Setelah kejadian di hari itu, Ruby mendapatkan semakin banyak lirikan tajam dari para prajurit, bahkan Demien kini tidak lagi menyembunyikan ke tidak sukaannya dan mendengus keras begitu Ruby ada di sekitarnya.
Satu-satunya yang masih memperlakukannya dengan sedikit lebih baik adalah Boo. Setidaknya meski enggan, remaja itu masih datang untuk membawakan beberapa camilan untuknya di siang hari.
Mereka menginap untuk beberapa hari di desa karena harus mempersiapkan beberapa hal dalam perjalanan panjang mereka.
"Namamu adalah Boo."
"Ya, ada apa?"
Siang itu, sehari sebelum hari keberangkatan mereka, Boo membawakan kue kering yang dia buat ke kamar Ruby.
Ruby sedang berdiri di depan jendela yang terbuka lebar, menampakkan pepohonan lebat Dark Forest. "Sejak kapan kau mulai belajar bela diri?" tanyanya.
"Sejak berumur 10 tahun." Boo menahan langkahnya yang hampir beranjak setelah meletakkan kue di meja.
"Berapa umurmu sekarang?" Ruby berbalik dan bersandar pada kusen jendela.
"17 tahun," jawab Boo.
"Sangat muda." Ruby memiringkan kepala.
"Jangan mengatakan aku masih terlalu muda. Di kerajaan, pria seusiaku telah memiliki istri dan anak." Hal yang paling Boo benci adalah ketika seseorang mengatakan dia masih muda dan memperlakukannya seperti anak-anak.
"Oh, apakah kau sudah menikah?" Ruby sedikit terkejut.
"Tidak, aku adalah Pengawal Pangeran Mahkota, menikah hanya akan membuat pikirkanku yang seharusnya murni untuk melindungi Yang Mulia Azure terbagi." Boo berkata dengan keyakinan penuh.
Ruby tersenyum tipis. "Aku suka kegigihanmu." Dia mengunyah kue kering di tangannya. "Yang berlatih di tengah malam di halaman belakang kau bukan?"
Boo tercengang, tidak menyangka bahwa seseorang menyadari latihan malamnya. Akhir-akhir ini, Boo memang sedikit kurang percaya diri dengan kemampuannya, terlebih setelah di kalahkan dengan telak oleh Ruby di hutan waktu itu. Karena itulah dia mulai bangun di tengah malam, di saat semua orang menjelajah di dunia mimpi untuk mengasah kemampuan bertarungnya.
"Mau berlatih denganku?" Ruby melambaikan tangannya ke arah Runa dan pedang itu langsung melesat ke dalam genggamannya.
Boo mundur selangkah dan menelan ludah. "Keterampilan kita tidak sebanding, aku hanya akan di pukuli jika berlatih denganmu."
Ruby tertawa pelan, mendetingkan suara lembutnya hingga ke telinga Boo. "Aku hanya sedang bosan dan mencari sesuatu yang bisa di lakukan, jika kau membutuhkan seseorang untuk menunjukkan di mana letak kesalahan dan kelemahanmu dalam bertarung, aku bisa melakukannya."
"Benarkah?" Mata Boo tiba-tiba berbinar terang. Sejujurnya, dia mengagumi teknik bela diri Ruby, dan beberapa kali berpikir untuk meminta gadis itu mengajarinya beberapa hal namun tidak berani mengatakannya. Siapa sangka, gadis itu akan tiba-tiba menawarkan diri.
"Ya, sebagai ucapan terima kasih karena telah membuatkan kue yang sangat enak."
"Terima kasih." Boo membungkuk beberapa kali.
"Aku menunggumu di pinggir sungai." Ruby kemudian menekan tangannya di kusen jendela dan melompat turun.
"Baik!" Boo langsung berlari menyusul dan melompat dari jendela.
Setibanya mereka di pinggir sungai, Ruby menyadari Boo yang berlari di belakangnya di ikuti puluhan prajurit lain.
"Maafkan aku Ruby, setelah mendengar bahwa aku akan berlatih denganmu, mereka mulai antusias dan ingin menonton." Boo berbisik.
"Tidak apa-apa." Ruby menarik pedangnya dan meletakkannya di sebuah batu besar. Di tangannya hanya ada sarung pedang yang terbuat dari kayu. "Cabut pedangmu."
"Kau hanya akan menggunakan itu?" Boo menarik pedangnya dan kebingungan apakah harus memakai pedang atau sarung pedang seperti Ruby.
"Pakai pedangmu, dan lakukan yang terbaik untuk menyerangku." Setelah berkata seperti itu, tanpa basa basi lagi, Ruby maju dan menyerang.
Suara pedang berdenting serta sorak-sorai prajurit lain yang menyemangati Boo menarik perhatian prajurit lainnya.
"Perhatian pergerakan musuhmu." Ruby memukul lengan Boo. "Jangan perhatikan di mana pedangnya, perhatikan dia mana penggunanya mengarahkannya."
"Ahh!" Boo mundur dan mengelus kepalanya yang barus saja di ketuk sarung pedang.
"Maju," Perintah Ruby dengan sarung pedang teracung ke depan.
"Hyaaahhh!" Boo maju lagi, berkonsentrasi lebih keras dan berhasil menangkis beberapa pukulan Ruby.
"Jangan bangga hanya karena berhasil mengelak dari satu pukulan karena pukulan lainnya mungkin saja mengenai titik vital." Bersamaan dengan perkataannya, Ruby memukul d**a Boo dengan ujung sarung pedangnya. "Jika aku memegang pedang sungguhan, kau sudah mati."
Sorak-sorai tidak lagi terdengar, hanya ada suara rerumputan yang terinjak, suara ringisan Boo dan suara pukulan.
"Jika tidak bisa melihat mata musuhmu, maka perhatikan pergerakan kakinya, perkirakan semua gerakannya dan cari celah di mana kau bisa menyerang." Ruby lagi-lagi memukul tangan Boo. "Jangan menunduk! Aku menyuruhmu memperhatikan gerakan kaki, bukan memandanginya sepanjang waktu!"
"Aghh!" Kaki Boo terkena tendangan kaki Ruby.
"Menjadi seorang petarung, kau harus belajar membagi perhatianmu. Tangan, kaki, dan mata musuhmu, kau harus bisa memperhatikan semuanya di saat bersamaan kau memperkirakan di mana dia akan menyerang." Ruby tersenyum tipis begitu pelipisnya hampir tergores. "Seperti itu, cari di mana titik lemah lawanmu."
Boo berteriak dan maju menyerang lagi.
Di sisi lain, Azure yang baru saja bangun dari tidur siangnya, segera bersiap-siap dan menghampiri kamar Ruby untuk mengajaknya makan siang. Namun yang dia dapatkan hanya kamar kosong melompong.
Di mengernyit dan menoleh pada Demien. "Kau tahu di mana dia?"
Demien menggeleng. Sepanjang hari dia memang hanya mengawasi Azure dan terlalu malas untuk membagi perhatiannya pada gadis penyihir itu.
Dengan helaan nafas pelan, Azure keluar dari penginapan dan berniat untuk makan sendiri saja, dia hanya perlu membawa makanan untuk Ruby nantinya. Namun begitu pintu terbuka, keduanya melihat beberapa prajurit yang berlari cepat melintasi mereka.
"Ada apa?" Demien menangkap lengan salah satu prajurit itu dan bertanya.
"Yang Mulia." Prajurit itu membungkuk hormat. "Boo dan Ruby sedang bertarung di pinggir sungai," jawabnya.
Azure dan Demien saling memandang terkejut lalu berlari lebih cepat dari prajurit sebelumnya.
Setibanya mereka di pinggir sungai, hampir semua ke seratus prajurit yang mengikuti mereka ada di sana. Membuat lingkaran besar dan berdiri diam tanpa suara sama sekali.
Setelah melihat kehadiran Azure, mereka semua segera membungkuk hormat dan memperlihat dua orang di dalam lingkaran.
Ruby masih berdiri dengan nafas yang stabil, namun setetes keringat terlihat membasahi dahinya sedangkan Boo berbaring terlentang di hadapannya tanpa gerakan.
Jika bukan dadanya yang masih naik turun, Demien akan berpikir bahwa rekannya itu telah mengucapkan selamat tinggal pada dunia.
"Apa masalah kalian? Mengapa bertarung?" Demien maju untuk melihat kondisi Boo, dan cukup terkejut dengan luka lebam keunguan yang menghiasi seluruh kulit remaja itu yang terlihat, bahkan dahinya sedikit menampakkan goresan.
"Bertarung? Kami tidak bertarung. Hanya berlatih." Ruby menghapus keringat di dahi dengan punggung tangannya.
Azure adalah satu-satunya yang menemukan adanya luka lebam kecil yang terlihat begitu jelas di kulit s**u gadis itu.
"Benar. Demien, kau tidak akan percaya. Aku berhasil menahan lima serangan Ruby bahkan berhasil memukulnya dengan kepala pedangku." Boo bangkit dengan antusias hingga hampir melompat.
"Kau begitu senang hanya karena memukulnya sedikit dengan kepala pedang?"
"Tentu saja, saat bertarung dengan Ruby sebelumnya, apakah kau bahkan bisa menyentuh ujung rambutnya?"
Demien diam. Itu benar, untuk kemampuan Ruby. Bisa membuat memar di tubuh gadis itu merupakan peningkatan yang sangat signifikan.
Azure yang sejak tadi hanya menonton interaksi mereka tersenyum tipis lalu menghampiri Ruby. "Sudah selesai latihan?" tanyanya.
Ruby mengangguk.
"Ayo makan siang."
"Ya, aku memang sedikit lapar." Ruby memungut Runa dan menyarungkannya kembali lalu mengikuti Azure meninggalkan tempat itu.
Hari itu, Ruby menorehkan sedikit kekaguman di hati seratus prajurit itu dan mendapatkan kepercayaan Boo.
Bersambung...