Aku Ingin Melihat Dunia

1439 Kata
"Lalu apa kau akan membuat janji dengannya?" Azure bertanya dengan nada yang lebih santai, bahkan jika dia menghabiskan tenaganya untuk cemburu, Ruby tidak akan mengerti itu, jadi lebih baik untuk membahas hal ini dengan kepala dingin. "Jika kau mengisizinkan." Ruby duduk di atas tempat tidur sembari memberikan tatapan penuh harap ke arah Azure. Azure bersedekap. "Bagaimana jika aku tidak mengizinkan?" "Aku berharap kau mengizinkan." Ruby menoleh ke arah jendela kamarnya yang selalu tertutup. "Pangeran Alrey mengatakan bahwa dia memiliki banyak buku sejarah dari empat kerajaan, mungkin saja dia memiliki buku yang aku cari." "Buku apa yang kau cari?" Ruby mengembalikan tatapannya ke arah Azure. "Buku sihir." "Buku sihir?" Azure melirik ke arah buku tebal di atas meja. "Bukankah kau sudah memiliki Momo?" "Aku tidak sedang mencari buku sihir seperti Momo, aku mencari buku biasa yang membahas tentang sihir." "Untuk apa kau mencarinya?" Ruby tiba-tiba menjadi gugup, dia memelintir kain penutup mata di tangannya dan menjawab perlahan. "Aku ingin melihat dunia dengan bebas." "Huh?" Azure tidak mengerti apa maksud Ruby. Ruby menggigit bibir dan mengalihkan tatapannya dari Azure ke lantai. "Aku ingin melihat dunia dengan mataku sendiri, ingin melihat dengan bebas apa pun yang ada di hadapanku." Dia mengulurkan tangan dan menyentuh ujung mata kirinya. "Tanpa harus ketakutan melukai siapa pun." Azure menahan napas karena terkejut, dia menghampiri Ruby dan menarik tangan gadis itu ke dalam genggamannya. "Ruby, jadi maksudmu kutukan di matamu bisa dipatahkan?" Ruby menunduk dan membiarkan Azure tetap menggenggam tangannya. "Aku tidak tau, tapi aku sedang berusaha mencari tau. Kutukan tidak tercipta tanpa pengutuk, jadi aku ingin mencari tau apakah di masa lalu ada sebuah kutukan yang menjadikan mata seseorang sebagai wadah kutukan?" Azure mendengarkan dengan seksama dan tiba-tiba merasa senang. Ini adalah pertama kalinya Ruby membahas masalah pada matanya, meski selama ini Azure telah menebak bahwa penyebab kematian makhluk hidup yang menatap mata Ruby adalah kutukan, mendengarnya secara langsung dari mulut gadis itu tetap saja membuatnya sangat senang. Ruby menatap ragu pada mata kelam Azure yang menatapnya dengan lembut. "Aku juga ingin tau, mengapa kau satu-satunya orang yang kebal dengan kutukan di mataku." Azure mengangguk dengan cepat. "Aku juga akan mencoba untuk mencari buku tentang sihir untukmu." "Terima kasih." Ruby tersenyum tipis. "Jangan berterima kasih, aku juga sangat ingin melihatmu berjalan di bawah sinar matahari tanpa penutup mata." Dan mendampingiku memimpin kerajaan ini. Azure mengucapkan kalimat terakhir di dalam hati. Tak lama kemudian, pelayan yang mengantar makanan untuk Ruby mengetuk pintu. Karena Azure juga belum sarapan, mereka akhirnya makan di meja yang sama untuk pertama kalinya setelah perjanjian untuk menjaga jarak. Tidak ada yang lebih senang dengan keadaan itu selain Azure, dia bahkan makan terlalu banyak dan menolak bergerak dari kamar Ruby hingga Ruby mengabaikannya dan tidur dengan memunggunginya. *** Azure membuka gerbang Kastilnya selama lima hari dan mempersilakan orang-orang membawa hadiah untuknya, namun tidak bisa lagi secara pribadi menyapa para tamunya itu. Pada akhirnya, Jendral Qhali sebagai salah satu penatua dari keluarga baginda Ratu harus duduk di ballroom setiap hari dan menjamu tamu hingga hari terakhir gerbang terbuka, pria paruh baya itu melapor untuk kembali ke kediamannya dan datang menemui Ruby untuk menagih jawaban. Jawaban Ruby adalah. "Terima kasih Jendral, aku masih berpikir bahwa tetap di sisi Yang Mulia adalah yang terbaik, selain itu aku masih harus meneliti untuk menyembuhkan penyakit Yang Mulia." Jendral Qhali sudah memperkirakan jawab Ruby, jadi dia tidak menampakkan wajah kecewa. "Baiklah, jika kau ingin tetap di kastil hingga penelitianmu selesai, aku tidak keberatan. Tapi setelah tugas itu selesai, bisakah aku mendapatkan jawaban positif?" Azure yang sejak tadi diam mendengarkan tidak bisa menahan diri untuk menyela. "Paman, tugas Ruby di sisiku bukan hanya sebatas seorang tabib." Jendral Qhali menoleh ke arah keponakannya dengan senyum tipis di bibirnya. "Bukankah Ruby sudah membentuk Dark Guard untukmu? Mereka semua sangat hebat dan membuat tanganku gatal untuk merekrutnya. Kau memiliki delapan penjaga hebat serta Boo dan Demien, jadi aku harap kau bisa memberikan Ruby ruang untuk mengembangkan sayapnya di medan perang." Azure masih tidak ingin menyerah. "Tapi Ruby seorang wanita, medan perang terlalu kasar untuknya." Jendral Qhali tertawa pelan. "Wanita yang bisa melukaiku tidak banyak, dan sejauh ini hanya Ruby yang bisa. Jangan katakan bahwa medan perang tidak cocok dengannya. Kau dan aku tau dengan kemampuan Ruby, dia bisa memanjat posisi tertinggi di medan perang dalam waktu singkat." Posisi tertinggi di medan perang adalah kedudukan seorang jendral. Dari kata-kata Jendral Qhali, Azure menebak bahwa pamannya itu ingin Ruby menggantikan posisinya di medan perang. Melihat mata Azure berfluktuasi, Jendral Qhali tau bahwa tekad keponakannya sedikit goyah, jadi dia melemparkan bom lagi. "Azure, sebagai seorang Putra Mahkota yang nantinya akan memimpin negeri ini, bukankah memiliki dukungan dari seorang jendral yang kuat akan sangat menguntungkan?" Jendral Qhali menatap Azure dan Ruby bergantian. Di umurnya yang tidak muda lagi, dia bisa melihat bahwa Azure memiliki perasaan lebih kepada tabibnya. Tapi status Ruby terlalu rendah untuk mendampingi Azure. "Selain itu, mengumpulkan jasa di medan perang adalah cara tercepat untuk membangun reputasi dan membuat status Ruby mendekati statusmu." Tangan Azure bergetar, dia bukannya tidak pernah memikirkan jalan ini. Hanya saja Azure tidak ingin Ruby masuk ke dalam medan perang yang kejam dan penuh keputusasaan. Meskipun Ruby terlihat kejam dan bisa membunuh seseorang tanpa berkedip, namun kenyataannya hati gadis itu sangat lembut. Dia menyayangi binatang dan tidak menyakiti siapa pun tanpa alasan, karena itulah dia rela menutup matanya sepanjang waktu untuk melindungi orang lain. Azure menjilat bibirnya yang terasa kering dan menatap ke arah Ruby yang sejak tadi menunduk tanpa suara, mendengarkan dalam diam percakapannya dengan Jendral Qhali. "Ruby, aku akan menghargai keputusanmu, jangan menjawab berdasarkan yang terbaik untukku, jawablah sesuai keinginanmu." Suara Azure serak. Tak seorang pun tau seberapa sulit dia mengeluarkan kata-kata itu di saat hatinya terus menjerit untuk mengikat Ruby tetap disisinya, tidak ingin gadis itu menjauh selangkah pun darinya. Ruby akhirnya mendongak, mengeluarkan suara yang sangat tenang di telinga kedua pria yang ada di sana. "Baiklah, aku akan memikirkannya." Mata Jendral Qhali menjadi sangat cerah, sedangkan retina Azure meredup. Ruby menoleh ke arah Jenderal Qhali dan melanjutkan kata-katanya. "Saat penelitianku berhasil dan kondisi Yang Mulia membaik, aku akan menghubungimu secara pribadi. Saat hari tiba, aku harap Jendral Qhali masih mengingat kata-katanya hari ini." Ruby sengaja menekankan kata-kata yang tadi Jendral katakan, untuk mengingatkan bahwa dia juga mengerti maksud dari ucapan Jendral Qhali, bahwa jika dia masuk ke dalam medan perang, dia akan berusaha untuk mendapatkan kedudukan yang Jenderal Qhali miliki saat ini. Jendral Qhali tertawa lebar. "Tenang saja, kata-kataku hari ini juga didengar oleh calon Raja masa depan kita. Jadi, datang padaku dan buktikan kekuatanmu, aku akan melatihmu sebagai pewarisku." Ruby mengangguk. "Aku mengerti." Meski berada di dalam suasana hati yang buruk Azure tetap melayani Jendral Qhali beberapa kata sebelum pria paruh baya itu meninggalkan ruangan. Ruangan kemudian berubah menjadi sangat hening, Ruby dan Azure sama-sama menunduk tanpa mengucapkan sepatah kata selama beberapa saat. Hingga seseorang di antara mereka akhirnya membuka suara. "Azure." Azure masih menunduk."Hn." Ruby berkata lagi. "Terima kasih." Mendengar kata terima kasih secara tiba-tiba itu, Azure mendongak dan menemukan Ruby telah melepas penutup matanya dan tersenyum sangat cerah ke arahnya. "Aku akan bekerja keras untuk berdiri di tempat yang sama denganmu." Azure termenung sesaat, sebelum kemudian tiba-tiba tertawa, memijat pangkal hidungnya dan menunduk. Ruby mungkin tidak tau dampak dari kata-katanya. Bagi Ruby, berdiri di tempat yang sama mungkin hanya sekedar menjadi seseorang yang bisa mendukung kedudukannya saat menjadi Raja. Tapi di telinga Azure yang memiliki tujuan lain terhadap Ruby, kata-kata itu terdengar seperti Ruby sedang melamar dan ingin bekerja keras untuk mendapatkan mahar untuknya. "Kenapa tertawa?" Ruby memiringkan kepala, dia merasa dari kata-katanya sama sekali tidak ada yang lucu. Azure masih menunduk lalu perlahan menumpukkan kepalanya di atas meja. "Aku merasa tidak enak badan," ujarnya tiba-tiba dengan suara bergetar. "Huh?" Ruby mengerutkan kening dan menghampiri Azure. Bukankah tadi masih tertawa? Bagaimana bisa tiba-tiba tidak enak badan? "Bagian mana yang tidak nyaman?" Ruby semakin bingung saat menemukan bahwa kinerja nadi Azure baik-baik saja. Tubuh Azure bergetar. "Dingin, bisakah kau memelukku?" suaranya juga terdengar gemetar. Ruby mematung, mengingat sensasi hangat ketika Azure memeluknya terang kali membuat wajah Ruby memanas. "Lalu aku akan mengambilkan selimut." ujarnya cepat lalu berbalik. Namun sepasang tangan terulur memeluk pinggangnya, mencegahnya bergerak seincipun dari tempatnya. Ruby merasakan napas panas Azure di pinggangnya, melingkupi tubuhnya lalu menjalar ke wajahnya. "Azure... "Sangat dingin." Azure mengeratkan pelukannya. "Sangat tidak nyaman," ujarnya lagi dengan suara lemah, namun di balik tubuh Ruby, mata kelam Azure bercahaya dengan tamak. Untuk pertama kalinya dia tidak ingin sembuh dengan cepat jika dia harus berpisah dari gadis di pelukannya selama bertahun-tahun. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN