Berbelanja

1454 Kata
Di kota Bania, rombongan mereka memutuskan untuk beristirahat selama beberapa hari dan juga sekaligus memberi waktu bagi Pangeran Azure untuk memulihkan diri sebelum mereka memulai perjalanan jauh lagi. Demien memesan puluhan kamar di sebuah penginapan terbesar di kota Bania. Sean dan Ruby adalah satu-satunya yang memiliki kamar tersendiri. Bukan karena Demien memperlakukannya spesial di saat dirinya sendiri harus berbagi kamar dengan dua orang lainnya, tapi karena tidak ada satu pun dari tiga wanita yang bersama mereka ingin tinggal sekamar dengan Ruby. Hal itu terjadi karena beberapa hari ini, gadis itu benar-benar tidak banyak berinteraksi dengan mereka dan entah bagaimana selalu menguarkan aura yang sedikit berat. Setelah mendapatkan kunci kamar yang akan dia tempati, Ruby tak banyak basa-basi dan langsung memisahkan diri dari rombongan dan meminta salah seorang pelayan di sana untuk mengantarnya ke kamar mereka. Melihat itu, Boo segera berteriak padanya untuk makan siang terlebih dahulu sebelum istirahat. “Aku tidak lapar.” Ruby menjawab tanpa menoleh maupun menghentikan langkah kakinya menaiki tangga. Azure menghela nafas, menggenggam kunci kamarnya dan juga beranjak naik ke lantai atas.”Bawa saja makan siangku ke kamar,” ujarnya tanpa menoleh. Mereka yang di tinggalkan oleh Pangeran mereka begitu saja, hanya bisa berdiri mematung di sana dan saling melirik canggung, sedangkan wajah Demien berubah semakin gelap. “Oke, aku akan memesan makanan.” Boo berusaha mencairkan suasana. “Kalian mau memesan makanan apa?” “Aku masih kenyang.” Demien mengibaskan pakaiannya dan beranjak pergi. Sekali lagi, mereka yang di tinggalkan saling melirik lalu menghela nafas bersamaan. *** Disisi lain, Ruby yang baru tiba di kamarnya segera meletakkan tas berisi buku ke atas meja lalu merebahkan punggungnya di ranjang. Kamar itu sangat luas, dengan satu ranjang yang bisa di huni hingga 4 orang dewasa. Bau pernis yang melapisi kayu dan bau deterjen yang masih melekat di selimut memberi Ruby sensasi yang aneh, dia seperti berada di negeri asing sendirian. Untuk pertama kalinya merasakan bagaimana empuknya berbaring di atas ranjang yang di lapisi kasur dan betapa lembutnya selimut bulu yang dia sentuh. Namun semua kenyamanan ini tidak memberi Ruby rasa aman. Sejak tenggelam hari itu, dia terus bertanya-tanya apakah keputusannya untuk keluar dari hutan sudah benar. Setiap kali dia berpikir bahwa keputusannya benar, Hanya dalam beberapa hari, dia mulai merindukan suasana asri dan ketenangan yang dulu dia miliki. Namun dia juga merindukan interaksi manusia yang tidak pernah dia dapatkan. Ruby bangkit dari rebahannya begitu mendengar langkah samar yang berhenti tepat di depan pintu kamarnya, di susul suara ketukan. “Ruby?” Suara Azure terdengar dari luar. Ruby memakai kembali alas kaki yang sempat dia lepaskan dan beranjak untuk membuka pintu. “Apa yang sedang kau lakukan?” Azure mengintip kamar Ruby dari balik bahu gadis itu dan melihat bahwa bahkan beberapa buku yang gadis itu bawa sebelumnya masih terbungkus rapi di dalam tas. “Beristirahat.” Ruby membalas singkat lalau menggeser tubuhnya ke samping untuk mempersilahkan Azure masuk. “Aku tahu kamu tidak lelah.” Azure tersenyum dan tidak bergeming dari tempatnya berdiri.”mau berjalan-jalan?” Ruby menggeleng pelan. “Hanya kita berdua.” Azure menambahkan “Bukankah kau sudah merasa risih dengan pakaian kebesaran itu? Jadi ayo kita cari pakaian yang lebih ringan dan cocok untukmu.” Dia tak menyadari setiap perkataannya di selingi nada bujukan. Ruby terdiam sejenak dan mengangkat alis. “Apakah para ajudanmu akan setuju kau keluar sendirian?” “Tidak tentu saja, bahkan jika mereka menyetujuinya, mereka akan mencoba untuk mengikutiku secara diam-diam.” “Lalu?” Ruby bersedekap dan bersandar pada kusen pintu, mulai berpikir ajakan Azure cukup menarik. Dia memang mulai sangat risih dengan pakaian berat dan mengganggu ini. “Kita bisa pergi diam-diam.” Azure berbisik pelan dan masuk ke kamar Ruby, menarik si pemilik kamar untuk masuk lalu menutup pintu dan menguncinya. “Kau akan melarikan diri?” Ruby bertanya. “Bukan melarikan diri, lagi pula kita akan kembali sebelum matahari tenggelam.” Azure membuka jendela “ayo.” Dia melambaikan tangannya ke arah Ruby. Ruby tersenyum tipis dan beranjak ke jendela, ketika mendengar Azure telah melompat ke bawah, senyumnya semakin lebar dan ikut melompat tak lama kemudian. Rumah penduduk di Kota Bania sedikit padat, beratapkan genteng yang kokoh sehingga Azure dan Ruby tidak memiliki kesulitan sama sekali melintasi atap rumah satu ke atap rumah lainnya hingga mereka mencapai daerah paling ramai di daerah itu. “Berisik sekali di sini.” Ruby mengerutkan kening dan menutup kedua telinganya. “Tentu saja berisik, kita sedang berada di pasar.” Azure menatap lalu lalang orang-orang di bawahnya. “Pasar?” Ruby memiringkan kepala bingung. “Pasar adalah tempat di mana kau bisa berbelanja sepuasnya.” Azure kemudian maju, menarik jemari Ruby lalu melompat ke sebuah gang yang sedikit lebih sepi. “Jangan sampai terpisah dariku,” ujarnya lalu mulai memasuki keramaian. Ruby tidak menjawab namun balas menggenggam tangan pria itu. Awalnya, Ruby masih tidak bisa begitu terbiasa dengan kebisingan yang terjadi di sekitarnya, telinganya berdenging setiap kali mendengar teriakan, terlebih beberapa pedagang kaki lima selalu memperkenalkan barang dagangannya dengan cara berteriak ke arah kerumunan, beberapa yang lebih berani bahkan menghadang para pejalan kaki dan memperkenalkan barang dagangan mereka. Seperti seorang wanita baya yang langsung menjejalkan sebuah boneka ke dalam pelukan Ruby. “Nona, cobalah untuk memeluknya saat tidur, sangat lembut dan nyaman.” Ruby menoleh ke arah Azure. “Apa ini?” Dia meremas boneka kain berbentuk serigala itu, yang ukurannya hanya sebesar telapak tangan. terbuat dari kain perca, kualitasnya jelas tidak begitu baik karena kainnya terasa sedikit lebih kasar dari selimut di hotel. “Itu di sebut Boneka kain.” Asure menjawab. “Bentuknya bisanya bermacam-macam, namun lebih banyak dalam bentuk binatang.” Dia meraih satu dengan bentuk macan tutul, “Oh,” Ruby meraba boneka itu dengan hati-hati dan menemukan bahwa sensasi kasar dari boneka itu membuatnya sedikit nyaman. “Seperti Gray,” gumamnya. “Kau mau?” “Aku bisa memilikinya?” Ruby memeluk boneka itu di dadanya dan memiringkan kepala. Disanalah Azure menyadari bahwa di balik sikap tenangnya, Ruby masih menyimpan sifat seorang wanita muda polos yang tidak mengerti banyak tentang Dunia. Keadaan hanya memaksanya untuk belajar bersikap dewasa lebih cepat. “Tentu saja,” Azure mengeluarkan beberapa keping perak dari sakunya dan menyerahkannya pada pedagang boneka tersebut. “Apa yang kau berikan padanya?” Ruby kembali memegang tangan Azure dan berjalan menyusuri pasar. “Uang.” “Uang?” Azure mengangguk, “Hum, kau harus memberikan uang kepada para pedagang itu sebagai ganti barang yang kita ambil, sesuai dengan harga yang mereka terapkan.” “Lalu apakah semua kebutuhan yang kita inginkan perlu di tukarkan dengan uang?” “Tidak semuanya, tapi...” Azure berpikir. “Memang lebih banyak yang seperti itu. Saat memiliki uang, kita bisa memiliki banyak hal. Ruby mengangguk mengerti. “Lalu di mana aku  bisa mendapatkan uang?” “Melalui banyak hal, namun bekerja adalah yang paling umum.” Azure menoleh dan menatapnya dengan senyuman, “Kau harus bekerja keras dulu lalu bisa mendapatkan uang.” “Apa pekerjaanmu?” Ruby bertanya. “Aku bekerja sebagai Pangeran.” Azure terkekeh geli dengan perkataannya sendiri. Ruby terdiam, dan berpikir pekerjaan seperti apa yang bisa dia lakukan untuk mendapatkan uang. “Kau bisa bekerja untukku jika ingin mendapatkan uang.” “Hum?” “Kau cukup melindungiku, membuatkan obat untukku dan merawatku, aku akan membayarmu.” “Apakah Demien dan Boo juga seperti itu?” “Ya. Kurang lebih seperti itu.” Azure menjilat bibirnya yang agak kering dan pecah-pecah akibat sakit beberapa hari yang lalu. “Tetapi kesetiaan mereka tidak bisa di bayar dengan uang. Ruby mengangguk dan membuka mulut untuk berbicara ketika mencium bau familiar yang beberapa hari ini selalu dia bawa, bau buku. Benda yang dia sukai untuk pertama kalinya sejak dia keluar dari hutan. Buku membuatnya mengetahui banyak hal. “Ada apa?” Azure yang melihat Ruby menatap ke segala arah seolah mencari sesuatu bertanya. “Bukan apa-apa.” Ruby tidak ingin memberitahu Sean apa yang dia inginkan lagi. Mendengar penjelasan dari Azure membuatnya sadar betapa uang memiliki peran penting dalam hidup dan dia hanya merasa tidak begitu baik terus menyuruh pria itu terus membayar apa pun yang dia inginkan. Setelah menemukan toko baju paling besar di sana, Azure segera menarik Ruby masuk ke sana. “Ada yang bisa kami bantu tuan?” Seorang gadis muda menyambut mereka dengan senyuman lebar. “Perlihatkan beberapa pakaian yang cocok untuk ukurannya.” Azure mengarahkan telunjuknya pada Ruby. “Pilihlah kain yang lebih ringan dan mudah di pakai.” “Baik Tuan.” Gadis itu segera berbalik dan meraih beberapa pakaian. Lalu kembali ke hadapan Sean. Azure menarik Ruby dan menyuruhnya memilih pakaian mana yang yang dia sukai. Ruby mengangguk dan mulai meraba dengan teliti setiap inci pakaian itu dan pilihannya jatuh pada sebuah pakaian berbahan satin, Ruby tidak tahu warna juga modelnya namun dia sangat menyukai teksturnya yang lembut namun tidak licin dan juga ringan, dengan ini dia tidak akan takut terbengkalai ketika harus bertarung. “Baiklah.” Azure kembali meraih kain itu dari tangan Ruby dan menyerahkannya pada si gadis pedagang. “Bungkuskan semua pakaian dengan model yang sama namun dengan warna yang berbeda.” “Baik tuan.” Gadis itu berseru kegirangan. tidak menyangka bahwa pelanggan pertamanya hari ini adalah seorang saudagar kaya.. “Kenapa kau membeli begitu banyak? Dua saja sudah cukup.” Ruby menenteng kantong kertas di salah satu tangannya sedang kantong lainnya ada di tangan Azure. Pemandangan ini sudah pasti akan membuat Demien sakit kepala. Siapa orang di seluruh kerajaan timur ini yang dengan berani membiarkan seorang Pangeran menenteng kantong belanjaannya selai Ruby? “Kita masih akan melakukan perjalanan selama 20 hari paling cepat, dua pakaian tidak akan cukup.” Azure mengencangkan genggamannya begitu mereka masuk ke kerumunan padat lagi. “Ayo makan siang.” Dia menarik Ruby ke arah sebuah rumah makan besar yang segera menarik perhatian Azure begitu melihatnya. Tanpa menyadari beberapa pasang mata yang mengintai mereka dari atap bangunan.   Bersambung...       
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN