Malam itu cahaya bulan membias cerah, menyinari pepohonan dan menciptakan bayang-bayang gelap di bawahnya. Sayup-sayup dari arah penjara bawah tanah, suara erangan menyayat hati terdengar hingga beberapa sipir penjara yang sedang menjaga beberapa kali melirik dan berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa penasaran mereka.
Semakin dalam, suara erangan itu semakin keras dan membuat siapa pun yang mendengarnya merinding.
Tahanan yang tadinya bangga, mengejek dan mencemooh kini terbaring di lantai uang kotor. Menggeliat dan menutupi kepalanya, menutup mata dengan ketakutan, berteriak keras dengan mulut terbuka lebar.
Boo yang telah melihat proses itu selama beberapa saat bergidik dengan ngeri. Seperti apa memperlihatkan ketakutan terdalam seseorang?
Sangat mengerikan.
Setiap manusia memiliki rasa takut, sekuat apa pun mereka, rasa takut itu selalu ada. Hanya yang membedakan adalah, orang-orang yang kuat selalu bisa merahasiakan ketakutan mereka sehingga tidak ada satu pun yang tahu selain diri mereka sendiri.
Dan kini dia melihat bagaimana seseorang yang bahkan tidak berkedip ketika kulit dan dagingnya tergores, fisiknya di lukai sedemikian rupa. Namun kini dia telah memperlihatkan sisi paling memalukannya secara terang-terangan.
Boo tidak tahu pemandangan seperti apa yang tahanan itu lihat, namun dia berharap dia tidak pernah merasakan itu semua.
“Bukankah ini cukup? Dia telah menggaruk tubuhnya hingga berdarah, dia bisa mati kelelahan atau pun ketakutan.” Demien yang sejak tadi mengerutkan kening akhirnya tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Tunggu sebentar lagi.” Ruby menjawab tanpa menoleh. “Aku tidak menyangka dia bisa menutup mulutnya selama ini, pendiriannya benar-benar kuat.”
Demien masih ingin mengatakan sesuatu menoleh ke arah Azure, namun ketika dia melihat pria tetap diam tanpa ada niat untuk menyela, dia akhirnya memilih diam.
Hingga tak lama kemudian, suara mencicit terdengar dari arah tahanan di lantai, dia meminta tolong dan memohon ampu.
“T-Tolong selamatkan ak-u, siapa pun.”
Ruby akhirnya tersenyum tipis dan kembali membungkuk untuk menuangkan ramuan lain ke mulut tahanan itu yang masih terbuka lebar.
Tak lama kemudian tahanan itu terbangun dengan kebingungan, wajahnya basah karena keringat, air mata dan juga cairan lain dari mulut dan hidungnya. Namun kondisi memalukan itu tidak lagi si tahanan hiraukan ketika matanya menangkap keberadaan Ruby yang masih berdiri di hadapannya. Matanya yang mengabur karena air mata tiba-tiba melebar ketakutan, dia mengguling tubuhnya yang berdarah untuk menjauh dari Ruby seolah menghindari monster paling mengerikan. Sedangkan bibirnya terus berbisik memohon ampun.
Ruby menghiraukan itu semua dan berbalik ke arah Demien. “ Kau bisa mengiterogasinya sekarang, dia akan menjawab apa pun yang kau tanyakan,” katanya.
Demein menjawab dengan tenang, namun tidak ada yang menyadari bahwa kepalan kedua tagan di sisi tubuhnya mengerat hingga urat kebiruan menonjol dari kulitnya.
Seorang pendekar memiliki insting yang kuat, insting mereka membantu mereka dalam pertarungan dan dalam medan pertempuran terlebih pada lawan yang kuat. Dan saat Ruby berdiri dengan tenang mendengar teriakan menyakitkan tahan di bawahnya, Demien memiliki insting yang berbahaya.
Seseorang yang bisa merusak mental seorang pendekar yang tadinya sangat tangguh tanpa pertarungan hingga menjadi seorang pengecut yang hanya bisa menyembunyikan dirinya di sudut ruangan.
Seberapa mengerikannya orang itu?
Kini Demien melihat dengan mata kepalanya sendiri. Namun yang lebih mengerikan adalah dia merasa ini bukanlah limit yang Ruby miliki. Dia telah memperlihatkan banyak hal mengejutkan, senjatanya, ramuannya, bela dirinya dan juga kecerdasannya dan tidak ada yang tahu hal seperti apa lagi yang akan dia perlihatkan di masa depan.
Ketika Demien menoleh ke arah Azure dan menemukan raut pangerannya itu sangat tenang tanpa fluktuasi meski telah melihat adegan seperti itu, Demien menebak bahwa Azure mungkin pernah melihat hal yang lebih mengerikan lagi dari Ruby.
“Yang Mulia, sebaiknya kita kembali sekarang dan menyerahkan masalah interogasi ini kepada Boo dan Demien, kau masih harus memulihkan diri.” Raut datar Ruby ketika menoleh ke arah Azure berubah, dia tersenyum manis da melangkah mendekat namun Boo tiba-tiba saja bergeser dan menghalangi langkahnya.
Ruby memiringkan kepala hingga rambut pirang panjangnya tergelincir jatuh dari pundaknya.“Boo? Ada apa?”
Boo yang sejak tadi diam mendongak dan menyadari bahwa instingnya yang selalu ingin menjauhkan hal berbahaya dari Azure tanpa dia sadari mencegah Ruby mendekat.
Alam bawah sadarnya untuk sesaat mengkategorikan Ruby sebagai ancaman yang berbahaya.
“Oh, Maaf.” Boo sedikit linglung dan kembali bergeser dari hadapan Ruby.
Azure yang menyadari mood dua pengawalnya menghela napas, dia tahu kekuatan Ruby terlalu ekstrem untuk di terima begitu saja hingga menumbuhkan rasa waspada. Namun hanya kata-kata menenangkan darinya saja tidak akan menghilangkan rasa ragu dari orang-orang di sekitar Ruby.
Ruby harus membuktikan sendiri bahwa dirinya tidak berbahaya untuk orang lain agar bisa di terima dengan tangan terbuka
Dan Azure harus mencari cara untuk mewujudkan itu.
“Baiklah, ayo kembali.” Azure beranjak dari duduknya dan meninggalkan sel tahanan bersama Ruby di bawah tatapan dua ajudannya.
Ketika akhirnya punggung Azure dan Ruby tidak terlihat lagi, Boo menoleh ke arah Demien. “Apakah baik-baik saja untuk meninggalkan Nona Ruby bersama Yang Mulia?”
“Kenapa? Bukankah selama ini kau selalu bertindak seperti pengagum gadis itu.” Demien mengangkat alis.
“Bukan seperti itu.” Boo mencebik. “Dia memang membuatku kagum dengan kekuatannya, namun seseorang yang terlalu kuat juga sulit untuk di kendalikan. Aku hanya cemas jika Yang Mulia tidak bisa mengendalikan Nona Ruby... Dan...
“Jangan memikirkannya. Untuk saat ini Ruby masih memiliki ketertarikan penuh akan Yang Mulia jadi dia tidak akan melakukan apa pun.” Demien menatap lantai, matanya menajam ketika memikirkan sesuatu. “Tapi jika dia sampai menunjukkan tanda-tanda penghianatan, kita tentu tidak bisa membiarkannya tinggal.”
Boo mengerutkan kening. Jujur saja, untuk menghadapi Ruby, Boo menyadari bahwa dia tidak bisa memikirkan apa-apa. Ruby memberikan bayak pengorbanan kepada Yang Mulia Putra Mahkota hingga membuatnya kagum, namun terkadang pula kekuatan yang dia miliki membuatnya merasa berada dalam bahaya.
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Boo.
Angin berhembus dari lubang kecil di dinding tahanan, menerbangkan beberapa daun jerami ke tempat yang lain.
Demien berkata, “Aku tidak tahu.” Untuk pertama kalinya Demien merasa ragu mengenai sesuatu tentang Ruby. “Dia jelas sangat berbahaya dengan semua benda ciptaannya yang menakutkan...”‘Tapi aku tidak bisa membencinya.’ untuk kata-kata selanjutnya, Demien hanya mengatakannya kepada dirirnya sendiri.
Malam itu sangat tenang, langkah kaki yang menaiki tangga spiral terdengar nyaring, mengetuk lantai dengan pelan sedangkan bayangan memanjang terbentuk di dinding yang berlawanan dari obor yang menggantung.
Untuk beberapa saat, Ruby menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke belakang. Ke arah pintu bawah tanah yang tertutup rapat.
Matanya tertutup rapat oleh kain sehingga emosi yang bisa dia gambarkan dari sana tidak terlihat. Namun bibirnya yang terkatup rapat tanpa senyuman seolah memperlihatkan emosi pemiliknya yang sedikit tidak begitu baik.
“Mereka mengatakan sesuatu?”
Azure yang berjalan di depan juga menghentikan langkahnya dan menoleh.
Ruby tidak menjawab dan hanya menunduk, menutupi wajahnya dengan bayangan dari rambutnya layaknya tirai gelap.
Azure tidak dapat melihat raut wajah gadis itu, namun bisa merasakan suasana muram di sekitarnya. Dia menghela napas dan menuruni dua anak tangga hingga dia berdiri di hadapan Ruby.
“Mereka butuh waktu, kekuatan yang kau miliki terlalu mengejutkan untuk bisa mereka terima begitu saja.” Azure meletakkan tangan lebarnya ke puncak kepala Ruby dan menggosoknya dengan pelan. “Suatu saat mereka pasti akan menerimamu sepenuhnya. Bersabarlah.”
Ruby diam, namun tangannya bergerak untuk menangkap tangan Azure, menurunkannyanya dari kepalanya sendiri dan menempelkan tangan itu di pipinya. Rasa hangat membuat Ruby memejamkan mata, bersandar pada kehangatan yang selalu dia sukai, tanpa tahu tindakannya telah membuat pria di hadapannya mematung.
“Tidak masalah.” kata Ruby. “Selama kamu menerimaku, aku tidak peduli dengan yang lainnya.”
Bersambung...