Melihat dari banyaknya luka yang Azure miliki, semua orang berpikir bahwa Azure akan bangun paling cepat tiga atau empat hari kemudian. Namun siapa yang menyangka di malam berikutnya, seperti perkataan Ruby, Azure benar-benar terbangun jauh lebih cepat dari perkiraan semua orang.
Saat itu, Ruby dan ketiga tabib istana yang membantunya baru saja selesai mengoleskan obat baru pada luka Azure dan sedang bersiap untuk memasang perban ketika mata Azure tiba-tiba bergetar dan secara perlahan terbuka.
Tabib tua bernama Juba yang pertama kalinya melihatnya, tidak mampu menahan suara tercekat yang keluar dari tenggorokannya begitu pandangannya bertemu dengan mata Azure.
“Y-Yang Mulia sudah bangun.” Tabib Yoga mengucek matanya tidak percaya, namun begitu melihat lagi, Azure masih membuka matanya dan kini menatap ke arah Ruby yang masih sibuk melilitkan perban di lengannya.
Dua tabib lainnya yang juga menyadari itu juga terkejut, namun masih bisa menahan diri dan tidak menganga bodoh seperti yang Tabib Yoga lakukan.
Tentu saja mereka akan terkejut, bagaimana bisa orang sekarat karena kekurangan banyak darah dan memiliki kondisi fisik lemah yang baru saja lolos dari ambang kematian kemarin, hari ini tiba-tiba bangun. Bukankah itu tidak masuk akal? Tidak, lebih tepatnya seperti keajaiban.
Tiga tabib itu menoleh bersamaan ke arah Ruby dan menatap gadis itu seolah sedang melihat Dewa.
Ruby masih melanjutkan pekerjaannya dan memerintahkan tiga tabib tua itu untuk melanjutkan pekerjaannya juga.
Karena Ruby adalah tabib khusus Putra Mahkota sedangkan tiga tabib tua itu hanya di perintahkan untuk membantu, secara otomatis ketiganya akan mendengarkan perintah Ruby meski pun gadis itu sangat muda sehingga bisa menjadi cucu mereka.
Namun, bagi tiga maniak ilmu pengobatan itu, mereka tidak masalah jika harus berdiri di bawah seorang dokter dengan kemampuan dewa seperti Ruby.
Ruby mengabaikan tatapan memuja tiga pria itu dan menoleh ke arah Azure. “Kau menginginkan sesuatu?”
Azure membuka mulut, namun tidak terdengar suara apa pun keluar dari tenggorokannya, jadi dia hanya berkedip beberapa kali lalu berdehem pelan berharap Ruby mengerti apa yang dia minta.
Untungnya, Ruby benar-benar mengerti dan segera berdiri untuk membawakan air mineral ke arah Azure, membantunya minum menggunakan sendok sedikit demi sedikit agar Azure tidak tersedak.
Karena Azure merasakan tenggorokannya masih terasa sakit dan kesulitan berbicara, dia hanya mengucapkan terima kasih dengan menepuk tangan Ruby.
Ruby mengulum senyum tipis sebagai balasan lalu melanjutkan kegiatannya untuk membebat luka Azure yang masih terbuka. Saat itu pulalah Azure juga menyadari bahwa lengan dan leher Ruby memiliki perban dan di balik rambutnya, sebuah luka bakar yang memerah tampak di pipi gadis itu.
Pupil Azure mengecil begitu matanya membelalak, dia tidak perlu bertanya untuk mengetahui dari mana luka itu berasal, yang dia lihat saat ini hanyalah luka yang terlihat dari luar gaun Ruby, dia tidak tahu seberapa para luka di tubuhnya yang lain.
Azure mengepalkan tangan dan menatap setiap pergerakan Ruby dengan matanya, meneliti setiap inci tubuh gadis itu yang bisa dia lihat untuk memastikan tidak ada luka lain yang tampak,namun ketika Ruby berbalik untuk meletakkan sisa perban yang tidak terpakai, rambut Ruby yang hanya tersanggul longgar oleh tusuk konde kayu terlepas dan mengurai rambut blondenya yang kini hanya mencapai pinggang.
Azure tidak bisa menahan diri dan mengeluarkan suara tercekat. “R-Ram-but-mu...
Ruby menoleh dan mendengar dengan jelas kata-kata terbatas Azure, jadi dia tersenyum dan membelai rambutnya. “Ah, rambutku, aku memotongnya karena merasa sedikit terganggu ketika beraktivitas.” katanya.
Tapi bagaimana mungkin Azure akan percaya itu?
Ruby juga menyadari keraguan pria itu, jadi dia menambahkan, “Selama ini aku membiarkannya tubuh panjang karena terlalu malas memotongnya dan karena kemarin beberapa bagian rambutku terbakar api, jadi aku memutuskan untuk memotongnya saja. Bukankah ini terlihat lebih baik?” Dia memiringkan kepala hingga beberapa helai rambutnya jatuh melewati pundaknya.
Azure menyipitkan mata.
Ruby bisa menyembunyikan perasaannya di hadapan orang lain, berbohong sesuka hati di saat dirinya sendiri bisa tahu emosi terdalam orang lain, namun saat berhadapan dengan Azure, Ruby menjadi sebuah buku yang terbuka lebar dan mudah di baca. Hanya dengan melihat, Azure tahu bahwa gadis itu jelas sedang berbohong.
Jika rasa malas adalah alasan Ruby untuk tidak memotong rambutnya selama sepuluh tahun, maka gadis itu tidak akan merawat rambutnya dengan sangat hati-hati. Tapi nyatanya, Ruby sangat menjaga rambutnya, Azure menyadarinya itu sejak di dalam Dark Forest, Ruby benar-benar sangat mencintai rambut panjangnya dan bahkan bisa menyisirnya dalam waktu yang sangat lama sehingga meski rambut gadis itu sangat panjang dan mudah menyentuh tanah, rambut Ruby selalu besinar dan bersih karena perawatannya yang hati-hati.
Bukannya narsis, Azure menebak di dalam hati bahwa ada sebuah kenangan yang membuat Ruby enggan memotong rambutnya, kenangan itu seharusnya sangat berharga sehingga Ruby menghargai rambutnya hingga kini.
Meski tidak bisa melihat pandangan Azure, Ruby bisa merasakan bahwa Azure sama sekali tidak percaya padanya, jadi dia tidak melanjutkan percakapan itu dan berbalik untuk membuat ramuan.
Melihat itu, Azure memejamkan mata pedih, dia merasakan hatinya jauh lebih sakit dari luka yang ada di tubuhnya. Melihat Ruby terluka seperti itu dan dia tidak bisa melakukan apa pun membuat Azure merasa malu.
Yang mengajak Ruby keluar dari hutan adalah dirinya dan yang berjanji akan memberi gadis tu petualangan yang menyenangkan di dunianya adalah dirinya sendiri, namun hingga kini janji itu tidak sedikit pun terpenuhi. Justru sebaliknya, sejak Ruby datang ke istananya, gadis itu telah berkali-kali menolongnya, melakukan banyak hal untuknya namun yang bisa Azure tawarkan adalah dirinya yang terluka.
Dan sekarang, Ruby bahkan ikut terluka karenanya.
“Jangan merasa bersalah, aku tidak pernah menyesal ikut denganmu.” Ruby yang bisa merasakan emosi Azure yang tidak stabil berbalik. “Aku bersungguh-sungguh, jadi cepatlah pulih dan aku akan menyembuhkan penyakitmu sepenuhnya.”
Tiga tabib yang ada di sana saling memandang, mendengar Ruby mengatakan bahwa penyakit Putra Mahkota yang bahkan tidak bisa di sembuhkan oleh dokter handal dari barat bisa gadis itu sembuhkan membuat ketiganya tidak bisa mempercayai pendengaran mereka sendiri.
Mereka ingin bertanya namun menyadari bahwa kini tatapan Azure telah teralihkan ke arah mereka sedangkan Ruby juga menoleh ke arah yang sama. Tatapan Azure sangat tajam sedangkan Ruby yang tidak bisa melihat memiliki aura akan menyerang mereka saat itu juga.
“Kami berjanji tidak akan membocorkan rahasia ini.” Tabib Yoga lebih dulu mengucap janji dan di ikuti tiga tabib lainnya.
Ruby tersenyum lebar, namun senyumnya itu justru semakin membuat tiga tabib yang ada di sana bergidik ngeri. “Aku memang menyarankan itu, karena aku tidak suka seseorang yang memiliki mulut yang terlalu luas.” Ruby memainkan sebuah pisau kecil di tangannya. “Atau tanganku akan gatal untuk membuatnya jauh lebih lebar.”
Lutut tiga tabib itu bergetar, mereka mengangguk dengan sangat cepat hingga merasa pusing. mereka berjanji berkali-kali sebelum Ruby akhirnya melepaskan mereka dan membiarkan ketiganya keluar dari ruangan.
Ruby kemudian menghela nafas. “Maafkan aku, aku seharusnya tidak mengatakannya di hadapan mereka.”
Azure juga menghela napas sebagai balasan dan memejamkan mata dalam dian. Namun Ruby tahu Azure tidak sedang marah padanya.
Ruby membawa ramuan yang baru saja dia seduh ke arah ranjang dan mencolek bahu Azure yang hampir tertidur. “Minum obat dulu setelah itu kau boleh tidur.”
Azure mengangguk pelan dengan mata sayu dan meminum semua obatnya dengan dengan susah payah karena rasa kantuk.
Ruby meletakkan mangkok kosong di meja dan merapikan selimut Azure lalu menunggu ketika Azure sepenuhnya tertidur sebelum membawa beberapa peralatan medis untuk mengganti perban luka miliknya juga.
Besok kondisi Azure seharusnya jauh lebih baik dan bisa diajak berdiskusi.
Bersambung...