Keesokan harinya, di saat cahaya matahari masih berupa cahaya remang, rombongan berkuda membentuk barisan panjang dan keluar dari desa secara diam-diam.
45 pria dari Kerajaan Selatan terkurung di dalam sebuah kereta berteralis besi, saling berdempetan dan saling bertubrukan jika kereta tersandung batu.
Ruby sendiri, sebagai tamu pangeran Azure, diperkenankan untuk duduk di dalam kereta kuda bersama Azure. Kereta itu sendiri telah di buat sedemikian mewah sehingga bahkan memilik karpet bulu tebal dan lembut di dalamnya.
Tidak seperti perkiraan Jendral Qhali, perjalanan mereka selama beberapa hari sangat lancar. Tidak ada serangan dari mana pun dan tidak ada kesulitan apa pun.
Satu-satunya yang menjadi kendala adalah kondisi tubuh Azure yang sedikit bermasalah ketika mereka melewati jalur laut.
Selama lebih dari tujuh hari pelayaran mereka tak terhitung berapa kali Azure memuntahkan makanannya dan bisa terhitung jari berapa kali dia bisa bangun dari tempat tidur.
Dan di sinilah peran Ruby yang harus menjadi tabib pribadi dadakan, menjaga Azure siang malam dan membantunya minum obat.
Di antara seratus prajurit yang ikut bersama mereka, tidak ada satu pun yang mengerti ilmu pengobatan. Dan hanya karena Boo juga Demien pernah melihatnya memberikan ramuan pada Azure ditambah jarum akupunktur yang pernah dia pakai bertarung, keduanya kemudian berpikir bahwa Ruby bisa menjadi tabib untuk sementara.
"Bagaimana bisa kalian tidak memiliki seorang tabib pun di saat kalian tahu pangeran kalian memiliki kondisi tubuh seperti ini?" Ruby memukul meja di hadapan puluhan pria yang sedang duduk dengan cemas di dek kapal.
"Kami membawa seorang tabib ketika menuju desa pinggiran Dark Forest namun ketika bandit menyerang, tabib itu terlalu ketakutan dan berlari tak tentu arah dan terbunuh." Demien bersedekap dan mencoba membela diri.
"Bagaimana dengan yang baru? Kau tidak mencari tabib baru?!" Ruby menoleh ke arah Demien dan siapa pun di ruangan itu bisa merasakan tatapan tajam gadis itu meski matanya tak terlihat.
"Itu, kami tidak bisa begitu saja mempercayai orang asing." Boo menggaruk pelipisnya kikuk.
"Itu benar, kalian tahu bahwa tidak boleh mempercayai sembarangan orang, lalu bagaimana bisa kau hanya memiliki satu tabib?" Ruby memiringkan kepala, tak habis pikir bagaimana Azure memiliki ratusan pengawal yang tidak berguna sama sekali. "Apa kalian terlalu percaya diri bisa melindungi pangeran kalian sehingga tidak memiliki kekhawatiran sama sekali?"
Mereka semua diam, tidak ada yang bisa menyahut untuk peralat perkataan Ruby, karena mereka sendiri pun menyadari bahwa mereka memang sedikit lalai dalam hal ini.
Ruby mendengus keras dan mengalihkan perhatiannya ke sudut ruangan."Hey, kalian semua seorang gadis. Pernahkah kau menangani orang mabuk laut?" Dia menunjuk pada sekelompok wanita di pojok ruangan yang sedang berdiskusi.
Terdapat beberapa wanita di dalam kelompok mereka dan semua wanita itu berumur dia atas tiga puluh tahun dengan otot tebal dan tubuh kekar.
Setelah saling memandang untuk beberapa saat, pada akhirnya semua wanita itu menggeleng. "Tidak, seumur hidup kami, kami hanya belajar cara untuk bertarung dan membunuh."
Ruby memijat kepalanya. "Kalian semua tidak berguna, bagaimana bisa Azure hidup dengan aman hingga kini?"
Telinga Demien menjadi panas mendengarnya, dia berdiri dan menggebrak meja dengan kesal. "Jika kau berpikir kami tidak berguna, lalu mengapa kau tidak melakukan apa pun yang berguna untuk membantu pangeran Azure?"
Boo diam-diam menarik ujung pakaian Demien dan berbisik memintanya untuk duduk.
"Apa? Apakah aku salah?" Namun Demien justru berbalik menyemburkan amarah ke arah Boo yang langsung menyusut. "Dia bisa menggunakan jarum akupuntur dan bisa membuat ramuan, namun yang dia lakukan di sini hanya mengomel setiap hari."
Ruby ikut naik pitam mendengarnya dan berdiri menendang meja di hadapan Demien. "Apa kau pikir pangeranmu bisa bangun dan berjalan ke toilet bukan sebuah kemajuan yang aku lakukan? Hah!" Dia maju, menopang tangannya ke meja dan mencondongkan tubuhnya ke arah Demien yang jauh lebih tinggi darinya. "Aku belajar menggunakan akupuntur untuk membunuh dan membuat ramuan yang beracun. Apa kau ingin aku memberikan semua itu pada pangeranmu?!"
"KAU BERANI!?" Demein berada di ambang batas kesabarannya sedangkan Ruby tidak memilki sedikit pun niat untuk mundur.
"Ah! Jangan bertengkar... Jangan bertengkar." Boo lompat naik ke atas meja dan berjongkok di antara dua orang yang hampir mencabut pedangnya. "Demien tenanglah huh? Dan... " Boo menelan ludah lalu berbalik ke arah Ruby, menatap takut-takut pada kain putih yang melingkar di mata gadis itu yang seolah sewaktu-waktu akan mengeluarkan laser. "No-nona, bukankah kau bisa membuat ramuan untuk menambah energi Pangeran Azure untuk sementara?"
Ruby mendengus. "Memangnya kau pikir selama beberapa hari ini ramuan seperti apa yang aku berikan pada pangeranmu? racun?" ujarnya sarkastik lalu berbalik meninggalkan tempat itu setelah menendang kursi yang tadinya dia gunakan untuk duduk hingga membentur dinding.
Hufftt...
Ratusan prajurit yang berpakaian layaknya rakyat biasa itu menghembuskan nafas lega begitu Ruby meninggalkan mereka.
Momentum Ruby yang sedang marah bahkan bisa di bandingkan dengan kemarahan jendral mereka.
"Nona? Sejak kapan kau memanggil gadis buta itu nona!" Demien mendorong kepala Boo yang masih berjongkok di hadapannya.
"Sstt, jangan mengatainya buta di saat dia bisa mengalahkan kita semua." Boo mengelus dahinya yang dan melompat turun dari meja. "Kau harusnya sedikit lebih baik padanya, dia adalah satu-satunya yang bisa merawat Pangeran Azure sekarang."
Demien mendengus dan berbalik ke arah gelapnya lautan yang luas.
Sementara itu, Ruby yang baru saja masuk ke kabin tempat Azure beristirahat langsung membuka ikatan penutup matanya setelah pintu terkunci. "Sulit di percaya kau masih bisa hidup hingga hari ini dengan kemampuan para pengawalmu itu." Ruby menggerutu dan menghampiri Azure yang bersandar lemas di kepala ranjang.
Wajah pria itu sangat pucat, rambut sebahunya terikat di belakang lehernya sedangkan beberapa lebar masih membingkai wajah tampannya.
Azure tersenyum lemah, hanya dengan melihat raut wajah Ruby, dia tau bahwa gadis itu baru saja ribut lagi dengan Demien. "Mereka mungkin kurang dalam kemampuan, namun mereka setia."
Ruby mencibir dan menghampiri sisi ranjang Azure. "Apa gunanya Setia jika mereka tidak bisa menjagamu dengan benar." Dia meraih pergelangan tangan Azure untuk memeriksa nadi pria itu.
Ruby adalah seorang pelajar yang hebat. Karena kondisi tubuh Azure yang tiba-tiba melemah, dia mau tak mau harus mulai belajar sedikit ilmu pengobatan dengan membaca beberapa buku yang secara khusus Boo bawa setia saat untuk keadaan darurat.
Dan hanya dalam beberapa hari itu pula, Ruby berhasil menguasai banyak hal, mulai dari beberapa obat dan bahkan bagaimana cara mengetahui kondisi seseorang dengan memeriksa nadinya.
Sayang sekali untuk teknik akupuntur, Ruby sama sekali tidak memiliki buku untuk di pelajari.
"Kondisimu sedikit lebih baik, mau makan sesuatu?" Ruby melepas genggamannya pada pergelangan tangan Azure dan meletakkannya kembali ke bawah selimut.
"Jika aku berkata tidak memiliki nafsu makan, apa kau akan marah?" Azure berniat mencairkan suasana hati Ruby yang sedikit kusut namun mendapati gadis itu justru menyipitkan mata ke arahnya. "Ada apa?"
"Jika kau berani berkata seperti itu, aku akan melemparmu ke laut." Ruby berdiri dan bergerak menuju panci kecil yang masih mengepulkan uap panas di sudut ruangan. Meraih mangkok di atas meja dan mengisinya dengan bubur.
Azure tertawa pelan "Kau adalah orang pertama yang berkata seperti itu padaku."
"Tentu saja, karena jika ada orang kedua, Demien itu pasti akan memenggalnya." Ruby mendengus dan kembali ke sisi Azure lalu menyerahkan mangkuk di tangannya.
Azure mengangguk membenarkan dan menunduk untuk makan bubur. Namun begitu bubur itu menyentuh lidahnya, dia langsung terbatuk-batuk. "Uhuk... Berapa banyak garam yang kau masukkan ke dalam buburnya?"
Ruby menggaruk keningnya sembari berpikir. "Aku tidak ingat." Dia bersedekap. "Makan saja, jangan terlalu banyak pilih-pilih."
"Kau tidak menuangkan air laut ke dalam mangkokku kan?"
"Tentu saja tidak, apa kau pikir aku bodoh?" Ruby menendang kaki ranjang kesal sedangkan lehernya mulai di jalari rona merah. "Ini pertama kalinya aku memasak bubur." Dia membelakangi Azure, dia saat pria itu tertawa diam-diam di balik punggungnya.
Bersambung...