Tidak Perlu Memanggilku Yang Mulia

1008 Kata
Hari ulang tahun putra mahkota semakin dekat dan semakin intens pula pelatihan para Dark Guard. Setiap hari mereka akan melakukan pelatihan fisik sedangkan di malam hari, mereka masih harus tersiksa oleh efek obat yang Ruby berikan. Awalnya mereka berpikir bahwa kondisi ini hanya akan berlangsung selama beberapa hari, namun hingga hampir mencapai sepuluh hari, Ruby masih terus memberi mereka ramuan, mereka mulai bertanya-tanya sebenarnya untuk apa ramuan itu. "Apa kalian sama sekali tidak merasa ada perubahan?" Pada satu kesempatan, mereka memberanikan diri untuk bertanya, namun Ruby justru mengangkat alis dan kembali bertanya kepada mereka. Fern dan Skye saling memandang bingung, lalu beralih ke arah rekan yang lainnya dan menggeleng secara bersamaan. "Perubahan seperti apa?" Jude bertanya. Kerutan di dahi Ruby semakin dalam. "Itu aneh, seharusnya sejak hari kelima, kalian sudah merasakan perubahannya." "Ada apa?" Azure yang baru saja selesai berlatih pedang datang mendekati dan menyadari kerutan di dahi Ruby. Ruby menggeleng pelan dan menuangkan teh untuk Azure kemudian melambaikan tangan kepada delapan pria yang sedang berdiri tak jauh darinya. "Jude, kemari." Jude mendekat dan mengulurkan tangannya ketika Ruby memintanya. Begitu Ruby memeriksa nadi Jude, kerutan di dahinya segera terurai sedangkan senyum di bibirnya terlihat. "Kau yakin tidak merasakan perubahan apa-apa?" Dia mendongak dan bertanya kepada Jude. Kali ini, Jude adalah yang mengerutkan kening, berusaha dengan keras untuk merasakan sesuatu yang tidak biasa di dalam tubuhnya untuk memberikan Ruby jawaban namun pada akhirnya hanya bisa menggeleng pelan. Semua orang berpikir bahwa kali ini Ruby akan kembali memeriksa tubuh penjaga yang lainnya, namun siapa yang menyangka, Ruby justru berdiri dan meminta semua orang untuk mengikutinya ke teras. Ruby kemudian menoleh ke arah Jude yang sejak tadi berjalan paling dekat dengannya selain Azure. "Apa kau mendengar apa yang sedang mereka katakan?" Mengikuti arah telunjuk Ruby, Jude melihat dua gadis pelayan yang sedang bercakap di depan kolam teratai, memakai pakaian berwarna biru pucat khas pelayan kastil dengan rambut yang di sangggul dengan rapi di belakang kepala. Mereka saat ini berdiri di teras lantai dua di sayap kanan kastil, sedangkan dua pelayan itu berdiri di halaman belakang kastil yang jarak sekitar seratus meter. Normalnya, percakapan dua gadis itu tidak akan terdengar bahkan jika mereka berbicara dengan keras, bahkan wajah mereka seharusnya tidak terlihat dengan jelas. Tapi Jude dan yang lainnya bisa melihat dan mendengar dua pelayan itu seolah mereka hanya berjarak beberapa meter. Dari pada di katakan terkejut, pandangan delapan pria itu justru terlihat bodoh, dengan mata melebar dan mulut menganga. "Apa? Mereka bisa mendengarnya?" Azure malang yang tidak tau apa-apa hanya bisa bertanya kepada Ruby. Ruby mengangguk dan tersenyum. "Hum. Mereka hanya terlalu lamban dan tidak menyadarinya." Azure yang sudah terbiasa dengan segala hal tak biasa yang bisa Ruby lakukan telah belajar untuk tidak menunjukkan raut terkejutnya, namun masih tidak bisa menahan kekaguman di dalam hatinya. Hanya dalam waktu singkat, Ruby telah melatih delapan penjaga paling lemah di kastilnya menjadi penjaga yang luar biasa. Azure menyaksikan semua kemajuan pelatihan para penjaga gelap ini, jadi dia juga tahu bahwa delapan pria ini jelas telah naik dari level rendah ke level elit dengan kecepatan mengerikan. *** "Bagaimana kau melakukannya?" "Hum?" Ruby mendongak dari buku di pangkuannya dan bertemu pandang dengan iria kelam Azure. "Apakah ketajaman Indra mereka adalah hasil dari Energi Spiritual?" Azure bertanya lagi. Ruby yang akhirnya mengerti apa yang awalnya Azure tanyakan menggeleng dan mengembalikan perhatiannya ke buku. "Energi spiritual memang bisa memiliki efek seperti itu, namun dengan level mereka sekarang, masih butuh bertahun-tahun untuk menguasai teknik itu, jadi aku memberikan mereka ramuan." Dia membuka lembar lain. Di bawah cahaya matahari sore, keduanya di basuh dengan warna keemasan. Duduk dan melihat matahari tenggelam mulai menjadi salah satu kebiasaan keduanya setelah kembali dari istana, walaupun yang menikmatinya hanya Azure sedang Ruby selalu sibuk dengan buku-bukunya. Setelah mendapat jawaban dari pertanyaannya, Azure justru semakin penasaran. "Dengan kata lain, kemampuan mereka sekarang sama sekali tidak ada hubungannya dengan energi spiritual?" "Tidak sepenuhnya seperti itu, ramuan itu juga membantu mereka untuk memurnikan energi spiritual sehingga kemampuan untuk menajamkan semua Indra mereka jauh lebih cepat." Azure mengangguk mengerti. "Kurasa Boo dan Demien akan berada dalam masalah setelah kembali," candanya. Ruby tertawa pelan. "Lalu Yang Mulia akan berdiri di pihak yang mana?" "Apa aku harus berpihak?" Azure mengangkat alis. "Jika Demien kesal karena aku menjejalkan orang baru di sisimu semena-mena, tentu saja kau harus berpihak pada salah satu dari kami," jawab Ruby. Kali dia menutup bukunya dan kembali mempertemukan tatapannya dengan Azure. Di bawah tatapan iris merah mempesona itu, Azure secara tak sadar ingin menjawab bahwa dia akan berpihak di sisi Ruby, namun sebagai pangeran, Azure tahu jawaban itu sama sekali tidak bertanggung jawab. "Kalian bisa menyelesaikannya tanpa membutuhkan bantuanku." Ruby tertawa pelan, jelas dia tahu apa maksud perkataan Azure. "Aku pasti akan menang kalau begitu." Azure hanya mengendikkan bahu, lagi pula orang yang bisa mengalahkan tehnik bela diri Ruby belum di temukan, jadi jika memang Demien merasa keberatan, maka dia juga harus mempersiapkan diri untuk kalah. "Yang Mulia... "Azure." "Hum?" "Tidak ada orang lain di sekitar kita sekarang, tidak perlu memanggilku Yang Mulia." Azure mengalihkan tatapannya, menatap pada warna keemasan matahari senja yang hampir tenggelam. "Bagaimana bisa, kelakuanku sudah cukup tidak sopan, jangan mengajariku hal yang lebih tidak sopan lagi." Ruby merapikan rambutnya yang ditiup angin. "Hanya di hadapanku, aku tidak keberatan kau bertingkah tidak sopan." Azure kali ini menatap wajah Ruby dengan emosi yang campur aduk, bahkan Ruby tidak bisa mengerti apa yang pria itu pikirkan. Ruby terdiam sejenak, tidak tahu harus menolak dengan kata-kata apa. Namun semakin lama dia diam, tatapan Azure semakin intens hingga Ruby merasakan wajahnya memanas. "Baiklah." Ruby menelan ludah dan secara tak sadar meremas buku di tangannya. "A-azure... Azure langsung membuang muka. "Lihatlah, bukankah terdengar aneh?" Ruby yang melihat reaksi Azure menggigit bibir dengan malu. "Tidak aneh," kata Azure. Namun masih tidak menatap ke arah Ruby, sedangkan ujung telinganya yang tersembunyi di balik rambutnya memerah. Di menara kastil Putra Mahkota, mereka hanya duduk berdua di teras, menikmati indahnya matahari tenggelam di temani dengan buku, camilan, dan juga detak jantung mereka yang berdetak kencang. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN