Tak Ada Ujung Dalam Perjuangan

1236 Kata
Seperti mimpi-mimpi yang selalu hadir dalam tidurku. Tentang cahaya. Cahaya putih yang oleh Isaac Newton dibuktikan sebagai campuran semua warna dalam pelangi dan mampu menjungkir-balikkan anggapan dalam serentetan percobaan sebelumnya. Hingga, penemuannya berupa teropong refleksi pertama, model teropong yang dipergunakan oleh sebagian besar penyelidik benda-benda angkasa saat ini, yang merupakan analisa sangat hati-hati tentang akibat-akibat hukum pemantulan dan pembiasan cahaya. Mimpi itu hadir kembali, dari gemintang bermula semuanya. Bukan! Bukan dari bintang, melainkan dari cahaya. Aku berdiri di tempat yang tidak pernah ada di bumi kurasa, bukan pula di bulan, bukan pula di seluruh planet. Bukan juga di awang-awang. Bulan purnama, matahari yang bersinar. Kenapa mereka bisa terlihat bersama? Tak hanya mereka berdua, lihatlah bintang gemerlapan begitu banyak, entah itu bintang keseluruhan atau matahari-matahari semuanya. Yang jelas, semua bercahaya, mereka mengitariku seperti sistem tata surya yang terus berputar. Seolah, mereka mengajakku menari. Seperti biasa, aku akan bangun dan mengucek kedua mataku. Ya! Itu adalah mimpi yang sering mendatangiku. Mimpi tentang cahaya. Aku menyibak selimutku. Subuh hampir tiba. *** Kupakai sepatu yang telah menemaniku selama kuliah dulu. Kembali kulangkahkan kakiku menyusuri jalanan yang beraspal halus. sekilas kutatap matahari dan langit yang terlihat mulai menua. Tangan kananku menenteng map warna merah hati, tertulis namaku dengan huruf kapital di sampul depan. Di bawahnya tertulis dengan jelas ”Permohonan Melamar Kerja.” Angin yang kotor, asap yang kotor, u*****n-u*****n kotor, suara-suara kotor, dan debu kotor beterbangan, lalu hinggap di mana pun ia berhenti. Inilah gambaran kota. Panas yang disemaikan matahari menciptakan fatamorgana di aspal yang hitam, bagai lidah api yang m******t-jilat. Dan aku masih berjalan di atasnya. Lihatlah kehidupan di metropolitan ini. Beburung malas menyambangi pepohonan yang tinggal batangan-batangan besar, sementara daunnya bisa dihitung dengan jari-jari tangan. Burung walet sesekali terlihat lewat, lalu menghilang digantikan walet yang lain. Masyarakat kota sering dicap sebagai masyarakat yang individualistis. Sebenarnya tak apa-apa bersikap individualis. Karena ada kalanya manusia ingin sendiri dan tidak ingin diganggu, meski ada pula saat-saat dia ingin berbincang untuk berbagi kesusahannya. Bahayanya ialah ketika sifat individualistis ini berpadu dengan sifat egois, seolah hanya dirinyalah yang penting. Tersenggol sedikit saja, sumpah serapah dan kalimat jorok akan keluar, seolah bibir-bibir itu ingin melumat habis orang yang ia anggap salah. Seperti yang barusan kualami. Sebenarnya aku hanya berjalan pelan, bahkan sangat pelan saat kulihat gedung-gedung menjulang tinggi, mataku terlalu betah melihat ujungnya, indah.Aku membayangkan bagaimana rasanya berada di atas sana, memakai dasi, menerapkan ilmu yang telah kudapatkan selama ini. Aku bermimpi dan membayangkan bahwa aku berjalan tiap pagi memasuki gedung itu, memakai jas dan setelan khas orang kantoran. Aku kaget ketika tiba-tiba bahu kiriku menyenggol seorang wanita berpakaian jas rapi. Aku terdorong ke samping kanan hingga berputar. ”Dasar Udik! Kampungan! Di mana mata, Loe!” bentakan yang keras, telingaku panas. Bukankah aku yang seharusnya marah? Karena dia telah menggangu keasyikanku berkhayal! Sabar...! Keceriaan adalah buah janjiku pada Kakek. Aku tersenyum ringan, ”Maaf ya, Mbak,” segera kualihkan pandanganku. Sungguh, budaya indah Indonesia dengan segala keramah-tamahannya telah hilang dari generasi penerus negeri ini. Lihat saja, jasnya yang ketat dan kesempitan masih dipakai juga! Lihat juga rok mininya, sudah di atas lutut masih dibuat sempit juga. Tuhan! Hatiku menjerit pada-Mu. ”Apa! Loe, menghina Gue! Sampai melengos segala. Dasar gembel! Ini Jakarta, Bung! Lelet!” tangannya terangkat dan telunjuknya menyenggol kening bagian kanannya, hingga kepalanya sedikit tergerak ke kiri. Memang, di baju kemeja kuning yang kupakai ada tambalan tepat di arah ginjal, perut bagian kiri. Itu pun hanya satu, dan bukan berarti aku adalah gembel! Namun bukan itu yang membuatku terbakar amarah. Inikah kota indah yang menjadi idaman para anak kampung, Ibukota negeri ini? Tanganku gemetaran. Tapi, saat kuangkat hendak menyangkal. Wanita kota itu telah raib, hilang dari hadapanku. Manusia lalu-lalang, berseliweran bagai lebah, terlalu cepatkah jalan mereka? Atau memang waktu kini berjalan lebih cepat dari biasanya. Dan aku hanya terdiam. Kutatap langit, dan seolah semesta berjalan begitu cepat melampauiku. Sudah setengah tahun, semenjak aku di wisuda. Aku merantau di kota ini, mengadu nasib seperti anak-anak kampung pada umumnya. Bedanya aku bukan anak kampung karena aku selalu berpindah-pindah, entah sudah berapa kali aku pindah bersama Kakek. Sebenarnya posisiku lebih mudah, karena aku tidak memiliki tanggungan apa pun. Aku sebatang kara, bukankah begitu, Sobat? Kalian juga tahu bukan? Mungkin setiap jengkal kota ini telah kulalui. Hanya saja aku tidak sadar, aku hanya menuruti kakiku melangkah. Dari pagi, aku selalu menyingkap selimutku satu-satunya. Di depan ruko di pinggiran Kota Jakarta, tidur di emperan depannya. Bekal baju yang kumasukkan dalam tasku telah raib dicuri orang kala pertama kali aku menginjakkan kaki di kota ini. Sambutan yang terlalu meriah, sambutan yang mengejutkan. Dan itu tantangan bagiku. Untung saja ijazah-ijazah dan surat berharga masih ada. Aku pisah dengan tasku. Itu sudah cukup membuatku lega selega-leganya. Pagi aku berangkat dengan map, satu-satunya yang tersisa. Untung ada pak Rahmat, dia adalah tukang sapu di kompleks itu. Dia baik, dia memberiku uang. Aku sempat memfotokopi kertas lamaran. Namun dari sekian yang kusebar di beberapa perusahaan, semua berakhir tragis. Belum interview, aku sudah tidak lulus. Boro-boro interview, tes saja belum pernah kesampaian. Kini, sempurna map itu satu-satunya yang tersisa. Aku pulang ketika azan ’Ashar. Kubantu Pak Rahmat menutup ruko-ruko itu. Beberapa kali aku tidur di rumahnya. Namun, lama-lama aku tak enak. Karena isterinya teramat perhitungan. Gaji Pak Rahmat tidak seberapa, belum lagi empat anaknya yang masih kecil-kecil. Aku cukup paham, maka aku tidur di emperan ruko-ruko itu sambil sesekali mengobrol dengan satpam di sana. Aku menjadi teman ngobrol yang baik bagi Teguh, satpam satu-satunya yang menjaga di kompleks itu di malam harinya. Ba’da ’Ashar aku mencopot baju kuningku dan kucuci. Pasti, pak Rahmat menyediakan satu baju kepadaku, setiap berselang hari. Dan lusa, kupakai baju kuning satu-satunya itu. Berbekal kaus satu-satunya pula, aku meminjam keranjang milik Pak Rahmat yang dipakai membuang sampah, aku ikat dengan tali. Keranjang itu aku gendong di belakang, di pundakku. Kau tahu untuk apa? Aku mencari rongsokan, mencari botol-botol plastik yang dibuang setelah diminum, baik kuambil di tempat sampah karena orang yang membuangnya paham kebersihan, maupun dari sembarang tempat seperti di bawah pohon, di emperan, atau pinggir jalan raya karena mereka tidak paham bahaya berlaku jorok dan tidak menghargai kebersihan. Tapi, dari pengetahuan yang kudapatkan selama menjadi pengumpul rongsokan, sebenarnya banyak yang paham arti kebersihan, namun tetap saja membuang sampah sembarangan. Kau tahu, kenapa aku beranggapa seperti itu? Karena ini metropolitan, Bung! Pastilah mereka masyarakat terdidik. Beda lagi di kampung-kampung. Ah! Kau pasti lebih pandai. Aku pulang menjelang maghrib. Mandi di kamar mandi di dekat satpam, membilas tubuhku dengan siraman air. Kesegaran memancar melalui seluruh pori-poriku, di antara pedihnya hidup yang kujalani. Masih ada setitik kesegaran dapat kurasakan, di antaranya air dan udara. Inilah yang membuatku tetap bersemangat. Selalu ada kemudahan di setiap kesusahan. Itu yang kupelajari. Itu yang sering kudendangkan kala aku memberikan motivasi dulu. Dan itulah keyakinan yang menancap kuat di hatiku. Pasti akan ada, pasti! Akan ada jalan yang kucari. Biar pun metropolitan itu tidak menerimaku dengan lapang d**a. Mimpi-mimpi masih kuat tersimpan dalam memoriku, tak usah kau ragukan sedikit pun. Tentang impian menjadi yang terbaik, impian untuk sekolah lebih tinggi lagi, walau aku tidak tahu mata kuliah apa lagi yang diberikan ketika aku meneruskan kuliah. Kau juga jangan mempertanyakan tentang motivasi hidupku serta seluruh keyakinan yang selama ini kubangun. Karena aku memiliki keyakinan yang utuh dalam jiwaku, dalam dadaku, dalam hatiku. Tidak ada ujung dalam perjuangan, itulah prinsip hidupku. Tidak ada ujung dalam sebuah perjuangan kecuali sampai pada satu kata, ”kematian!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN