Tak lama setelah Pangeran Rian pergi, saudari Azure, Putri Adella Kyrie juga datang bersama suami dan anak-anaknya. Sebagai seorang Putri yang tidak memiliki kesempatan untuk bersaing untuk mendapatkan tahta, Putri Adella selalu bersikap rendah hati dan memperlakukan semua saudaranya dengan sangat sopan.
Wajah Putri Adella tidak terlalu menarik, tapi memiliki menampilan yang sangat anggun dan lembut, ketika tersenyum sepasang lesung pipi akan terlihat jelas di kedua pipinya.
"Selamat ulang tahun Yang Mulia." Putri Adella membungkuk dalam bersama putri dan suaminya dengan senyuman yang hangat. "Aku mendengar bahwa Yang Mulia memiliki tabib baru yang hebat, jadi hari ini aku membawa banyak tanaman herbal untuk Yang Mulia, agar yang Mulia selalu di beri kesehatan."
Berbeda dengan Pangeran Rian, meski Putri Adella juga menyinggung tentang kesehatan Yang Mulia Putra Mahkota, doa dan hadiah Putra Adella sangat tulus sehingga tidak ada yang berpikir kata-kata itu untuk menyinggung kesehatan adik bungsunya.
Salah satu yang paling bahagia mendengar ucapan Putri Adella adalah Ruby, penelitiannya bersama tabib Yoga sedang mengalami peningkatan pesat, namun jumlah tanaman herbal yang mereka miliki semakin berkurang, karena itulah, Ruby telah berencana meminta izin untuk keluar dari kastil mencari tanaman herbal setelah perjamuan ulang tahun Azure selesai. Tapi sepertinya rencana itu bisa batal, lagi pula Ruby telah mencium semua bau tanaman herbal yang dia inginkan dari hadiah yang Putri Adella bawa.
Seolah bisa merasakan kebahagiaan Ruby, wajah Azure yang sejak tadi tertekuk kini menjadi sedikit lebih baik. "Terima kasih banyak Putri Adella, tanaman obat itu pasti akan sangat berguna." ujarnya dengan senyum lebar.
Putri Adella membalas lagi beberapa kata sebelum mundur dan mencari tempat duduk bersama suaminya di sekitar Leroy dan Alrey.
Setelah Putri Adella, sejumlah pejabat tinggi dan jendral juga muncul. Azure kemudian mengundang semua orang untuk makan siang bersama-sama.
Perjamuan itu berakhir dengan cepat dan akhirnya Azure bisa menyeret tubuh lelahnya kembali ke dalam kamar.
Setelah terprovokasi oleh Pangeran Rian, suasana hati Azure tidak lagi sebaik di pagi hari, meski dia masih memamerkan senyum di hadapan para tamu, Azure tidak pernah merasa lebih baik, terlebih ketika melihat bahwa Ruby terus-menerus menjaga jarak aman di antara mereka.
"Yang Mulia, aku akan pamit sekarang." setelah berpisah dari para selir, Boo menghampiri Azure dan berbisik pelan.
"Hn. Hati-hati." Azure menepuk bahu Boo dan memberinya senyum lebar. "Cepat kembali."
"Baik Yang Mulia."
Boo kemudian menghampiri Ruby dan berbisik hal yang sama kepadanya.
Ruby mengangguk pelan. "Apakah kau memerlukan ramuan atau racun tambahan?" tanyanya.
"Tidak, jumlah yang dulu masih banyak." Boo menatap wajah Ruby dengan khawatir. "Jangan pedulikan mereka yang berbicara buruk tentangmu, mereka hanya iri."
Ruby mengangguk dan mengibaskan tangan. "Aku tahu. Jangan khawatir, telingaku sudah cukup kebal dengan kata-kata mereka." Dia kemudian meninju pelan bahu Boo. "Kembali dengan cepat dan jangan sampai terluka."
Boo tersenyum lebar dan mengangguk lalu akhirnya pergi meninggalkan kastil lagi.
Azure yang melihat interaksi keduanya mendengus dan membuang muka, melirik lagi lalu berjalan dengan cepat begitu melihat Ruby mengembalikan perhatian kepadanya dan menghampirinya.
"Yang Mulia... " Ruby menyusul langkah kaki Azure, namun menemukan Azure justru semakin mempercepat langkahnya. Ruby mengerutkan dahi tidak senang lalu berhenti mengejar. "Yang Mulia... " Dia memanggil lagi, namun Azure sama sekali tidak peduli dan tidak memperlambat langkah kakinya.
Semua pelayan dan penjaga di sekitar Azure saling melirik diam-diam lalu menyembunyikan senyum di wajah mereka.
Siapa pun selain Ruby bisa melihat bahwa tingkah Azure terlihat seperti orang yang sedang merajuk dan menunggu untuk di bujuk. Tapi Ruby yang tidak sadar akan hal itu justru memelankan langkah kakinya karena takut Azure berjalan semakin cepat dan membuat dirinya sendiri kelelahan.
Begitu tiba di depan pintu kamarnya, Azure kembali menoleh ke arah Ruby dan menemukan gadis itu masih berjalan santai dengan wajah tenang. Dia mendengus lagi lalu masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu dengan keras.
Pelayan wanita yang ada di sana tidak bisa lagi menahan senyum mereka dan mulai terkikik pelan sambil menutup mulut mereka sendiri.
"Apa yang kalian tertawakan? Apa kemarahan Yang Mulia terlihat lucu di mata kalian?" Ruby akhirnya sampai di depan pintu Azure dan menjadi kesal begitu mendengar sejumlah pelayan tertawa pelan.
"Kami tidak berani, Nona." Semua pelayan itu menjawab serentak, namun masih sulit menyembunyikan senyum tertahan di bibir mereka, untung saja Ruby tidak bisa melihatnya.
Fern, Oslo, Skye dan Jude sendiri tau alasan mengapa para pelayan itu tersenyum diam-diam bukan untuk mengejek Yang Mulia, jadi mereka tidak melaporkannya kepada Ruby.
Ruby mengetuk pintu dengan pelan. "Yang Mulia, aku perlu membahas sesuatu denganmu."
Tidak ada jawaban.
"Yang Mulia, Bolehkah aku masuk?"
Masih tidak ada jawaban.
Ruby mengerutkan kening dan menoleh ke arah Jude dan yang lainnya. "Ada apa dengan Yang Mulia?" tanyanya bingung.
Keempat pria itu saling memandang, meminta yang lain untuk menjawab tapi semuanya menggeleng. Jadi akhirnya Oslo dan Fern secara sepihak mendorong Skye yang paling pintar dalam berbicara untuk menjawab.
Skye melotot marah pada rekannya sebelum berbalik dan tersenyum ke arah Ruby. "Mungkin Yang Mulia masih marah karena Pangeran Rian." Dia memberi jawaban paling masuk akal menurutnya.
Dahi Ruby semakin mengerut. Dia kembali mengahadap ke arah pintu kamar Azure yang masih tidak bergerak dan merasa tidak adil, yang membuat Azure marah adalah Pangeran Rian, tapi mengapa Azure harus marah padanya juga?
"Selamat beristirahat Yang Mulia, aku akan kembali lagi...
Sebelum kata-kata Ruby selesai, pintu tiba-tiba terbuka lebar dan memperlihatkan wajah masam Azure. "Masuk!" ujarnya pada Ruby lalu melambaikan tangan kepada semua pelayan selain empat penjaganya untuk pergi.
Ruby menghela napas lega dan masuk ke dalam kamar. "Yang Mulia...
"Azure." Azire mengoreksi dengan cepat.
"...Baiklah, Azure. tentang tanaman herbal Putri Adella...
"Apakah kau ingin menemuiku hanya untuk membahas ini?" Azure bersedekap dan bersandar santai pada pintu. Dia sudah melepas jubah bulunya dan hanya menyisakan seragam militer biru tuanya.
"Huh?" Ruby termenung sejenak dan tiba-tiba mengingat kata-kata Skye di luar. "Oh... Kau masih marah?"
Azure menyipitkan mata. "Menurutmu?"
"Azure, aku tidak tau penampilan seperti apa yang gadis-gadis itu perlihatkan hingga membuatmu sangat marah, tapi kau seharusnya bisa menahan diri, soal balas dendam, kita bisa melakukannya kapan saja."
"Apa kau pikir aku marah hanya karena itu?" Azure menghela napas dan memijat pelipisnya. Dia menyukai kepribadian polos Ruby, tapi terkadang kepolosan itu juga membuatnya sangat kesal.
"Hum? Lalu apa?" Ruby memiringkan kepalanya.
Azure berdecak dan melangkah mendekati Ruby, mengulurkan tangan dan melepas penutup mata transparan di wajah gadis itu. "Ruby, sekarang aku tanya. Apakah aku benar-benar tidak pantas dekat denganmu." Mata hitam kelam itu menatap Ruby dengan sangat tajam. "Kau bisa tertawa lebar kepada Boo, bersikap sangat akrab dan menyentuhnya sesuka hati tapi kau menjauhiku seperti penyakit."
"Tidak!" Ruby berseru dengan cepat. "Aku tidak bermaksud seperti itu."
"Tidak bermaksud? Lalu hari ini coba ingat, berapa kali kau tersenyum dan berbicara denganku."
Di bawah tatapan mengintimidasi Azure, Ruby tidak bisa tidak merasa gugup, dia memelintir gaunnya dan membalas dengan nada pelan. "Bukankah kau harus menjamu tamu? Tidak pantas untukku menyela terlalu sering."
"Aku tidak menjamu tamu, merekalah yang seharusnya melayaniku." Azure menjawab datar.
"Tapi, bukankah kita sudah sepakat untuk menjaga jarak di depan umum?"
"Benar." Azure mengangguk, namun sama sekali tidak ada tanda-tanda di wajahnya yang memperlihatkan dia sudah menyerah pada argumen ini. "Tapi itu karena aku berpikir alasan utama mu menjaga jarak karena aku ini pria dan kau wanita dan karena kau tidak ingin orang-orang salah paham dengan hubungan kita."
"Aku memang berpikir seperti itu." Ruby memiringkan kepala.
Azure mendengus. "Lalu bagaimana dengan Boo, Fern, Skye, Jude, Oslo dan Bahkan jendral Qhali, mereka semua pria tapi kau berinteraksi sangat dekat dengan mereka, kau bahkan membiarkan jenderal Qhali mengelus kepalamu!" Azure menarik napas. "Dan tadi, kau membelai rambut bocah Jude itu, memukul bahu Boo dan Skye juga memegang lengan Oslo dan Fern!"
Ruby berkedip-kedip mendengar kalimat panjang Azure, berpikir bahwa ini adalah kalimat terpanjang Azure dengan suara lantang dan berpikir bahwa pria itu sangat marah, jadi dia semakin memelankan suaranya agar tidak membuat pria itu semakin marah. "Mereka semua hanya teman."
"Lalu aku?" Azure bertanya dengan suara tertahan. "Apa aku bukan temanmu?"
"Tentu saja teman." Ruby menjawab cepat. "Tapi... Tapi, Kau juga adalah Yang Mulia Putra Mahkota. Aku tidak bisa memperlakukan mu seperti mereka."
Azure bernapas dengan cepat karena amarah, kedua tangan di kanan kiri tubuhnya mengepal dengan sangat erat. menggabungkan raut wajah dan gerak tubuh, Azure terlihat seperti orang yang akan memukul seseorang.
"Apa... Apa kau akan memukulku?" Dan Ruby benar-benar bertanya sambil menatap kedua kepalan tangan Azure.
Azure memandang puncak kepala Ruby dengan seringai tipis di bibirnya. "Hn, aku sangat ingin memukulmu." Bukankah gadis ini mengatakan tidak bisa memperlakukannya sama seperti teman pria lainnya? Maka Azure akan memperlihatkan bahwa dia memang tidak ingin di perlakukan sama dengan mereka.
Ruby mendongak dengan cepat ketika mendengar jawaban Azure. "Baiklah, jika memukulku bisa membuat perasaanmu sedikit lebih baik."
"Lalu pejamkan matamu. Aku akan memukul dengan sangat keras." Azure memperlihatkan kepalan tangannya di depan wajah Ruby.
Ruby menatap kepalan itu dengan mata melebar. "Kau benar-benar mau memukulku?"
"Menurutmu?" Azure mengangkat alis.
Ruby menelan ludah dan menghela napas. "Baiklah, tapi aku tidak perlu menutup mata."
"Jika kau tidak menutup mata, kau pasti akan menghindari pukulanku secara insting."
Ruby merasa ucapan Azure ada benarnya, jadi dia mengangguk dan memejamkan mata. "Um... Jangan memukul hidungku, akan merepotkankan jika patah."
"Kau cukup peduli dengan penampilan rupanya, hum?"
Ruby diam, tidak bersuara lagi dan menunggu rasa sakit di wajahnya.
Di sisi lain, Azure yang melihat wajah tegang Ruby mengulum senyum tipis dan mendekatkan wajahnya.
Sudah saatnya untuk bersikap agresif, karena jika dia terus bersikap pasif, Ruby tidak akan pernah mengerti tujuannya.
Bersambung...