kali ini. Dulu setiap kali mereka akan makan malam. Kinan akan memakai gaun seksi terbaiknya dan memakai make up untuk sekedar menemaninya makan malam. Tidak hanya itu, biasanya justru dirinya yang akan diam sementara Kinan akan berceloteh panjang lebar untuk menarik perhatiannya. Hansel tidak bisa tidak meliriknya. Kinan lebih cocok dengan penampilan seperti ini. Sisi natural dalam dirinya membuatnya terlihat lebih segar. "Masih berani pulang ke rumah ini?" Ucap Hansel membuka keheningan di antara keduanya. Kinan menatapnya sejenak sebelum akhirnya kembali sibuk dengan makanannya. "Kalau bukan pulang ke rumah suamiku, memangnya aku harus pulang kemana?" Kinan balik bertanya. Hansel tertawa sinis. "Sikapmu jadi jauh lebih buruk." Ucap Hansel. Ia kini menatap wajah istrinya. Iris hitam yang cemerlang, bibir merah alami yang sebenarnya tidak memerlukan bantuan lipstik, kulit putih yang halus dan terawat. Selama ini ia tidak pernah sampai benar-benar memperhatikan Kinan seperti ini. "Terima kasih." Ucap Kinan, sama sekali tidak merasa tersinggung dengan kata-kata Hansel. "Kenapa kau tidak menandatangani surat cerai kita?" Tanya Hansel. "Sudah kukatakan, aku tidak puas dengan kompensasinya." Jawab Kinan. "Apa kau tahu kalau aku bisa saja menuntutmu di pengadilan dan menendangmu keluar dari rumah ini tanpa sepeserpun?" Ucap Hansel sinis. Kinan tersenyum. "Kalau begitu, lakukan saja. Kau adalah tuan rumah ini, kau cukup berpengaruh. Kalau kau memang ingin melakukannya, aku bisa apa?" Hansel menatap Kinan dengan pandangan menyelidik. "Apa yang akan kau lakukan kalau aku menceraikanmu dengan cara itu?" Kinan menggeleng ringan. "Tidak ada." "Kalau kau tahu tidak bisa melakukan apapun, kenapa kau masih bersikeras untuk tidak menandatanganinya?" Hansel mulai tidak sabar. "Kalau kau memberiku lima milyar sebulan, rumah ini dan rumah di Singapura, kau akan langsung mendapatkan tanda tangan asliku di atas surat cerai kita." Kinan masih terlihat tenang. Brak! Hansel menggebrak meja. "Kau ingin merampokku?!" Teriak Hansel. Kinan tampak tidak terpengaruh, ia tidak terlihat kaget ataupun takut. Dirinya yang dulu, pasti akan langsung menangis setiap kali Hansel meneriakinya. Hansel sudah sering mengintimidasinya dengan cara ini, jadi bukankah seharusnya dia sudah terbiasa? "Tidak sama sekali. Aku mempertimbangkannya dengan sungguh-sungguh. Lima milyar bukan jumlah yang besar untukmu." Ucap Kinan. "Aku tidak akan pernah memberikannya." Hansel mendesis kesal. "Maka kau tidak akan pernah mendapatkan tanda tanganku di atas kertas itu." Kinan memasukkan potongan terakhir dari menu pilihannya ke dalam mulutnya. Hansel menarik nafas panjang. Tampaknya ia memang tidak bisa memakai cara yang sama lagi untuk memaksa Kinan. "Kau tahu kan, aku bisa saja memaksamu." Ucap Hansel. Kinan mengangkat bahunya acuh. Ia meraih jeruk yang telah bersih dan mulai menikmatinya. Ia benar-benar terlihat tidak perduli. Hansel merasa benar-benar terganggu dengan sikap istrinya. Sampai kapan wanita ini akan mempertahankan sandiwara murahannya di hadapannya dirinya. Ia berdiri, melangkah ke arah Kinan dan menarik gadis itu hingga berdiri menghadapnya. "Jangan mengabaikanku!" Ucap Hansel marah. "Jangan sentuh aku!" Ucap Kinan sambil menepis pegangan Hansel. Hansel mencengkram kedua bahu mungil Kinan. "Jangan bersikap seolah kau benci kepadaku! Sejak dulu kau selalu menempel seperti parasit kepadaku, cemburu dengan siapapun yang dekat denganku! Dan sekarang kau berlagak membenciku? Kau pikir aku akan tertipu?" Rahang Hansel mengeras. Hidungnya menangkap aroma harum segar yang menguar dari tubuh Kinan. Kinan mendorong tubuh Hansel menjauh. "Kubilang jangan sentuh aku!" Ucapnya keras. Sorot matanya terlihat kesal. Hansel terdiam. Ia menatap Kinan bingung. Sejak kapan wanita ini jadi seperti ini? Kinan berbalik meninggalkan Hansel begitu saja. Hansel mengejarnya dan mencengkram pergelangan tangan Kinan. Kali ini seberapa kuat pun Kinan memberontak, ia tetap tidak bisa melepaskan diri. "Kenapa kau bersikap seperti ini?!" Hansel membentak. "Lepaskan aku!" Kinan memberontak. "Kau berani kembali ke rumah ini, tidak ingin bercerai dengan tuntutan yang tidak masuk di akal. Kalau tujuanmu untuk membuatku kembali tertarik kepadamu, itu percuma. Aku membencimu!" Rahang Hansel mengeras, wajahnya memerah. "Kalau begitu lepaskan aku! Kau tidak tertarik kepadaku, aku juga! Jadi lepaskan aku!" Kinan merasakan pergelangan tangannya berdenyut sakit. Hansel terdiam, sorot mata Kinan membuatnya terasa membeku. Wanita ini benar-benar membencinya? Cengkeramannya melemah. Kinan menghempaskan tangan Hansel dan berlari menaiki tangga. Meninggalkan Hansel yang terpaku menatap kepergiannya. Bunyi pintu kamar Kinan yang dibanting terdengar dari lantai atas. Hansel menyapu wajahnya dengan tangan. Apa ini? Kenapa ia harus merasa sangat terganggu dengan sikap Kinan kepadanya? Bersambung......
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN