Begitu Ruby kembali dari ruang penelitian, Tifa telah menunggunya di depan kamar bersama Willow. Keduanya sedang berbisik pelan, namun masih bisa di dengar oleh Ruby bahwa mereka juga sedang membicarakan gadis misterius yang di temui Yang Mulia Putra Mahkota di menara.
Ruby menghela napas pelan, benar-benar tidak menyangka pertemuannya dengan Azure bisa menciptakan sensasi sebesar ini, dia bahkan sudah mendengar bahwa terjadi keribut besar di dalam harem.
Tifa dan Willow dengan cepat berdiri dan menghentikan percakapan mereka begitu melihat Ruby datang.
"Hari ini aku tidak memiliki banyak kegiatan, jadi kalian bisa kembali dan melakukan hal lain." Ruby menghampiri mereka dan berbicara, karena Ruby memang tidak memerlukan pelayanan mereka sepanjang waktu seperti para Putri bangsawan, kata-kata seperti itu tidak asing lagi di telinga Tifa dan Willow.
Tifa mengangguk, tapi begitu sadar bahwa Ruby tidak bisa melihat anggukkan nya, dia membuka mulut dan berkata, "Kami mengerti, tapi kami datang kemari karena seseorang menitipkan surat padamu Nona."
Willow menyerahkan selembar surat berwarna pastel dengan segel lilin berwarna hijau tua.
"Surat?" Ruby memiringkan kepala dan menerima surat itu. "Dari siapa?"
"Kami tidak tau, penjaga gerbang hanya mengatakan bahwa kereta pengirim surat ini juga ada dalam deretan tamu yang datang kemarin." Willow menjawab.
Mendengar itu, Ruby tidak banyak bertanya lagi, dia mengangguk mengerti dan meraih gagang pintu. "Oh ya, aku akan sarapan di kamar, perintahkan beberapa pelayan untuk membawa makanan untukku," kata Ruby.
"Baik." Willow dan Tifa menjawab bersamaan sebelum berbalik pergi.
Ruby akhirnya membuka pintu dengan surat di tangannya, namun baru selangkah dia tiba-tiba merasakan nafas orang lain di dalam kamarnya. Dia menutup pintu kembali di belakangnya dan menarik penutup mata di wajahnya.
"Yang Mulia... Ah, Azure. Kenapa kau di sini?" Ruby dengan cepat mengubah panggilannya ketika melihat mata Azure menyipit ke arahnya.
Azure sudah mandi dan berganti pakaian, mengikat rambut hitamnya ke samping dan duduk besedekap di meja samping tempat tidur Ruby. "Kenapa? Aku tidak boleh datang?" tanyanya dengan wajah tertekuk.
"Tentu saja tidak." Ruby menggantung jubah di tangannya ke tiang gantungan dan menghampiri Azure. "Sudah sarapan?"
"Belum, aku ingin sarapan denganmu tapi kau sangat lama."
"Maaf, kondisi tubuh Tabib Yoga melepuh dengan parah, jadi membutuhkan banyak waktu untuk mengobatinya."
Azure mengangguk mengerti dan menatap surat di tangan Ruby dan tidak bisa menyembunyikan rasa tidak senangnya. "Kudengar kau mendapatkan surat?"
"Hn, tapi aku tidak tau dari siapa." Ruby membolak balik surat itu di hadapannya dan memperhatikan corak bunga di segel lilin surat itu. "Bagaimana kau tau aku mendapatkan surat?" Dia mengalihkan tatapannya kembali ke arah lawan bicaranya.
"Sebelum mengirim pesan itu kepadamu, para penjaga gerbang memberitahu ku terlebih dahulu," jawab Azure. "Biarkan aku melihat suratnya." Dia menengadahkan tangannya ke arah Ruby.
Ruby telah memeriksa surat itu dengan teliti dan tidak menemukan ada bahaya di dalamnya, jadi dia menyerahkan nya tanpa berpikir panjang ke arah Azure.
Azure tidak langsung membuka surat itu begitu dia memegangnya, dia terlebih dulu memeriksa beberapa bagian dan melihat segel yang ada di bagian belakang surat.
Segel lilin di surat itu berwarna hijau tua, dengan motif abstrak yang khas. Seolah ingin memberi kesan yang baik untuk Ruby, si pengirim surat juga menempelkan bunga kecil di atas segel itu.
"Segel ini dari Kastil Pangeran Keempat." Azure tenpa sadar meremas ujung surat itu hingga berkerut, jika saja Ruby tidak ada di hadapannya, Azure pasti sudah membakar surat itu sejak lama.
"Pangeran Alrey?" Ruby mengamati Azure membuka surat dan mengerutkan kening. Jika dia ingat dengan benar, dia sama sekali tidak memiliki interaksi apa-apa dengan para Pangeran dan Putri, kemarin. Lalu hal apa yang membuat Pangeran Alrey mengirim surat kepadanya?
Di sisi lain, Azure membuka surat itu tanpa kelembutan sedikit pun, dia melepas segel lilin di atas kertas seolah ingin merobek kertas itu sendiri. Dan seolah surat itu miliknya sendiri, dia membacanya pertama kali tanpa meminta persetujuan Ruby.
Dear Nona Ruby...
Pertemuan pertama kita kemarin sama sekali tidak berkesan, bahkan mungkin kau tidak akan mengingat siapa aku di antara para tamu, tapi aku bisa mengenalimu hanya dengan satu kali bertemu.
Aku telah mendengar banyak hal tentangmu dan juga mendengar bahwa kau sangat suka membaca buku dan mencari tahu hal baru. Betapa kebetulan, aku pun seperti itu.
Surat ini aku kirim untuk menciptakan pertemuan yang lebih berkesan, jika berkenan. Aku ingin mengundang Nona Ruby untuk mengatur pertemuan denganku dan kita bisa saling berbagi pengetahuan yang kita miliki.
Aku memiliki banyak buku sejarah dan langka di tanganku yang aku koleksi dari empat kerajaan, membacanya pasti akan lebih menarik jika aku memiliki seorang teman seperti Nona Ruby untuk berdiskusi.
Alrey Collum Van Seir Ninth
Seperti itulah isi surat itu yang berhasil membuat wajah Azure semakin gelap ketika membaca setiap paragrafnya.
Alrey mengejar Ruby secara terbuka, bahkan mengirim surat menggunakan kereta pribadinya ke depan gerbang Kastil Putra Mahkota, seolah takut tidak ada yang mengetahui tentang tindakannya.
"Apa isi suratnya?" Ruby yang sejak tadi penasaran namun tidak mendapatkan balasan dari Azure akhirnya bertanya.
"Baca sendiri." Azure menyerahkan surat itu dengan wajah masam, sama sekali tidak sudi membacakan surat cinta dari pria lain kepada Ruby.
Ruby tidak tau mengapa suasana hati Azure tiba-tiba menjadi buruk dan menerima surat itu untuk mencari tau.
Tapi, setelah membacanya, perhatian Ruby dan Azure di dalam surat itu berada pada kaliamat yang berbeda. Di saat Azure terus memikirkan bahwa Alrey mengajak Ruby berkencan dengan iming-iming saling bertukar pengetahuan, Ruby justru bertanya. "Van Seir Ninth?"
Azure tercengang, menatap wajah Ruby yang benar-benar polos dan tidak tau bahwa dirinya sedang menjadi target seolah pangeran. Azure tiba-tiba merasa kasihan pada Alrey, dan dirinya juga.
"Van Seir Ninth adalah marga keluarga kami, keluarga Seir telah memimpin Kerajaan Timur selama sembilan generasi dan belum pernah di gulingkan semenjak menghilangnya para penyihir," jawabnya.
Ruby ber-oh ria, melipat sirat itu kembali dan berniat untuk menyimpannya ke dalam laci.
"Untuk apa menyimpannya?" Azure merebut surat itu dari tangan Ruby dan menyalakan lilin dengan tangan yang lain. "Bakar saja," ujarnya lagi.
"Baiklah." Ruby menonto Azure membakar surat itu di atas lilin kemudian membuangnya ke tong sampah dengan tenang.
Azure menepuk-nepuk telapak tangannya untuk menghilangkan bau parfum dari surat itu dan berbalik untuk bertanya. "Kau mengerti isi suratnya?"
Ruby mengangguk. "Dia ingin mengajakku untuk berdiskusi dan membaca buku."
"Hanya itu?"
"Bukankah isi suratnya memang tentang itu? Apa ada pesan rahasia yang tidak aku mengerti?" Ruby memiringkan kepala.
Azure duduk dengan lemas, memijit kepala dan menghela napas lega, dia telah membuang banyak tenaga karena perasaan cemburu tanpa mempertimbangkan bahwa Ruby pasti tidak akan mengerti apa-apa.
Kalimat kencan yang tidak Alrey tulis secara langsung sama sekali tidak meninggalkan kesan untuk Ruby. Bagi Ruby, apa yang dia baca, maka itu adalah maksud dari suratnya. Karena Alrey hanya menulis 'Bertemu untuk belajar dan berdiskusi.' Maka Ruby benar-benar berpikir Alrey mengundangnya memang hanya untuk membaca, tidak peduli seberapa keras Alrey merangkai kata pujia untuknya. Semua itu sama sekali tidak ada artinya.
Azure tiba-tiba merasa cemas dengan masa depannya sendiri, jika Ruby terus seperti ini, jangankan jatuh cinta, membuat gadis itu mengerti perasaannya saja pasti akan sangat sulit.
Bersambung...