#
Wanita cantik itu berdiri di hadapan Kinan. Tatapannya cemerlang dan penampilannya matang. Kinan yang polos tanpa make-up nyaris terlihat seperti seorang anak kecil dibandingkan dengannya.
Wanita ini adalah Diana, sekretaris kepercayaan Hansel sekaligus mungkin wanita simpanannya juga.
Kinan tahu berapa puluh juta yang dihabiskan Hansel untuk wanita ini setiap bulannya.
Menatap Diana saat ini, Kinan seperti melihat dirinya di masa lalu. Bedanya jika Diana demi uang, maka dirinya mungkin lebih menyedihkan karena bertekuk lutut hanya demi Cinta. Pada akhirnya ia hanya melemparkan senyum penuh makna ke arah wanita itu.
Kinan menyerahkan map berwarna gelap itu kepada Diana.
Diana menerima dan memeriksanya, wajahnya berubah kelam dalam sesaat.
"Kenapa tidak ditandatangani?" Diana menatap Kinan dengan wajah bingung, lebih ke arah kecewa.
Kinan tersenyum sambil menggeleng.
"Katakan pada atasanmu, aku tidak puas dengan kompensasi yang dia tawarkan." Ucap Kinan.
Kali ini Diana terlihat kesal. Nyonya muda di hadapannya ini terlalu menilai tinggi dirinya sendiri.
"Apa yang kau inginkan?" Tanya Diana akhirnya.
Sudut bibir Kinan melengkung membentuk senyuman, namun ekspresi wajahnya tetap datar.
"Kau hanya utusannya bukan wakilnya dalam hal ini, aku tidak punya kewajiban untuk memberitahumu." Ucap Kinan dingin.
Diana terdiam sesaat. Ia mengerjap menatap Kinan. Wanita ini sejak kapan bisa memberinya perasaan terintimidasi seperti ini? Yang ia tahu, istri Tuan Hansel bukanlah seseorang yang terlalu pintar, labil, dan berpikiran pendek. Sejak kapan ia bisa terlihat begitu tenang di hadapannya seperti sekarang? Sepasang iris hitam itu seperti bilah es yang mampu menembus hingga ke dalam jantungnya.
Apa yang sebenarnya sudah terjadi kepada wanita ini?
"Aku...aku akan menyampaikannya kepada Tuan Hansel. Tapi saranku, lebih baik kau menerima tawaran Tuan Hansel sekarang sebelum beliau berubah pikiran." Diana mencoba mempengaruhi Kinan.
Kinan melipat tangannya di depan d**a.
"Itu urusanku. Kau tidak harus menjadi penasehat pernikahanku atau Hansel." Ucap Kinan memberi penekanan pada akhir kalimatnya.
Kalimatnya tajam namun sikapnya terlihat santai. Berbeda dengan Diana yang tampak menegang untuk sesaat.
Wajah Diana memerah.
Diana menarik nafas panjang, berusaha menenangkan gejolak hatinya.
"Aku akan menelpon Tuan Hansel untuk memberitahu hal ini." Ucap Diana.
Kinan memberinya ekspresi penuh senyum.
"Tidak perlu, boleh aku minta nomornya, aku akan memberitahunya sendiri." Ucap Kinan. Tangannya meraih ponsel yang berada di atas meja.
Diana mengamati ponsel di tangan Kinan dan diam-diam tersenyum mengejek. Ponsel di tangan Kinan, harganya bahkan tidak sampai setengah dari ponsel miliknya saat ini.
"Oh maaf, aku tidak tahu kalau kau tidak memiliki nomor telepon tuan Hansel" Diana mencibir.
"Hem....ini bukan sesuatu yang harus kujelaskan padamu, bisa aku minta nomor ponsel suamiku sekarang?" Kinan menyodorkan ponselnya, tanda kalau ia meminta Diana yang mengetikkan nomor Hansel di ponselnya.
Di sisi lain, Hansel menatap sesaat nomor baru yang masuk ke ponselnya. Ia baru saja selesai rapat dan sedang berada di ruangan kantornya dengan mood yang benar-benar luar biasa jelek.
"Halo." Nada suara Hansel terdengar datar saat mengangkat panggilan itu.
"Hai suami."
Hansel mengerutkan dahi mendengar suara ceria di seberang sana. Ia menatap nomor yang tertera di layar ponselnya untuk sesaat sebelum kembali menempelkan benda mungil pipih itu di telinganya. Tanpa ia sadari sebuah senyuman melengkung di bibirnya.
"Ganti nomor ponsel lagi?" Tanyanya.
Di tempat lain Kinan berdiri membelakangi Diana. Nada suaranya terdengar ceria, ekspresi wajahnya pun sama.
"Yah...asal kau tahu ponselku hancur saat kecelakaan bulan lalu. Jadi aku membeli ponsel seadanya dengan nomor baru. Maaf tidak memberitahumu lebih dulu." Ucap Kinan tenang.
"Jadi, kenapa kau meneleponku?" Tanya Hansel.
"Aku ingin memberitahumu, kalau aku menolak menandatangani surat cerai kita. Aku tidak setuju dengan jumlah kompensasi yang kau tawarkan." Ucap Kinan.
"Kau benar-benar tidak berubah! Apa yang kau inginkan?"
Kinan tertawa mendengar nada suara Hansel yang jelas-jelas kesal.
"Aku tidak akan menunda lagi jika kau memberi kompensasi yang sesuai. Bagaimanapun, aku adalah istri sah, wanita yang baru saja mengandung anakmu...yah meskipun sekarang dia tidak ada lagi. Apa yang dipikirkan media diluar sana jika mereka tahu kalau kau menceraikanku dengan tunjangan bulanan sekecil itu?" Kinan meraih potongan apel di atas meja dan menggigitnya.
Ia menawarkannya ke arah Diana, mengabaikan wajah Diana yang tertekuk sempurna.
"Lima puluh juta sebulan bukan jumlah yang kecil Kinan! Apalagi kau tidak perlu bekerja untuk mendapatkannya." Hansel memberi penekanan di dalam setiap kalimatnya.
"Lima puluh juta ya....kau bahkan memberi simpananmu hampir seratus juta setiap bulannya." Kinan melirik Diana yang juga tengah menatapnya.
"Aku ingin 5 milyar sebulan dan juga rumah yang ada di Jakarta dan Singapura." Ucap Kinan tenang.
Diana membelalak menatapnya namun kemudian ia menahan dirinya. Ia tahu, Hansel mungkin tidak akan senang jika ia bertindak lebih dari ini.
"Apa?! Kau ingin merampokku?! Tunggu sampai papa tahu siapa kau yang sebenarnya!" Teriak Hansel di telepon.
Kinan kembali tertawa renyah.
"Oh...jadi sekarang siapa yang jadi anak papa?"
"Kau..."
Kinan menutup panggilannya, tidak membiarkan Hansel menyelesaikan kalimatnya. Dia tahu kalau pria itu pasti sangat kesal sekarang.
"Nah, aku sudah mengatakan apa yang aku inginkan. Kau bisa pergi, aku ingin beristirahat sekarang." Ucap Kinan ke arah Diana.
Diana berdiri dengan enggan. Ia menatap Kinan sekilas sebelum akhirnya melangkah keluar ruangan itu.
"Aku harap kau tidak menyesal Nyonya." Ucap Diana sebelum bayangannya benar-benar menghilang di balik pintu.
Kinan menatap kepergian Diana dengan sorot dingin. Kedua tangannya terkepal erat untuk beberapa saat lamanya sebelum akhirnya ia memejamkan mata, mencoba mengatur emosinya. Saat kedua matanya kembali terbuka, hanya dua bulir air mata yang mengalir keluar disertai suara isakkan yang tertahan.
Di balik pintu ruang rawatnya yang sedikit terbuka, Kinan tidak menyadari ada sosok lain yang tengah memperhatikannya.
Dokter Adam sudah berdiri di luar sejak tadi. Ia mendengar separuh dari perdebatan antara Diana dan Kinan, juga mendengar saat Kinan menelpon suaminya beberapa saat lalu, ia melihat bagaimana kesalnya Diana saat keluar tadi, sampai-sampai mengabaikan dirinya yang hanya berdiri terpaku di luar ruangan.
Ia sendiri tidak tahu apa yang ia lakukan disini. Jika ingin memberi wanita itu privasi dengan menunda pemeriksaannya, tidak seharusnya ia malah berdiri disini dan mencuri dengar. Ini adalah hal memalukan pertama yang ia lakukan sepanjang karirnya sebagai dokter.
"Lho...dokter kenapa disini? Mau memeriksa pasien yang ini?" Tanya seorang perawat yang kebetulan lewat disitu.
"Nanti saja, beri dia waktu pribadi." Ucap dokter Adam. Ia menarik pintu ruang rawat Kinan dengan perlahan hingga tertutup.
Perawat itu tertawa, tidak biasanya dokter Adam yang kaku sebegitu perhatiannya pada seorang pasien.
"Dok, Nyonya Kinan memang cantik lho...tapi dia sudah bersuami." Ucap perawat itu.
Dokter Adam hanya tersenyum sambil menggeleng.
"Jangan menyebarkan gosip dan merusak reputasi orang." Ucapnya memperingatkan.
Perawat itu hanya tersenyum penuh arti.
#
Diana memasuki ruang kerja Hansel tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Aku rasa bapak sudah tahu kalau Kinan tidak ingin menandatangani berkas perceraian ini. Saran saya, lebih baik bapak mengajukan tuntutan cerai lewat pengadilan dan...."
Brak....
Hansel menggebrak meja di hadapannya. Diana menatap Hansel dengan tatapan shock.
"Keluar! Dan ingat untuk mengetuk pintu sebelum masuk ke ruanganku kalau kau masih ingin bekerja disini." Ucap Hansel dingin.
Diana gemetar.
"Ba...baik Pak." Ucapnya sebelum akhirnya berlalu dari ruangan itu dengan tergesa-gesa dan mata berkaca-kaca.
Adnan yang sejak tadi duduk di hadapannya hanya bisa tertawa.
"Apa yang kau tertawakan?" Ucap Hansel kesal.
"Kau membuat sekretaris kesayanganmu sakit hati kali ini. Seperti bukan kau saja." Ucap Adnan.
"Ck...aku mempertahankannya karena dia kompeten. Hubungan kai sudah lama berakhir." Ucap Hansel.
"Kau tidak membuat kesan yang baik untuk membuat wanita itu berpikir kalau hubungan kalian sudah berakhir Bos." Adnan menarik nafas panjang.
"Itu bukan urusanmu. Alasanku memanggilmu kesini bukan untuk membicarakan Diana tapi Kinan." Ucap Hansel.
Adnan mengangkat bahu.
"Kalau menurutku, berikan saja yang ia mau. Kau milyuner, lima milyar sebulan bukan jumlah yang banyak untukmu."
"Sebenarnya kau ini pengacaraku atau pengacara Kinan?" Hansel menatap Adnan dingin.
Adnan menarik nafas panjang. Berurusan dengan Hansel setiap hari benar-benar membuat ubannya bertambah. Hansel benar-benar berbakat membuat segala sesuatunya bertambah rumit.
"Kalau kau tidak suka, tuntut saja lewat pengadilan. Usul sekretarismu tidak buruk."
"Aku melindungi reputasinya. Perceraian kami tidak harus menjadi konsumsi publik." Ucap Hansel.
"Kau milyuner yang pelit pada istrimu sendiri." Adnan menimpali.
Hansel mendecih tidak suka.
"Aku bukannya pelit, aku tidak ingin dia merusak dirinya sendiri dengan berfoya-foya pada hal-hal yang tidak penting."
Adnan menggeleng.
"Bukannya kau tidak perduli kepadanya? Kau benar-benar aneh."
Hansel menyorot pengacara sekaligus sahabatnya itu tajam. Pria ini selalu saja membuatnya merasa sangat kesal tapi ia tidak bisa marah kepada Adnan, dia satu-satunya yang paham keinginannya.
Jadi Hansel mengabaikan rasa kesalnya pada Adnan. Ia mentolerir orang-orang yang memang punya kemampuan.
"Lupakan...suka tidak suka, cepat atau lambat dia akan tetap menandatangani berkas perceraian kami." Ucap Hansel penuh keyakinan.
Adnan menepuk pelan sandaran kursi tempat ia duduk.
"Kalau kau sudah memutuskan, apa artinya aku disini. Omong-omong, kau tidak menjemput istrimu dari Rumah Sakit?" Tanya Adnan.
Hansel mengangkat bahu acuh.
"Dia punya kaki dan tangan. Dia bisa pulang sendiri."
Sekali lagi, Adnan hanya bisa menarik nafas pasrah. Seorang pria seperti Hansel terkadang bisa menjadi sangat tidak berperasaan.
Bersambung......