Suara ketukan terdengar nyaring di dalam ruangan.
Pelita masih menyala, tirai masih tertutup rapat dan ranjang masih tertata rapi tanpa adanya jejak terpakai.
Namun, dilantai berceceran banyak kertas, buku dan perkamen. Semuanya dalam keadaan terbuka dan memiliki beberapa lingkaran-lingkaran kecil di beberapa katanya.
Ruby sedang berbaring di tengah-tengah itu semua, sedang memegang pena bulu dengan tinta yang telah menetes ke lembar kertas di bawahnya.
Tok...tok...tok.
Suara ketukan terdengar lagi, kali ini sengaja di buat sedikit keras agar penghuni di dalam ruangan mendengar.
Kelopak mata Ruby bergetar, lalu secara perlahan terbuka, menampakkan netra merahnya yang masih mengabur akibat kantuk. Dia berkedip-kedip sejenak sebelum akhirnya terbangun sepenuhnya.
Suara ketukan terdengar lagi, kali ini dengan tidak sabar, cepat dan keras. Ruby mengerang pelan dan bangkit. Meletakkan pena bulunya dan bangkit, merengangkan otot-ototnya yang kaku lalu bangkit dan menuju pintu. Tidak lupa selama dia berjalan dia melilitkan kain penutup matanya di wajah.
Willow dan Tifa di luar ruangan sudah tidak sabar, sejak tadi mengomel dan kembali mengangkat tangannya untuk mengetuk bersamaan dengan pintu yang terbuka.
Ruby melangkah ke samping, ketika tangan pelayan itu hampir mengetuk kepalanya. “Ada apa?” tanyanya sembari menguap.
“Nona, ini sudah jam 8 pagi dan waktunya bagi Yang Mulia untuk sarapan.” Tifa menjawab dengan suara yang lebih lembut namun matanya melirik sinis pada Ruby sedangkan Willow sama sekali tidak menyembunyikan dengusan tidak sukanya.
“Nona Ruby, bagaimana bisa anda tertidur hingga jam segini, Yang Mulia telah menunggu anda sejak beberapa waktu yang lalu.”
Ruby mengangkat alis namun terlalu malas untuk meladeni ketidaksukaan dua gadis itu. “Aku tahu, aku akan bersiap-siap dan segera menemui Yang Mulia.”
Ruby langsung menutup pintu di depan kedua gadis itu dengan keras.
Willow dan Tifa saling memandang tak percaya.
“Dia bersikap sangat arrogan seolah kastil ini miliknya.” Tifa menyentakkan kaki kesal.
Willow juga menggigit bibir marah. “Tenang saja, Nona Diyi akan menanganinya cepat atau lambat, kita lihat apakah dia masih bisa bersikap arrogan setelah it...
Pintu kembali terbuka secara tiba-tiba dan mengejutkan Willow dan Tifa.
Ruby muncul lagi dan berkata. “Syukurlah kalian masih dia sini.” Dia membuka pintu lebar-lebar. “Masuk dan rapikan kamarku.” Kemudian berbalik meninggalkan dua pelayan yang masih mematung di depan pintu.
“Apakah menurutmu dia mendengar apa yang baru saja kita katakan?” Tifa bertanya cemas.
Willow berdehem pelan untuk menenangkan diri lalu melangkah masuk. “Siapa yang peduli, lagi pula apa yang kita katakan tidak salah sepenuhnya, Nona Zera memang akan menemuinya siang ini kan?”
Tifa mengikuti. “Tapi bagaimana jika dia melapor kepada pange—Ahh! Apa ini!?”
Dua pelayan berpakaian hijau itu menatap tumpukan buku dan kertas di tengah-tengah ruangan, juga beberapa tinta yang tercecer di sekitarnya.
“Pastikan menyelesaikannya sebelum aku selesai mandi, atau kita akan terlambat untuk menemui Yang Mulia.” Suara Ruby terdengar dari balik pintu kamar mandi.
“Sepertinya dia mendengar apa yang kita katakan dan membalas dendam.” Bisik Willow ke telinga Tifa.
Tifa mencebik semakin kesal, namun hanya bisa menelan semua kemarahan di dalam hatinya dan membersihkan kamar yang berantakan itu bersama Willow.
Ruby mengunci pintu dan membuka ikatan penutup matanya lalu berjalan menuju bak mandi yang masih kosong. Dia menatap ke sana kemari dan tidak menemukan air yang bisa dibawa ke dalam bak, hanya beberapa tong besar di sekitar bak yang tertutup rapat.
Ruby mengerutkan kening dan menghampiri tong itu, mengamatinya sejenak lalu memutar keran kecil yang mengarah tepat ke dalam bak.
Shaaa
Air mengalir dan mengisi bak yang kosong.
Ruby mengangkat alis tertarik dan menutup keran dan membukanya lagi, bermain-main sejenak sebelum beranjak. Dia tertawa pelan lalu menghampiri rak kayu yang berdiri di samping bak, dia sana tersusun banyak botol dan guci bundar berukuran kecil dengan warna-warna yang cerah. Ruby pernah melihat dua benda itu sebelumnya di kamar asrama dan Boo mengatakan bahwa botol itu adalah sabun mandi sedangkan guci bundar adalah cream untuk mencuci rambut.
Ruby meraih botol dan guci secara acak, lalu mematikan keran dan melepaskan semua pakaiannya untuk mandi.
Beberapa saat kemudian, Ruby keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah dan meneteskan air ke lantai. Tanpa mempedulikan tatapan tajam yang Willow dan Tifa layangkan, dia membuka lemari dan meraih baju dan kembali ke dalam kamar mandi.
Ketika Ruby keluar lagi, penampilannya telah rapi dengan baju dan penutup mata yang baru, di saat yang bersamaan tugas Willow dan Tifa untuk merapikan buku juga telah selesai. Kedua gadis itu dipenuhi peluh dan juga kemarahan.
Ruby membiarkan rambutnya yang basah terurai dan menghampiri meja di sisi ranjang dan mengemas jarum akupunturnya lalu berbalik ke arah pintu. “Ayo, tunjukkan jalannya,” ujarnya tanpa menoleh.
Saat Ruby keluar dari kamar, secara kebetulan, Azure juga membuka pintu kamar dan keluar bersama Boo dan Demien.
Willow dan Tifa langsung menunduk dalam dan menyambut, Ruby ikut membungkuk dalam dan menunggu Azure melintasinya untuk melanjutkan perjalanan.
Namun, Azure justru menghentikan langkahnya tepat di hadapan Ruby. “Kau begadang.” Nada suaranya bukanlah pertanyaan namun sebuah pernyataan.
Ruby langsung mendongak lalu menunduk lagi, membuka mulut untuk bertanya bagaimana pria itu bisa tahu. Namun, Azure menjawab lebih dulu.
“Aku melihat lampu di kamarmu menyala semalaman.”
Boo menatap bingung ke arah Demien, bertanya dengan kedipan mata tentang bagaimana Azure bisa tahu Ruby begadang namun Demien sama sekali tidak peduli dan hanya menghela nafas pelan.
Si ceroboh Boo mungkin tidak sadar karena tertidur, namun Demien terbangun semalaman hanya untuk menemani Azure berdiri di depan pintu Ruby tanpa melakukan apa pun, hanya berdiri dan melihat lampu yang membias di bawa pintu.
Ruby memiringkan kepala. “Jadi kau juga berdiri di depan pintu semalaman?”
“Kau mendengar langkah kakiku?” Azure beratnya.
Ruby menggelengkan kepala dan mengarahkan telunjuknya ke arah Demien. “Aku hanya mendengar langkah kakinya, aku pikir dia datang dan mencoba untuk menyerangku.”
Snap!
Perempatan kecil terbentuk di dahi Demien, namun tidak berani menyela percakapan Azure dan memilih tidak mengatakan apa pun.
Ruby kembali memusatkan perhatiannya ke ara Azure. “Ilmu meringankan tubuhnmu, sangat hebat. Kau bisa mengelabui telingaku.”
Azure tertawa pelan. “Sepertinya begitu, tetapi pujianmu tidak akan menyebabkan perhatianku teralihkan dari topik utama.” Azure kembali bertanya. “Kenapa kau begadang?”
Ruby mengngkat bahu. “Aku belajar.”
“jangan lakukan lain kali, Remaja seumuranmu harus tidur lebih banyak atau kau akan bertubuh pendek seperti...”
Ketika melihat lirika Azure mengarah ke arahnya, Boo langsung berdiri tegak. “Yang Mulia, aku tidak pendek, masa pertumbuhanku masih panjang.”
Demien mendengus dan langsung mendapatkan tendangan di kakinya dari Boo.
Azure mengabaikan argumen yang terjadi di belakangnya dan masih menatap Ruby dengan serius. “Karena kau ikut denganku, kau harus mendengarkan perkataanku, apa kau mengerti?”
Ruby mengerutkan bibir tidak senang namun hanya bisa menyetujui. “Aku mengerti Yang Mulia.”
Ruby patuh, namun di dalam hati dia telah merapalkan kata ‘Sangat merepotkan dan Terlalu membosankan’ berkali-kali dengan nada sebal.
Azure menghela nafas lega dan mengulurkan tangan ke kepala Ruby namun menyadari bahwa gerakannya mungkin sedikit terlalu agresif, jadi dia akhirnya mengalihkan tangannya untuk menepuk pundak Ruby. “Jika kau kekurangan buku, kau bisa datang dan berkata langsung padaku.”
Ruby langsung tersenyum senang dan berterima kasih.
“Tapi dengan syarat, kau harus tidur tepat waktu.”
Ruby mengangguk lagi. ‘Apa pun demi buku!’ pikirnya bersemangat.
Willow dan Tifa saling menatap, melemparkan signal untuk satu sama lain dengan niatan yang tidak di ketahui siapa pun selain mereka berdua.
Bersambung...