Ruby membungkuk pertama kali ke arah Azure kemudian pria paruh baya di sisinya lalu melambaikan tangan pada remaja yang sedang berdiri mematung di belakang Azure.
"Waoow, Nona Ruby. Kau terlihat sangat cantik." Jendral Qhali berdiri dan menyambut Ruby dengan senyum lebar.
Ruby tersenyum sopan. "Terima kasih Jendral."
Jendral Qhali menatap penampilan Ruby dari atas ke bawah dan menghela napas pelan. "Aku selalu berpikir bahwa kau sangat tidak cocok dengan kehidupan di tempat ini, tapi sepertinya kau bisa menyesuaikan diri dengan sangat baik."
Hingga kini, Jendral Qhali masih sangat terkesan dengan ilmu bela diri Ruby dan berharap Azure bisa menyerahkan Ruby kepadanya untuk memoles kemampuan gadis itu di medan perang.
Dengan kemampuan Ruby, tinggal di dalam kastil dan belajar tata krama serta meneliti obat-obatan hanya menyia-nyiakan bakat seorang jenius bela diri. Jadi, sebelum Ruby datang, Jendral Qhali sekali lagi membujuk Azure untuk mengirim Ruby ke barak bersamanya tapi masih gagal.
"Aku bisa belajar dengan cepat, terima kasih karena kemurahan hati Yang Mulia yang telah mengirimkan banyak sumber daya untukku belajar dengan cepat." Suara Ruby rendah dan lembut, dengan nada rendah hati khas wanita istana berpendidikan.
Boo yang sedang berdiri di belakang Azure menganga sangat lebar, kedua matanya menatap Ruby yang sedang tersenyum sopan seperti melihat orang asing.
"Yang Mulia, a-apakah selama aku pergi, sesuatu terjadi kepada Nona Ruby?" Boo membungkuk dan berbisik.
Azure melirik. "Tidak."
"Lalu mengapa Nona berubah menjadi seperti itu?" Boo mengarahkan telunjuknya kepada Ruby yang masih asik mengobrol dengan Jendral Qhali tanpa kehilangan senyum sopannya.
"Seperti apa?"
"I.. Itu... " Boo kesulitan mencari kata-kata dan menggaruk kepala. "Bagaimana bisa hanya dalam waktu singkat, seseorang bisa berubah sebanyak itu?"
"Aku juga tidak tau, bahkan mulai menyesal menyuruhnya belajar." Azure berbisik pelan lalu menghela napas. Semenjak Ruby meminta untuk menjaga jarak, Azure jauh lebih banyak menghela napas di bandingkan biasanya.
"Hah? Yang Mulia kau mengatakan sesuatu?"
"Jangan banyak tanya." Azure berdiri dari kursinya dan meraih jubahnya yang tersampir di sandaran kursi. "Ayo kita turun."
"Oh, baiklah." Boo mengangguk beberapa kali dan membantu Azure memasang jubahnya.
Azure kemudian menghampiri Jendral Qhali dan Ruby yang masih bercakap-cakap dengan suasana menyenangkan, namun hanya Azure yang tau bahwa Ruby mulai tidak nyaman dan kewalahan untuk menjawab semua pertanyaan Jendral Qhali.
"Baiklah Ruby, aku akan memberimu waktu untuk berpikir dan akan menagih jawabanmu nanti."
"Aku mengerti Jendral." Ruby mengangguk patuh, masih dengan senyum sama di wajahnya.
"Waktu apa?" Azure bertanya ke arah Jendral Qhali lalu menoleh ke arah Ruby. "Jawaban apa?"
Saat Azure sibuk berbicara dengan Boo, dia memang tidak begitu mendengar percakapan Pamannya dan Ruby yang tiba-tiba memelankan suara, sekarang ketika mendengar tentang waktu dan jawaban yang pamannya berikan kepada Ruby, Azure merasa sangat tidak nyaman.
"Bukan apa-apa, kau akan tau nanti setelah Ruby punya jawaban." Jendral Qhali tertawa lebar dan menarik keponakannya yang masih mengerutkan kening keluar dari kamar.
Ruby tertinggal di belakang menghela napas lega dan mengelus dadanya, tekanan untuk menjawab semua pertanyaan Jendral Qhali benar-benar berat, Ruby bahkan membayangkan bahwa setiap pertanyaan Jendral Qhali seperti beban berat yang terus menerus jendral itu taruh di atas kepalanya.
"Jawaban apa yang harus kau berikan kepada jendral Qhali?" Boo berjalan di samping Ruby dan menyusul Jendral Qhali dan Azure yang berjalan paling depan, sedangkan para pelayan dan penjaga berjalan di belakang mereka.
"Bukan apa-apa." Ruby menoleh ke arah remaja yang lama tidak dia temui. "Kapan kau kembali? Kenapa kau sama sekali tidak memberi kabar selama di luar sana hum?"
"Aku kembali kemarin, namun baru menemui Yang Mulia hari ini. Dan..." Boo menggaruk tengkuknya." Aku sedang menyelidiki secara rahasia, jadi tidak berani bergerak gegabah apalagi mengirim pesan."
Ruby mengangkat alis. "Lalu apakah tugasmu sudah selesai?"
Boo menggeleng. "Setelah perjamuan hari ini selesai, aku akan pergi lagi."
Ruby menghela napas kecewa. "Apakah tugas yang kau lakukan sangat sulit? Mengapa begitu lama dan belum selesai."
Boo tertawa canggung, melirik wajah cantik Ruby yang terlihat sedikit sebal dengan bingung. "Ada apa? Apakah sesuatu membuatmu ingin aku kembali dengan cepat?"
"Tentu saja." Ruby mengerutkan kening dan meninju pelan bahu Boo. "Kalian berdua pergi dan meninggalkan semua tugas padaku sendirian." Ruby berdecak. "Sekarang bahkan untuk membaca buku aku tidak punya waktu."
"Maaf... Maaf, aku akan menyelesaikannya dengan cepat dan kembali." Boo mencoba untuk menenangkan sambil tertawa sedangkan Ruby yang memang tidak benar-benar marah mulai ikut tertawa pelan.
Ketika tiba di depan tangga, rombongan mereka bertemu rombongan para selir dari sayap kiri dan secara otomatis, Ruby dan Boo mundur lagi dan berjalan di belakang para selir itu.
Situasi itu seolah kembali mengingatkan Ruby betapa jauhnya Azure dari jangkauannya. Bahkan ketika Ruby masih merasakan semua tatapan sanjungan orang-orang di sekitarnya, Azure masih berdiri begitu jauh di depan.
Boo yang menyadari suasana hati Ruby yang tiba-tiba menjadi buruk merasa bingung, namun tidak berani bertanya di keramaian, jadi dia menutup mulut dan memperhatikan setiap langkah Ruby menuruni tangga dengan hati-hati agar tidak jatuh.
Setibanya di bawah, ballroom telah di tata dengan beberapa meja untuk menjamu tamu. Dan karena Azure hanya menerima beberapa tamu sehari, Ballroom luas itu masih menyisakan banyak ruang kosong.
Sebagai anggota keluarga dengan status tertinggi kedua setelah Azure, Jendral Qhali mendapatkan meja yang paling dekat dengan Azure kemudian para selir sesuai urutan, sedang Ruby dan Boo berdiri di belakang singgasana Azure.
Rombongan penjaga yang Fern, Jude, Oslo dan Skye pimpin kini menyebar di sekitar aula untuk memperhatikan semua gerak-gerik orang-orang yang masuk.
Tamu yang pertama kali masuk adalah tiga saudara tiri Azure. Pangeran pertama, Rian Haiden. Pangeran ketiga, Leroy Huxley dan Pangeran ke empat, Alrey Collum.
Kepala pelayan istana menyebutkan nama dan gelar mereka satu persatu sebelum mereka masuk ke dalam ruangan.
Ruby tidak bisa melihat seperti apa penampilan ke tiga saudara Azure itu, namun hanya dengan mendengar langkah kaki orang-orang yang masuk ke dalam aula, Ruby menebak bahwa masing-masing dari pangeran itu membawa lebih dari dua puluh pelayan dan penjaga bersama mereka.
"Para pangeran licik itu, Yang Mulia jelas-jelas membatasi tamu yang bisa datang, tapi mereka masih membawa rombongan sebanyak itu." Samar-samar Ruby mendengar kata-kata umpatan dari Boo sedang jenderal Qhali terdengar tertawa sangat rendah. Jelas bukan sebuah tawa menyenangkan.
Ruby telah mengenali semua ciri-ciri tubuh mereka sejak mereka melewati gerbang kastil, dan telah menentukan identitas mereka berdasarkan percakapan yang dia dengar.
Ketiga pria itu membungkuk di hadapan Azure sedangkan rombongan di belakang mereka berlutut di lantai. Pada masing-masing punggung pelayan yang para pangeran itu bawa kecuali Pangeran Rian, memikul peti berukuran sedang yang di bungkus oleh kain berwarna gelap.
"Selamat ulang tahun Yang Mulia." Pangeran Rian mewakili kata-kata sambutan dengan senyum lebar di wajahnya. "Semoga tahun ini tuhan memberkati dan memberikan kemurahan atas kesehatanmu."
Ruangan yang awalnya sepi semakin sepi. Semua orang tau bahwa Azure sangat tidak suka jika seseorang menyinggung tentang tubuh lemahnya di depan umum apalagi di hadapannya sendiri. Dan seolah tidak tau itu, Pangeran Rian langsung mengeluarkan kata-kata pertama paling menyebalkan untuk memprovokasi Azure di hari ulang tahunnya.
Semua orang berpikir Azure akan marah seperti biasanya. Kemarahan Yang Mulia Putra Mahkota bukanlah kemarahan yang meledak-ledak, namun kemarahan dalam diam yang mencekam.
Di masa lalu, ketika hal seperti ini terjadi, Azure akan langsung meninggalkan singgasananya tanpa kata-kata lalu memberikan perintah untuk menutup gerbang kastilnya, tidak memberikan izin bagi siapa pun untuk keluar dari lingkungan kastil hingga dia mengizinkan.
Berapa lama gerbang tertutup? Tergantung seberapa lama kemarahan Azure bisa reda.
Jika hanya itu, seseorang bisa saja menentang dan memaksa keluar dari gerbang, tapi kastil Putra Mahkota memiliki pertahan paling kuat di lingkungan istana, saat seseorang berusaha untuk lari, mereka hanya akan berakhir terluka parah.
Karena itulah, pada ulang tahun Azure sebelumnya, selama dua tahun berturut-turut Pangeran Rian tidak mendapatkan izin untuk hadir ke pesta ulang tahun Azure karena kejadian sebelumnya juga terjadi karena ulahnya, siapa yang menyangka tahun ini Azure mencabut larangannya dan Rian sekali lagi memprovokasinya.
Melihat semua orang diam, pangeran Rian tersenyum semakin lebar. "Yang Mulia? Jangan katakan bahwa kau akan mengurung kami lagi selama dua hari dua malam di aula ini seperti dua tahun lalu." Dia mempertemukan pandangannya dengan mata kelam Azure.
Azure masih tidak mengeluarkan suara, hanya diam menatap Rian tanpa ekspresi di wajahnya. Namun diam itu justru menyebabkan jantung semua orang yang ada di sana semakin bergetar ketakutan.
Terkurung di dalam aula kastil selama dua hari sebenarnya bukan sesuatu yang mengerikan selama Azure masih menjamu mereka, namun yang terjadi adalah Azure benar-benar mengurung mereka di sana seperti tahanan tanpa makanan. Membiarkan mereka kelaparan dan kehausan selama dua hari.
Kejadian dua tahun itu jugalah alasan mengapa kini Azure kehilangan setengah dari dukungan para bangsawan yang dulunya mendukungnya dan jika hari ini Azure melakukannya lagi, kekuatan didalam kubu pendukung Putra Mahkota pasti akan melemah lagi.
Dan efek itu adalah yang Pangeran Rian inginkan.
Bersambung...