Karena formasi sihir Ruby telah berhasil terpasang, Ruby akhirnya bisa dengan tenang meninggalkan Azure di dalam kamarnya sendirian, meski Azure sedikit cemas untuk meninggalkan Ruby sendirian bersama para penjaga yang tidak menghormatinya.
“Tenang saja, kau tahu aku bisa menjatuhkan mereka semua dengan mudah.” Ruby menepuk pundak Azure. “Jangan khawatir, kerjakan saja pekerjaanmu dan aku akan kembali secepatnya.”
Ruby sebenarnya sangat suka juga Azure bisa ikut dengannya ke sanggar bela diri, karena dia masih lebih percaya dengan dirinya sendiri di bandingkan dengan sebuah formasi. Namun dia juga tahu, bahwa pekerjaan Azure pasti akan terbengkalai jika dia harus membawa Azure setiap kali dia memiliki kegiatan yang tak tertunda.
Melihat raut wajah enggan Azure, Ruby tersenyum menenangkan dan menyodorkan sebotol ramuan pada pria itu. “Saat pekerjaanmu selesai dan kesehatanmu membaik, kita bisa berlatih bersama.”
Azure menerima ramuan itu, melirik pada tumpukan kertas di atas mejanya sebelum akhirnya menghela napas. Sepertinya dia memang harus tetap di dalam ruangan, atau tumpukan itu akan semakin tinggi.
Azure akhirya berkata. “Baiklah, jika mereka tidak mendengarkanmu, jangan memaksakan diri, tendang saja keluar. Aku tidak membutuhkan penjaga yang keras kepala.”
Ruby mengangguk mengerti, meraih penutup matanya di meja kemudian beranjak meninggalkan ruangan.
Ketika Ruby tiba di sanggar seni, tiga puluh peserta Dark Guard telah menunggunya di tengah sanggar. Beberapa duduk sedangkan yang lainnya berbaring dengan bosan.
Mereka tidak menyadari keberadaan Ruby hingga Ruby membuka pintu sanggar.
Ruby menyapa. “Selamat siang, senang melihat kalian semua hari tepat waktu.”
Para penjaga itu berdiri tegap dan berbaris dengan rapi. Namun begitu melihat bahwa Ruby cuma datang sendirian, beberapa di antara mereka langsung keluar dari barisan dan duduk kembali dengan santai.
“Selama siang Nona Ruby.” barisan yang di pimpin oleh pria paling tinggi di antara mereka menyambut Ruby dengan antusias. Di antaranya, remaja bernama Jude berdiri pada barisan paling belakang.
Hari ini, Ruby sama sekali tidak mengeluarkan keramahan di sertai senyuman seperti dua hari yang lalu, namun beberapa prajurit tidak terlalu menganggap serius keseriusannya dan masih tersenyum main-main.
“Hari ini adalah hari kedua seleksi, peraturannya tidak akan banyak berubah.” Ruby berjalan ke hadapan mereka dan mulai menunjuk mereka satu persatu secara berpasangan. “Bertarung.”
“lagi?” Beberapa yang tidak terlalu menghormati Ruby mengerutkan kening tak senang. Bagi mereka, mereka bertahan hanya karena mereka ingin mendapatkan kesempatan untuk naik jabatan, bukan berarti mereka rela untuk di latih oleh seorang tabib.
Seorang tabib melatih penjaga? Yang benar saja, lalu apakah nanti mereka hanya akan melakukan pekerjaan untuk memetik ramuan?
Bahkan jika Ruby telah mengalahkan mereka satu persatu, Ruby masih tetap seorang tabib yang tidak banyak melakukan kontak langsung dengan pertarungan. Jadi potensinya jauh lebih kecil dari mereka yang seorang penjaga.
Jadi mereka semua berpendapat bahwa selama mereka bisa lolos seleksi dan menjadi pengawal pribadi Yang Mulia Putra Mahkota kemudian berlatih di bawah pimpinan Boo dan Demien, mereka pasti bisa lebih kuat.
Ruby mengabaikan mereka yang bertanya. “lakukan saja, jangan terlalu banyak omong kosong.” Ruby berbalik dan duduk di atas kursi. “Bertarung!” perintahnya dengan dingin.
Dengan dengusan tak puas, penjaga itu akhirnya mulai bertarung satu lawan satu hingga mereka semua kelelahan.
Dua jam kemudian, Ruby menghentikan pertarungan dan menghampiri mereka, lalu mengarahkan telunjuknya ke arah sembilan orang peserta. “Kalian boleh keluar dan tidak perlu berpartisipasi dalam seleksi lagi.”
Mereka yang Ruby eliminasi terkejut seketika, pasalnya di antara mereka, tak satu pun dari mereka yang kalah dalam pertarungan hari ini.
“Apa maksudmu? Jika kau ingin menjadikan bertarung tidak serius sebagai alasan, maka jangan berbohong, hari ini aku benar-benar betarung sekuat tenaga. Jika tidak, bagaimana bisa lawanku tidak bisa berkutik sama sekali.” Pria yang menyerukan ketidaksetujuan melirik pada Jude yang hampir seluruh wajahnya penuh dengan luka lebam,
“Aku tahu, alasanku mengeluarkan kalian bukan karena alasan itu.”
“lalu?”
Ruby menyelipkan anak rambutnya ketelinga dan menjawab enteng. “Aku tidak suka kalian. Itu saja.”
“...”
Sembilan pria yang baru saja tereliminasi sangat marah. “Aku seharusnya tau, tidak ada yang bisa di harapkan dari wanita sepertimu, cihh. Aku hanya menyia-nyiakan waktuku di sini.”
Ruby hanya tersenyum sebagai tanggapan, seolah sama sekali tidak mendengar kata hinaan di dalam kata-kata pria itu.
Pria yang pertama kali mempertanyakan perintah Ruby melihat mereka semua yang di eliminasi dan menyimpulakan sesutu lalu menatap Ruby dengan tatapan merendahkan. “Kau tidak menyukai kami karena kami adalah orang-orang yang mempertanyakan perintahmu sebelumnya?”
Ruby mengangguk dengan jujur. “Aku tidak butuh orang pembangkang, terlebih pembangkang yang tidak punya otak.”
“Kau!...
Salah seorang pria tidak bisa menahan amarahnya dan berniat untuk menyerang Ruby namun beberapa temannya menghentikannya.
“Ayo kita pergi.” Pria itu menatap Ruby dari atas ke bawah. “Mari kita lihat sejauh mana kau bisa berjalan di dalam kastil ini.”
Ruby menggosok telinganya dan mengabaikan mereka.
“Oke pelatihan hari ini selesai, besok kita akan bertemu lagi di sini.”
Dua puluh satu pria yang tersisa saling memandang, lalu menatap luka-luka di tubuh mereka sambil meringis. Jika besok harus bertarung lagi, maka luka-luka ini akan menjadi rintangan dalam setiap gerakan mereka.
Ruby tahu isi hati mereka, namun bersikap tak peduli dan keluar dari ruangan di bawah tatapan para penjaga itu.
“Apa kau akan melanjutkan pelatihan ini?” salah satu dari mereka bertanya.
Tak lama kemudian seseorang menjawab dengan lemah.”Aku tidak tahu, jujur saja, dengan sema gosip yang beredar, aku mulai kehilangan minat.”
“Benar.”
“Aku juga berpikir seperti itu.”
Ruby yang belum melangkah terlalu jauh tersenyum dalam diam.
Tabib Yoga duduk di hadapan Susan dengan wajah frustasi, kantung mata tebal menggantung di bawah matanya sedangkan seluruh wajah tuanya menggambarkan bahwa dia sedang sangat-sangat tidak sabar.
Susan melirik semua tindakan Tabib tua itu dengan pandangan tenang. Mengangkat cangkirnya, meniup beberapa daun teh di permukaan sebelum meminumnya.
“Apakah kau pernah bertemu Nona Ruby beberapa hari ini?” Tabib Yoga bertanya.
“Tidak,” jawab Susan.
Tabib Yoga mengerang dan memeluk kepalanya kepalanya di meja. “Aku hampir gila menunggunya, dia mengatakan akan meneliti bersamaku namun dia tidak pernah menemuiku sekali pun sejak kita tiba di kastil Putra Mahkota.”
Susan meraih kue kering di atas meja dan mengunyahnya tanpa menyisakan remahan.
Setelah beberapa saat meratap, tiba-tiba bohlam kecil muncul di atas kepala Tabib Yoga, dia memajukan wajahnya dan berbisik. “Apa menurutmu, aku harus mengajukan pertanyaan langsung kepada Yang Mulia Putra Mahkota?”
Mendengar pangeran terfavoritnya di sebut, Susan yang sejak tadi acuh tak acuh mendongak. “Yang Mulia Putra Mahkota butuh istirahat yang banyak, jangan mengganggunya dengan hal-hal sepele,” hardiknya.
“Bagaimana kau bisa mengatakan ini hal sepele? Ini juga menyangkut bagaimana cara menyembuhkan Yang Mulia. Aku tidak tidur selama berhari-hari karena terus memikirkannya.”
Susan memutar mata bosan. “Bilang saja itu akibat keserakahanmu akan pengetahuan yang Nona Ruby miliki.”
Tabib Yoga tercekat. Untuk menyembunyikannya, dia meminum teh yang telah dingin di hadapannya. Di saat yang bersamaan, dia melihat seseorang menghampiri mereka, dengan hanya siluetnya, tabib Yoga tau siapa itu.
Gadis yang dia tunggu-tunggu selama berhari-hari akhirnya datang.
Wajah Tabib Yoga cerah seketika. “Nona Ruby!”
Bersambung...