Malam itu, Ruby tiba-tiba terbangun di tengah malam. Terbangun tiba-tiba sebenarnya bukan hal yang baru bagi Ruby, terlebih ketika di malam sebelumnya Boo terus berlatih di halaman belakang dan berhasil membangunkannya. Namun kasus kali ini sedikit berbeda. Ruby terbangun karena adanya bisikan-bisikan yang terdengar dari belakang penginapan.
Bisikan itu jelas bukan hanya dari satu atau dua orang. Karena Ruby bisa mendengar banyak suara yang saling bersahutan.
Ruby bangkit dengan pelan, menggenggam Runa yang tidak pernah meninggalkan sisinya dan bergerak hati-hati ke arah jendela.
Seperti pendengaran Ruby, memang terdapat lebih dari sepuluh orang yang sedang berdiri di halaman belakang penginapan. Membentuk bayang-bayang hitam bergerak, berkumpul dan membahas sesuatu.
Ruby masih mengenakan penutup matanya bahkan jika dia tidur. Karenanya, dia sama sekali tidak melihat apa yang sedang di lakukan sekelompok orang itu, yang dia dengar hanyalah suara bisikan yang semakin intens hingga hampir seperti perkelahian kecil.
"Bakar saja, aku telah membubuhkan obat tidur di makanan mereka sore tadi, mereka tidak akan mudah untuk bangun." Salah satu dari mereka mengusulkan.
"Kau yakin? Bagaimana jika mereka terbangun karena hawa panas. Bukankah lebih baik jika kita langsung menyebar dan membunuh mereka satu persatu." Seseorang menentang.
"Itu bahkan lebih berbahaya!"
"Tapi lebih efisien untuk memastikan mereka semua mati tanpa satu pun yang lolos."
"Kenapa kalian malah bertengkar? Tidak perlu terlalu banyak diskusi. Lakukan saja keduanya." Dan akhirnya seseorang melerai. "Bakar seluruh penginapan lalu kita menyebar untuk membunuh mereka yang berlari keluar."
"Setuju. Ayo bergerak sebelum malam semakin larut dan efek obat tidurnya melemah."
"Baiklah, kalian berlima tetap di sini dan nyalakan apinya sebesar mungkin." Seorang pria memberi perintah.
"Baik!" Lima orang dengan busur dan panah menyahut bersamaan.
"Oke, menyebar!" Saat itu juga, segerombolan pria itu menyebar ke segala arah. Sedangkan lima orang yang tersisa menyalakan api pada satu persatu anak panah mereka.
Ruby mendengus dan melompat keluar dari jendela. Mendarat tepat di hadapan seorang pria yang telah bersiap untuk melontarkan panah api ke penginapan.
"Siapa?!...Uughh." Pria itu hanya mendengar suara tebasan dan rasa sakit menyerang lehernya. Dia tercekat dan menjatuhkan panah yang dia genggam untuk menutup luka menganga di lehernya yang mulai membuncahkan darah segar.
Ruby tidak hanya menetap di sana dan mulai menyerang empat pria lain yang kini menyadari keberadaannya.
Di antara kegelapan malam, Runa bersinar terpantul nyala api yang masih menyala di atas anak panah yang satu persatu jatuh ke tanah dan berdesis.
Darah menetas membasahi rumput seperti hujan merah, mengental dan mengalir ke tempatnya yang lebih rendah dan mengering.
Ruby mengibaskan darah di pedangnya di antara lima mayat yang tergeletak tidak jauh dari kakinya. Dia memperhatikan daerah sekitar untuk memastikan tidak ada orang lain di sana sebelum melompat ke atas sebuah pohon tinggi di sekitar penginapan. Berpindah dari dahan ke dahan yang lainnya hingga dia mencapai dahan yang berada tepat di sisi jendela kamar Azure.
Tok... Tok.. Tok
Ruby mengetuk tiga kali dan menunggu. Namun hingga beberapa waktu kemudian tidak ada pergerakan apa pun di kamar itu.
Ruby mengernyit dan menajamkan pendengarannya lalu membaui udara dan masih mencium bau Azure di dalam ruangan.
"Obat tidur?" gumamnya pelan.
Ruby dan Azure memang makan bersama siang tadi namun saat makan malam, Ruby menolak ajakan pria itu dan memilih untuk tidur karena merasa sedikit lelah.
Setelah berlatih dengan Boo, beberapa prajurit mulai datang dan meminta berlatih dengannya hingga dalam sehari, Ruby melawan hampir 20 orang.
Ruby bukanlah immortal tanpa rasa lelah. Begitu malam menjelang, dia rebah di tempat tidur dan tidak bangun hingga kini.
Ruby mengetuk lagi namun masih tidak ada jawaban. Karena tidak sabar, dia akhirnya langsung melompat dan membuka jendela dengan kasar. Namun, begitu dia masuk, yang menyambutnya adalah tebasan pedang.
Ruby melompat untuk menghindar dan langsung ke arah tempat tidur. Namun, tidak menemukan Azure di sana.
"Azure?!"
"Ruby?"
Serangan yang Ruby terima langsung terhenti dan seseorang bergerak mendekatinya. Ruby tahu itu Azure dengan langkah kakinya.
"Kau sendirian?" Ruby menoleh dan menemukan hanya ada Azure di ruangan itu.
"Boo dan Demien mengejar penyusup." Azure menjawab dan menyarungkan pedangnya.
Ruby menganggukkan kepala. "Syukurlah jika kau juga menyadarinya." Dia duduk di atas tempat tidur dan menyilangkan kaki.
Azure menoleh ke arah jendela dan melihat beberapa siluet hitam berlarian di kegelapan. "Alasanku untuk tetap di desa ini hingga beberapa hari memang untuk menemukan musuh tersembunyi ini."
Ruby mengangkat alis. "Kau sedang memancing musuh untuk menyerang lebih dulu?"
Azure mengangguk. "Kami tidak tahu berapa banyak rakyat Kerajaan Selatan yang berbaur di desa ini dan memulai rumor, jadi kami hanya bisa memancing mereka untuk keluar sendiri." Dia meletakkan pedangnya di atas meja dan duduk di hadapan Ruby.
Tak lama kemudian, suara keributan datang dari luar penginapan dan suara-suara pertarungan terdengar semakin mendekat.
Braakk
Ruby dan Azure melompat mundur dan pintu yang memang telah rapuh itu terpental merobohkan tempat tidur milik Azure.
Sosok pria bertubuh mungil berpakaian serba hitam masuk di ikuti oleh Demien dan Boo.
"Yang Mulia! Maafkan kami atas gangguan ini."
"b*****h ini sangat lincah." Boo mengumpat dan menyerang.
"Ruby, lindungi Yang Mulia!" Demien berseru dan ikut dalam pertempuran.
Ruby menganggukkan kepala dan melambaikan tangannya, delapan pisau hunter terbang keluar dan mengelilingi Azure sedangkan Ruby sendiri maju dan berdiri tepat di hadapan pria itu.
Azure yang terlindungi dengan aman di tengah dua perlindungan berlapis itu tersenyum lucu dan menatap puncak kepala gadis yang lebih pendek darinya itu dengan lembut.
Meski musuh yang Demien dan Boo hadapi sangat lincah dalam menghindari serangan, namun keahlian serangannya berada di bawah rata-rata. Karenanya tidak butuh waktu lama bagi Demien dan Boo untuk membekukannya.
Boo berdecih kesal dan menarik masker yang menyembunyikan wajah pria itu untuk melihat wajahnya.
Dia adalah seorang pria paruh baya dengan wajah dekil dan kotor. Sama sekali tidak memili ciri khas yang bisa membuatnya di ingat hanya dengan sekali bertemu. Benar-benar tipe pria desa yang tidak banyak menarik perhatian.
Namun mata jeli Demien berhasil mengenalinya. "Yang Mulia, dia adalah pria yang menyebarkan rumor tentang mayat pemburu tanpa kepala di pinggir sungai."
"Bagaimana dengan yang lain?" Azure bergeser dari balik punggung Ruby begitu pisau Hunter yang mengelilinginya kembali ke pinggang Ruby.
"Jumlah mereka 50 orang namun hingga kini yang kami tangkap hanya 45 orang. Lima orang lainnya...
"Tuan Demien, lima orang lainnya ada di halaman belakang." Seorang prajurit masuk, namun begitu melihat Azure dia segera membungkuk.
"Oh lima orang itu, aku menanganinya." Ruby menggaruk pipinya. "Tapi kurasa jiwanya telah mengelana entah hingga ke mana." Dia tersenyum sama sekali merasa tidak bersalah. "Aku tidak tahu kalian akan menangkap mereka hidup-hidup."
"Bukan masalah, 45 orang tahanan sudah cukup menjadi bukti kejahatan Kerajaan Selatan." Azure menatap mata pria paruh baya yang menatap tajam padanya. "Dengan begini, beberapa orang yang menentang kedudukanku akan diam untuk beberapa waktu."
Bersambung...