“Jadi kau mengatakan bahwa penyebab para asassin itu berubah menjadi debu adalah karena kutukan?” Demien memandang tak percaya. Bagaimana tidak, sihir dan kutukan telah lama menjadi legenda di tanah mereka dan kini orang-orang lebih banyak tidak percaya dengan semua lagenda itu. Karena meski pun kabar simpang siur tentang penyihir masih terkadang di dengar, semua itu tidak pernah memiliki bukti nyata.
Ruby adalah satu satunya penyihir yang pernah Demien temui seumur hidupnya, namun masih tidak pernah melihat gadis itu menggunakan sihir dan kutukan seperti yang lagenda katakan.
Ruby mengangguk, mengeluarkan sebuah gulungan kertas dan meletakkannya di meja. “Ini adalah tanda kutukan yang berhasil aku temukan di tubuh pria itu.”
Boo dan Demein meluruskan punggung dengan waspada.
Ruby yang mengerti kekhawatiran mereka membuka gulungan itu secara perlahan. “Tenang saja, aku menggambar ini secara pribadi dan tidak memiliki energi kutukan apa pun.”
“Kau melihat kutukan itu secara langsung, apakah kau baik-baik saja?” Azure yang sejak tadi hanya diam mendengarkan bertanya dengan khawatir.
Ingatan tentang mata Ruby yang berdarah malam itu membuat Boo menebak penyebabnya. “Apakah kutukan itu yang membuat matamu berdarah?” tanyanya tanpa menyembunyikan nada khawatir di suaranya.
Azure mengerutkan kening. “Darah?” Dia menoleh kearah satu-satunya gadis di dalam ruangan dan menuntut jawaban dengan tatapannya.
Ruby tidak memiliki niat untuk menyembunyikan kondisinya malam itu dari Azure, jadi dia mengangguk dengan tenang. “Energi di dalam kutukan itu hanya sedikit melukai mataku, tapi tidak ada yang serius, aku baik-baik saja sekarang.”
Azure mengepalkan tangannya dengan sangat erat sehingga kuku-kukunya memutih.
“Aku sungguh baik-naik saja.” Ruby mengulang perkataannya begitu merasakan aura di sekitar tubuh Azure tidak stabil sembari memberikan senyuman menenangkan.
Azure menghela nafas, dia ingin memastikan dengan jelas perkataan Ruby, tapi karena Boo dan Demien masih di sini, dia tidak bisa menyuruh Ruby melepas penutup matanya.
Untuk menarik perhatiannya, dia meraih kertas yang Ruby bawa dan melihat sebuah gambar sepasang bulan sabit berwarna hitam mengarah ke arah yang berlawanan dengan pola aneh yang mengelilinginya.
“Ini...” Azure mengerutkan kening dan menatap ke arah Ruby.
Ruby meraih kertas itu dari tangan Azure dan membentangkannya lebar-lebar di atas meja. “Pola ini adalah mantra yang berhubungan langsung dengan pikiran inangnya. Ketika para asassin itu mulai merasakan krisis yang tidak bisa mereka tangani, Pola ini akan segera terpicu dan mengaktifkan kutukan yang ada di tengahnya.” Ruby mengetuk bulan sabit kembar di tengah.
Tiga pria yang ada di sana menatap Ruby. “Bagaimana kau tahu?” Demien bertanya.
“Aku merasakannya, ketika pria itu mulai merasa putus asa dan menyerah, kutukannya dengan cepat terpicu.” jawab Ruby.
Boo mengangguk mengerti. “Karena itulah kau tidak membiarkan pria yang tertangkap itu tidak bangun? Karena dia bisa saja memicu kutukan yang ada di tubuhnya?”
“Ya, karena kita harus menunggu Pangeran terbangun terlebih dahulu untuk menginterogasinya, aku tidak ingin mengambil risiko untuk membangunkannya.”
“Kalau begitu, kita bisa menginterogasinya sekarang.” Azure bangkit dan berencana untuk turun dari ranjang, namun gerakannya terhenti ketika Ruby dengan sigap menahannya.
“Yang Mulia, Kau masih belum benar-benar pulih.” Ruby kembali menutupi kaki Azure dengan selimut. “Besok kita akan ke penjara bawa tanah.”
Boo dan Demien mengangguk setuju.
Azure menggeleng. “Aku baik-baik saja. Masalah ini tidak boleh di tunda terlalu lama.”
“Hanya menunda hingga besok, jangan memaksakan diri.”
Ruby tahu alasan Azure bersikeras ingin menemui tahanan itu, tidak lain karena pria itu adalah pemimpin yang menyerangnya di istana dingin.
Azur tidak ingin menyerah. “Ruby aku...” Namun ketika dia mendongak dan melihat Ruby yang berdiri di sisi ranjang, menunduk ke arahnya dalam diam. Azure langsung mengalihkan tatapannya dan menarik kembali selimut yang telah dia buka sebagian ke atas perutnya dan bersandar dengan tenang. “Baiklah, kita akan menemui Asassin itu besok.
Boo: ...
Demien: ...
Yang Mulia! Kau adalah seorang Pangeran!
Ruby tersenyum puas.
Jadi keesokan harinya, karena desakan Azure. Mereka berempat berjalan menuju penjara bawah tanah.
Di dalam penjara itu hanya ada satu pria muda yang sedang tak sadarkan diri. Berbaring di lantai dengan tangan dan kaki yang terikat rantai, bernapas sangat lemah sehingga hampir tak terlihat dengan banyak luka di seluruh tubuhnya.
“Dia tidak mati kan?”
Boo dan Demien maju dan menarik pria itu lalu menyandarkannya ke dinding. Memeriksa nadi dan beberapa lukanya. Setelah memastikan tahanan itu masih hidup, keduanya menghela napas lega.
“Dia sangat lemah.” Demien melapor ke arah Azure.
“Yang kita perlukan hanya pengakuannya.” Azure beristirahat di kursi yang sipir penjara siapkan. Meski semua lukanya telah pulih, Azure masih merasa lemah hanya dengan berjalan beberapa ratus meter ke penjara.
Ruby berdiri di sisi Azure atas perintah pria itu. Awalnya, dia mengajukan diri untuk memeriksa tubuh pria itu agar pencariannya bisa lebih cepat. Namun Azure menolak dengan keras dengan alasan bahwa Ruby adalah seorang wanita sedangkan tahanan itu adalah seorang pria.
Di saat Ruby menjawab bahwa dia bisa mencari tanpa membuka matanya. Azure justru menentang jauh lebih keras.
“Apa kau ingin meraba tubuh pria itu?” Azure bertanya dengan suara penuh penekanan.
Jadi pada akhirnya, Boo dan Demien harus mengemban tugas itu meski pun hati mereka cukup was-was dengan kutukan yang mengerikan itu.
“Aku menemukan tanda kutukan di pundak pemimpin penyerangan Yang Mulia, jadi mulailah mencari dari sana, namun tidak menutup kemungkinan tanda kutukan setiap orang berada di daerah yang berbeda.”
Boo mengangguk mengerti dan mulai melucuti pakaian pria yang tak sadarkan diri di tanah dan memeriksa pundaknya. Namun di pundak pria itu, Boo hanya menemukan bekas luka lama tanpa tanda kutukan apa pun. Jadi dia mulai mencari di bagian tubuh yang berbeda.
Demien juga mulai membantu.
Dada, leher, tengkuk, pinggang, paha dan kaki. Keduanya mencari dengan cara yang cepat namun masih tidak menemukan apa pun.
Setelah mencari hingga ketiga kalinya dan menelanjangi tahanan itu, Boo akhirnya menoleh dan menggeleng ke arah Azure dan mengatakan bahwa tidak ada tanda apa pun yang bisa di temukan di tubuh pria itu.
“Selain bekas luka dan luka baru pria ini tidak memiliki tanda mau pun lukisan di tubuhnya,” Kata Demien.
Ruby mengerutkan kening dan berniat untuk menghampiri pria itu namun Azure menangkap lengannya.
“Yang Mulia, ada kemungkinan bahwa Boo mau pun Demien tidak bisa melihat kutukan itu. Dengan demikian, aku harus memeriksanya sendiri. Kutukan itu adalah petunjuk yang penting.”
Azure sangat-sangat tidak senang dan secara tak sadar mulai mengencangkan genggamannya di tangan Ruby, Namun gadis itu sama sekali tidak mengerutkan kening dengan rasa sakit seperti itu.
Ruangan hening untuk sementara waktu sedangkan aura tidak menyenangkan terus menguar dari tubuh Azure.
Ketika Ruby membuka mulut dan ingin mengatakan sesuatu lagi, Azure tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arah tahanan itu tanpa melepaskan pergelangan tangan Ruby. Dengan kerutan di dahi yang tidak pernah berkurang, dia memungut kain di lantai untuk menutupi daerah pribadi pria itu dengan sangat-sangat tidak senang.
Ruby akhirnya menghela napas lega dan memerintahkan Boo dan Demien menunggu di luar sel.
Setelah akhirnya hanya tersisa mereka berdua serta tahanan yang tidak sadarkan diri itu, Ruby melepaskan penutup matanya.
Hal pertama yang dia lihat adalah raut tidak senang Azure dan kerutan dahinya yang tidak hilang. Ruby merasa lucu, namun tidak ingin membuat pria itu semakin marah jadi dia menahan tawanya.
“Jangan bergerak dan cari tanda kutukan itu secepat mungkin!”
“Yang Mulia?”
Azure menghiraukan Ruby dan mulai membalik tubuh pria itu menjadi tengkurap dan memastikan daerah yang tidak seharusnya terlihat di lihat oleh Ruby.
Jika Boo dan Demien ada di sini saat ini, keduanya pasti akan sangat marah. Membiarkan Putra Mahkota menyentuh tubuh kotor seorang kriminal adalah sesuatu yang sangat tidak tertahankan bagi mereka.
Ruby mencari dengan seksama, mempersiapkan diri untuk merasakan sengatan di matanya agar dia bisa secepatnya menutup mata, namun hingga dia mencari berkali-kali, dia tidak menemukan apa pun.
Bahkan pada luka bakar di tubuh pria itu, Ruby tidak merasakan apa-apa.
“Dia tidak memiliki tanda kutukan apa pun.” Ruby berbisik.
Azure yang selesai menutupi semua tubuh pria itu dengan kain berbalik, menatap tepat ke arah mata Ruby. “Mereka adalah dua kelompok yang berbeda,” ujarnya.
“Tapi penyerangan mereka terlalu kebetulan untuk di katakan sebuah kebetulan.”
Tatapan Azure menajam, dia mengalihkan tatapannya ke arah tahanan di bawah. “Mereka berada di dua kelompok yang berbeda, namun tidak menutup kemungkinan adanya kerja sama.”
Dengan kata lain, ada dua kubu berbeda yang menentang kedudukan Azure.
Bersambung...