Tabib Yoga menatap punggung delapan pria muda itu hingga keluar dari ruangan lalu kemudian menoleh ke arah Ruby. “Mereka tidak terlihat begitu spesial, bahkan beberapa terlihat jauh lebih lemah dari penjaga lain.” Dia menarik kursi dan duduk di hadapan Ruby.
“Orang yang spesial itu terlihat seperti apa?” Ruby bertanya tanpa menghentikan gerakan tangannya untuk memasukkan sisa ramuannya ke dalam kendi.
Tabib Yoga membelai janggutnya dan berpikir, namun tidak bisa menemukan kata-kata yang benar untuk menjawab pertanyaan itu. “Untuk ukuran seorang penjaga dan prajurit, mereka yang spesial seharusnya terlihat kuat dan heroik.”
Ruby tersenyum tipis. “Apa aku terlihat spesial untuk ukuran seorang tabib?”
“Tentu saja.” Tabib Yoga menjawab dengan sangat cepat. “Kau adal ah tabib paling cerdas dan berbakat yang pernah aku temui.”
“Saat kau pertama kali melihatku?”
“Huh?”
“Apa kau juga berpikir aku spesial saat pertama kali melihatku?” Ruby mengulang pertanyaannya dengan lebih jelas.
Tabib Yoga diam, karena pada awalnya dia memang tidak pernah berpikir Ruby spesial, bahkan sempat berpikir bahwa wanita muda yang menjadi tabib pribadi Yang Mulia Putra Mahkota ini hanya menggunakan wajahnya untuk mendapatkan kedudukan yang dia miliki dengan sangat cepat.
Seolah tahu pikiran Tabib Yoga, Ruby tertawa pelan lalu mendongak ke arah Tabib Yoga, seolah menatap langsung ke mata pria itu. “Muda dan cacat, bagaimana bisa dia mendapatkan posisi tabib pribadi Yang Mulia Putra Mahkota dengan sangat mudah? Dengan apa dia mencapai posisinya? Yang jelas, pasti bukan karena kemampuannya. Bukankah kau dan tabib lainnya berpikir seperti itu tentangku pada awalnya.”
Tabib Yoga membelalak panik, kemudian mencari kata-kata untuk menyangkal setiap tuduhan, namun tidak bisa menemukan apa-apa, karena apa yang Ruby katakan memang benar. Jadi dia hanya bisa menunduk tanpa berani menatap ke arah Ruby. “Maaf...
“Aku tidak marah.” Ruby menyela. “Keraguan adalah salah satu perasaan manusia yang paling kuat, jadi aku tidak pernah mempermasalahkannya. Dan delapan orang pilihanku itu, suatu saat mereka akan berdiri dan mengalahkan semua orang yang pernah mencemooh mereka.”
Tabib Yoga meneliti wajah Ruby dan menghela napas lega begitu melihat bahwa Ruby benar-benar terlihat tidak marah. Jadi dia maju dan mencoba untuk memuaskan rasa penasarannya yang sejak tadi mengganggu. “Jadi, ramuan apa yang baru saja kau berikan kepada mereka?”
Ruby tersenyum misterius dan maju ke arah Tabib Yoga seolah ingin membisikkan sesuatu. Seketika wajah tabib Yoga menjadi cerah, dia juga memajukan wajahnya mendekati Ruby, menanti pengetahuan baru yang sebentar lagi akan Ruby bisikkan kepadanya.
“Rahasia.” Ruby berbisik pelan ke arah tabib Yoga lalu kembali berdiri tegak dan meninggalkan ruangan.
Tabib Yoga “...”
Dengan wajah yang memerah karena amarah, Tabib Yoga mengumpat dalam diam ke arah punggung Ruby yang baru saja meninggalkan ruangan, bersedekap lalu mendengus memunggungi pintu, dia sangat marah namun begitu melihat beberapa kertas yang Ruby tinggalkan di atas meja, matanya kembali bersinar cerah, seolah kemarahan karena berhasil terjebak tingkah usil Ruby tidak pernah ada, dia kemudian tenggelam dalam metode penelitian baru yang Ruby tinggalkan untuknya dan menjalani malam-malam tapa tidurnya dengan sangat bahagia.
Di malam yang gelap, koridor sayap kanan kastil meredup secara perlahan. Jude membuka pintu kamarnya dan mengintip pintu lain yang terletak tak begitu jauh dari ruangannya. Setelah memastikan lampu di kamar itu masih menyala, Jude meninggalkan kamarnya dan menuju ke sana.
Dengan botol kecil berisi cairan gelap di tangannya, Jude menarik napas dan mengetuk pintu.
Pria muda berkacamata membuka tak pintu tak lama kemudian.
Jude tersenyum dan memamerkan gigi ratanya. “Rio, bisakah kita berlatih bersama?” Dia memperlihatkan botol di tangannya. “Aku masih belum bisa mengontrol energi spiritualku dengan baik, jadi aku berpikir dengan berlatih bersama, kita bisa saling membantu.”
Rio mendorong kacamatanya lalu tanpa kata-kata melangkah keluar dari kamarnya dan menutup pintu.
Gerakan itu membuat Jude berpikir bahwa permintaannya di tolak, namun kata-kata Rio selanjutya membuatnya tercengang.
“Apa yang ingin kau pelajari dariku? Kemampuan kita tidak jauh berbeda.” Dia berjalan melewati pundak Jude. “Lebih baik jika kita bertanya kepada yang lebih tua.”
“Ah benar.” Jude buru-buru mengejar langkah Rio dan berhenti di depan pintu kamar terdekat.
Namun sebelum Rio mengetuk pintu, salah satu pintu yang terletak tak jauh dari sana terbuka dan tiga orang pria keluar secara bersamaan.
Melihat dua rekan bungsu mereka berdiri di depan pintu kamar Oslo dengan tangan hampir mengetuk pintu. Oslo, Skye dan Hawk yang baru saja keluar dari kamar menggaruk tengkuk secara bersamaan sambil tertawa malu.
Mereka jelas memiliki tujuan yang sama namun masih tidak menemukan rekan yang percaya diri.
Jadi lima pria yang secara kebetulan bertemu itu berjalan menuju kamar rekan tertua mereka dan tidak begitu terkejut lagi ketika melihat Fern dan Max juga sudah ada di sana.
Bert memijat kepalanya dan mempersilahkan semua rekannya masuk dan mencari posisi di lantai untuk duduk bersila dan membentuk lingkaran.
“Aku tidak tahu kenapa kalian datang dan mencariku di saat pengetahuan kita kurang lebih sama.” Bert menatap rekannya satu persatu. “Tapi karena Nona Ruby mempercayakan kita untuk memanipulasi energi spiritual kita secara mandiri, maka kita tentu tidak bisa membuatnya kecewa.” Bert mengeluarkan botol ramuan miliknya dan membuka penutupnya dan di ikuti oleh yang lainnya.
Jadi delapan pria itu meminum ramuannya secara bersamaan lalu mulai mengingat langkah-langkah yang Ruby ajarkan sebelumnya dan menyerap ramuan yang baru saja mereka minum menggunakan energi spiritual mereka dengan sagat canggung.
Mereka semua berpikir bahwa, percobaan pertama tidak akan berhasil, siapa yang tahu, ramuan yang baru saja mereka telan langsung menyatu dengan energi spiritual mereka begitu mereka menutup mata.
Senyum senang segera hadir di wajah mereka satu persatu.
Namun hanya sejenak, setelah ramuan itu terserap sepenuhnya dan juga mulai menyerap ke seluruh tubuh mereka, kening mereka satu persatu mulai berkerut.
Rasa sakit perlahan terasa di dalam kepala mereka, lalu menjalar secara perlahan ke seluruh tubuh mereka, hingga beberapa saat kemudian, saraf hingga kulit mereka terasa mulai terasa perih seolah terbakar.
Jude adalah yang pertama kali membuka matanya, mengerang dan menopang tubuhnya ke lantai. Namun karena lantai yang licin, Jude jatuh dan membenturkan kepalanya ke lantai.
“Ugh” Jude mengerang keras dan memijat kepalanya dan merasakan cairan seperti minyak memenuhi tangannya.
Tidak! Bukan hanya tangannya, namun juga seluruh tubuhnya.
Jude membelalak dan bangun dengan susah payang, bersamaan dengan erangan dari yang lainnya, Jude mencium bau paling tidak sedap yang pernah di cium.
“Ugh, busuk. Bau apa ini.” Oslo menutup hidungnya namun menemukan bau itu berasal dari tangannya, dan alangkah terkejutnya dia begitu menemukan bahwa seluruh tangannya kini berwarna hitam, cairan kental berwarna hitam yang perlahan menetes di lantai.
Ke delapan pria itu membelalakkan mata dan saling menatap satu sama lain san menemukan bahwa mereka semua kini di penuhi dengan cairan hitam seperti tinta dengan bau yang sangat tidak sedap.
Tidak hanya itu, tak lama kemudian, mereka mulai merasakan bahwa perut mereka mulai terasa mulas.
Jadi malam itu, di sayap kanan istana, terjadi keributan di sekitar kamar delapan penjaga itu, tujuh pria berlari dengan sangat cepat ke kamar mereka masing-masing dengan susah payah karena cairan di tubuh mereka juga licin, mereka beberapa kali jatuh sebelum mencapai kamar masing-masing.
Bahkan dalam kondisi memalukan itu, rasa sakit di setiap tubuh mereka tidak lagi begitu terasa.
Tak jauh dari sana, di dalam kamar Azure, Ruby membuka mata dan melirik pada lilin yang apinya sedikit bergoyang di atas nakas, senyum tipis perlahan muncul di bibirnya sebelum dia kembali memejamkan mata.
Bersambung...