Begitu pintu tertutup rapat, Ruby melepaskan penutup matanya dan menatap sekeliling ruangan. Ruangan Azure jauh lebih mewah dan luas dari kamar yang dia miliki di sanggar seni, memiliki sebuah perpustakaan kecil dan meja baca di samping jendela dan kasur berukuran besar di tengah-tengah ruangan, yang bahkan bisa dihuni oleh lima pria dewasa tanpa saling menyentuh.
“Mereka menyuruhmu untuk membujukku agar tidak bertarung dengan pangeran Rian besok, kan?” Azure duduk di sofa dan menatap Ruby yang masih menjelajah dan menatap seluruh ruangan.
Ruby mengangguk. “Ya,” jawabnya.
“Lalu apa kau akan mencoba untuk menghentikanku?”
Ruby berbalik dan mempertemukan netra merahnya dengan mata kelam Azure. “Apa kau akan mendengarkan jika kau menghentikanmu?”
Azure sama sekali tidak ragu untuk menjawab. “Tentu saja aku akan mendengarkanmu.”
Ruby mendengus pelan menghampiri Azure. “Seberapa hebat Rian?”
“Dia seorang pangeran.”
“Kau seorang Putra Mahkota.”
Azure tertawa pelan mendengarnya. “Dibandingkan dengan dirimu, dia hanya bayi yang baru belajar berjalan.”
Ruby duduk di hadapan Azure dan menumpukkan kaki. “Bagaimana denganmu? Bayi yang baru saja belajar merangkak?” Dia tersenyum tipis. “Karena dia sepertinya bisa mengalahkanmu”
Raut wajah Azure berubah. Ruby pastinya telah menebak dengan benar dan memori itu bukan sesuatu yang menyenangkan bagi Azure.
Iris sewarna batu permata merah Ruby bersinar di bawah cahaya lampu. “Aku akan mengizinkamu untuk bertarung besok, dengan satu syarat.”
Azure bersedekap dan bertanya penasaran. “Syarat apa?”
“Kau harus menang, itu saja.” Ruby menopang dagu dengan telapak tangannya lalu tersenyum. “Aku tidak mau mendengar berita kekalahanmu.”
Azure tertawa pelan. “Lalu datanglah untuk menonton, aku akan memperlihatkanmu kemenanganku.” dia kemudian berdiri dan menghampiri sebuah meja yang tak jauh dari sana. Meraih teko perak dan membawanya ke sofa. Dia menuangkan segelas teh hangat untuk Ruby dan menyodorkannya ke arah gadis itu. “Aku juga akan sedikit lebih semangat jika kau datang.”
Ruby berpikir sejenak sebelum membalas. “Aku tidak tahu, besok Miss Susan akan datang untuk memeriksa kemajuan pelatiihanku.” Ketika menyebut nama gurunya, untuk sejenak wajah Ruby berkerut tidak senang.
Azure menyeruput tehnya. “Dia membullymu?”
Ruby menggeleng dengan bibir berkerut. “Dia hanya terlalu suka berbicara dengan nada tinggi dan membuat telingaku sakit.” dia menggosok telinganya seolah menghibur karena besok akan kembali merasakan nada tinggi seorang miss Susan.
Azure tertawa rendah dan meletakkan gelasnya kembali ke meja dengan tenang.“Dia guru yang sangat baik, jika kau sampai membuatnya marah, maka seberapa buruk proses pelatihanmu?”
Ruby menatap Azure sejenak lalu berkata dengan nada yang sangat datar. “Sepertinya tubuhmu tidak terlalu baik untuk bertarung, jadi kau tidak perlu datang...
“Aku hanya bercanda.” Azure tertawa pelan, namun begitu melihat raut wajah Ruby masih tidak membaik, tawanya menjadi canggung. Dia berdehem pelan lalu berkata dengan nada serius “Aku benar-benar hanya bercanda, Sungguh.”
Ruby tidak memberi reaksi apa-apa untuk sejenak, hanya membungkuk dan meraih cangkir tehnya dan meminumnya beberapa teguk sebelum meletakkannya kembali. “Kau yakin bisa menang?”
“Selama kondisi tubuhku tetap fit hingga besok, aku yakin bisa mengalahkannya. Kelemahanku saat kalah darinya hanya terletak di daya tahan tubuh kami berdua.”
Ruby mengangguk mengerti. “lalu, nyalakan ini dan letakkan di samping tempat tidurmu sebelum kau tidur malam ini.” Dia meletakkan sebatang lilin berwarna kehijauan ke atas meja, kemudian beranjak. “Aku akan menunggu kabar baik. Jika yang kudengar adalah kabar buruk.” Ruby menghentikan langkah kakinya di depan pintu dan berbalik. “Aku akan menunda perawatanmu beberapa hari lagi.”
Meski mendengar kata-kata yang tidak begitu hormat dari Ruby, Azure justru terawa senang. “Aku tidak akan mengecewakanmu.”
Ruby membuka pintu. “Selamat malam.”
Azure membuka mulut untuk mengatakan sesuatu namun menutupnya kembali. Pada akhirnya dia hanya mengeluarkan suara pelan. “Selamat malam.”
Malam telah semakin larut, Azure merasa sangat tidak sopan jika dia menahan Ruby di kamarnya hanya untuk memenuhi keinginan egoisnya yang tidak ingin pertemuan mereka berakhir dalam waktu sesingkat ini, Bagaimana pun Ruby masihlah seorang gadis lajang.
Azure menatap cangkir bekas teh Ruby, melamun cukup lama entah memikirkan apa sebelum kemudian menghela napas pelan lalu bangkit untuk tidur.
Keesokan harinya. Boo dan Demien yang berpikir bahwa Azure telah membatalkan niatnya untuk bertarung terkejut begitu melihat Azure tiba-tiba bangun pagi dan mulai memakai pakaian bertarungnya setelah mandi.
Dan ketika mereka bertanya tentang Ruby, Azure hanya menjawab. “Oh Ruby memang melarangku untuk bertarung jika aku hanya datang untuk di kalahkan. Jadi aku berjanji akan menang.”
“...”
“Sudah ku bilang gadis itu tidak bisa di percaya.” Demien menggeram pelan ke arah Boo.
Boo mengabaikannya dan memberikan perhatian penuhnya untuk membujuk Azure. “Yang Mulia, kondisi tubuhmu...”
“Bukan masalah. Aku merasa sangat sehat sekarang.” Azure tersenyum lebar dan mengayunkan kedua lengannya dengan wajah cerah. Lilin aroma terapi yang Ruby berikan malam sebelumnya sangat manjur. Setiap sendi-sendi tubuhnya terasa sangat rileks dan juga seolah ada energi tanpa batas di dalam tubuhnya yang mendidih meminta untuk di luapkan.
Intinya, Azure sangat bersemangat untuk bertarung hingga dia hampir melompat ke sanggar bela diri saat itu juga.
Boo meringis. “Tapi Yang Mulia...
“Jangan khawatir, Aku pasti akan menang.” Azure mengangkat pedangnya dengan energik, dan tanpa menunggu persetujuan kedua pengawalnya lagi, Azure berjalan keluar dari kamarnya sambil membawa pedang dengan senyuman yang sangat cerah.
Di sisi lain, Ruby masih berlatih dengan keras, mengambil langkah dengan pelan agar tidak menjatuhkan buku di atas kepalanya yang semakin tinggi.
Ketika dia melakukan sedikit kesalahan, Miss Susan akan mulai meninggikan suaranya dan membuat Ruby harus menahan diri agar tidak meringis karena suara keras yang menusuk telinganya.
Karena ini, saat pertama kali Ruby di latih oleh Susan, dia berusaha sangat keras agar tidak menggunakan kekerasan untuk membungkam wanita paruh baya itu.
Ruby jauh lebih sabar sekarang dan bisa menahan emosinya dengan sangat baik.
Untuk beberapa saat, Ruby menanggung siksaan di telinganya itu hingga berhasil berjalan beberapa putaran dengan benar sebelum Susan akhirnya memberinya waktu untuk beristirahat.
Matahari hari itu bersinar dengan terik dan mengenai wajah Ruby yang telah basah oleh keringat. Namun, Ruby tidak berpindah dari tempatnya berdiri dan hanya mengangkat telapak tangannya untuk merasakan suhu matahari di sekitarnya agar bisa memperkirakan waktu.
Setelah memastikan dia masih belum terlambat, Ruby menghampiri Susan dengan sekeranjang buah segar yang telah dia persiapkan secara khusus sebelumnya.
“Kenapa kau tiba-tiba memberiku buah-buahan?” Susan menatap buah di pangkuannya dengan curiga sebelum mendongak menatap Ruby yang sedang berdiri di hadapannya. “Kau menginginkan sesuatu?”
Ruby mengangguk tanpa ragu. “Bisakah untuk sesi kedua nanti aku absen?”
Susan bersedekap dan menyipitkan mata. “Tidak, jangan membuat alasan yang...”
“Aku ingin menonton pertarungan Yang Mulia Putra Mahkota dan Pangeran Rian?” Ruby memotong kata Susan dengan cepat.
Ruby tahu dengan karakter Susan, dia tidak akan mudah mendapatkan izin, karena itu dia telah mencari tahu tentang wanita paruh baya itu dari beberapa pelayan yang mengenalnya, dan mereka semua mengatakan bahwa Susan adalah salah satu pengagum berat Yang Mulia Putra Mahkota dan biasanya tidak ingin kehilangan satu informasi pun tentang idolanya.
Dan benar saja, begitu nama Azure di sebut. Raut wajah Susan berubah dengan sangat signifikan dengan raut judesnya yang biasa.
“Pertarungan? Putra Mahkota?”
Ruby mengangguk.
“Kapan? Di mana? Pertarungan apa?” Susan bertanya beruntun tanpa mempedulikan perilaku anggunnya lagi.
“Pertarungan satu lawan satu melawan Pangeran Rian Di sanggar bela diri.” Ruby mengulurkan tanggannya lagi ke arah matahari. “Sebentar lagi akan di mulai.”
“Lalu apa yang kau tunggu, ayo pergi sekarang.” Susan kemudian menyerahkan keranjang buahnya ke pelayannya, mengangkat bawahan gaun panjangnya dengan satu tangan lalu menarik Ruby dengan tangan yang lainnya dan keluar dari sanggar dengan sangat tergesa.
Tidak peduli seperti apa pelayan pribadinya berteriak untuk membuatnya berjalan dengan pelan, Susan tidak pernah memelankan langkah kakinya.
Di belakang, Ruby tersenyum tipis. Jika dia tahu hasilnya akan sebagus ini, dia seharusnya meminta libur saja hari ini.
Bersambung...