Berbekal uang tabungan Kakek yang tersisa, aku mendaftarkan diri untuk kuliah. Masih sisa, tinggal sisanya aku harus bekerja sambil kuliah. Aku tidak punya keahlian, aku hanya bisa mengandalkan otakku. Ya, otakku. Aku cerdas, bukankah kita adalah apa yang kita pikirkan?
Berbekal sebuah brosur yang kuketik sedemikian rapi, kufoto kopi, kutempel di setiap Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Aku tidak punya lembaga apa pun, maka aku hanya menyebarkan brosur di beberapa sekolah saja. Alhamdulillah, aku menerima tiga les private yang pertama, menghubungi lewat Hp butut keluaran baheula.
Big dream is big achievement.
Ya! Aku memang pemimpi, tapi tidak sekadar pemimpi. Aku akan merealisasikan mimpiku dalam tindakan nyata. Lebih baik memulai melangkah, daripada hanya menyimpan sebuah ide yang cemerlang, tetapi hanya disimpan dalam otaknya. Aku memang pemimpi, tapi pemimpi yang tahu diri.
Sedikitpun aku tidak takut bermimpi besar.
Waktu berlalu, beberapa teman memercayai kemampuanku untuk bergabung dalam tim training mereka. Tentu saja aku terima. Aku menjalani pelatihan, bertahap dan terus-menerus. Hingga aku mendapatkan kepercayaan diri, hingga aku mampu benar-benar berkata di depan umum dan menyampaikan motivasi pada mereka yang membutuhkan motivasi, pada mereka yang kehilangan orientasi, pada mereka yang lemah semangat.
Dari survei ringan, aku mendapatkan beberapa hal yang membuat orang takut bermimpi besar, tak berani bermimpi besar, dan mengenyahkan mimpi-mimpinya. Budaya masyarakatlah pertama yang membuat cara berpikir manusia takut berpikir besar. Untuk bermimpi besar dibutuhkan keberanian untuk melampaui keadaan budayanya, seperti Raybinson yang tidak percaya pada buku yang mengatakan bahwa kaca itu mudah pecah.
Ketakutan selanjutnya adalah, bahwa manusia takut dicap sebagai orang yang terlalu ambisius dan terlalu muluk-muluk dalam menghadapi masa depannya. Budaya, ’main aman’ telah menjadi gambaran pemikiran yang begitu kuat menggelayuti pikiran manusia. Ambil risiko rendah meskipun hasilnya biasa-biasa tetapi menang secara gengsi. Pakaian rapi ala pegawai negeri sipil, atau bahkan menggunakan segala cara untuk mendapatkan posisi aman, menunggu uang bulanan. Nilai aman.
Tapi, tak boleh menyamakan seluruhnya. Hanya sebagian saja. Masih ada yang benar-benar memperjuangkan nilai kebenaran, walau telah mendapatkan nilai aman, tetapi dia tetap profesional dan bertanggung jawab. Benar, kan?
Ketakutan ketiga dalam bermimpi besar adalah kata gagal. Ya, kegagalan. Ini sih pendapatku, karena orientasinya adalah hasil, dan bukan orientasi pada suatu proses dan kebaikan bagi dirinya dan orang lain. Di sini, kebanyakan mereka dihargai atas hasil yang telah dicapainya, dan bukan atas usaha serta kerja kerasnya. Penghargaan bagi mereka yang berusaha keras dalam proses kesuksesan sangatlah minim. Budaya ini membuat orang takut mencoba, takut akan kegagalan.
Budaya ketakutan berusaha keempat adalah adanya istilah nrimo. Mayoritas suku yang telah tersebar ke seluruh pelosok nusantara adalah suku Jawa. Konsep nrimo ini masuk begitu saja tanpa telaah yang lebih mendalam. Konsep nrimo sebenarnya mengajarkan kepada kita untuk tetap berbesar hati dan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta dalam kondisi seburuk apa pun. Namun, kenyataannya, konsep nrimo ini seringkali ditanamkan secara salah, sehingga justru membuat orang berpuas diri dan malas berusaha untuk menjadi lebih baik.
No pain no gain, no risk no gain. Sopo temenan bakal tinemu. Man jadda wa jada. But, Success is journey.
No problem.
Aku tak terlalu pusing memikirkan masa depan, apalagi takut. Rumus mudah yang kupakai adalah rumus kehidupan. Seperti ketika melihat angin yang berhembus setiap saat dengan kekuatannya, seperti air yang mengalir dengan kekuatannya, seperti gempa bumi yang berguncang karena kekuatannya, seperti laut dengan kekuatan ombaknya, menggulung dan meminggirkan sampah hingga ke pinggir.
Ya, aku cukup yakin dengan kekuatan yang ada pada diriku. Aku mempunyai akal, otak yang kapasitasnya tak terbatas, atau jika aku memang belum bisa aku pasti akan belajar untuk bisa.
Aku tidak takut gagal, aku tidak takut penderitaan. Aku sudah banyak mengalaminya bukan? Aku akan terus bersemangat. Semangat manusia tidak bisa dilumpuhkan. Jika kita masih bisa bernapas, maka kita masih bisa mempunyai impian. Kalau kita berani untuk mengejar impian kita, semua impian akan bisa tercapai
Yang terpenting dalam hidupku adalah memiliki sebuah tujuan, setidaknya tujuan jangka pendek. Dan tujuanku sederhana untuk sementara. Menyelesaikan kuliahku dengan nilai tertinggi. Itu cukup sementara bagiku. Aku akan berusaha keras, memenuhi pilihan. Menjadi yang terbaik.
Mengetahui tujuan Anda dan keinginan untuk mencapainya, tidak akan membawa Anda dekat kepadanya. Hanya tindakan yang mampu berbuat demikian.
Colombus dan Telur Rebus
Aku gemetaran. Langit di atas sana, membentuk figurasi wajah Kakek. Aku tersenyum, dan kubenahi posisi mikrofon yang terjepit di penyangga besi itu, hingga memudahkanku berbicara.
Aku mengucapkan salam setelah sekian lama berdiri. Semua mata tertuju ke arahku, semuanya tenang. Hening seperti pekuburan. Yang terdengar hanya suara alam yang pelan meningkahinya.
”Tiada perkataan sebaik syukur pada Allah yang menciptakan, karena semua hal adalah atas kehendak-Nya. Terima kasih atas waktu yang diberikan pada saya untuk dapat berbicara di sini. Saya ingin menyambungkan lidah seseorang yang teramat berarti bagi saya, dia adalah almarhum kakek saya. Dia selalu berkata, ‘Hanya orang yang memiliki tujuan yang jelas dan tepat, yang akan bisa mengatasi semua tantangan! Karenanya, bila kau sudah menemukan tujuanmu, maka semua hal akan dapat kau selesaikan!’
Itulah pesan kakek saya. Sebuah dorongan agar saya mempunyai tujuan dalam hidup ini. Tujuan yang harus diperjuangkan” Sekali lagi aku menatap langit, dan wajah membayang Kakek tersenyum teramat indah.
”Hidup ini haruslah kita jalani, karena itu adalah keniscayaan. Tidak ada kata menyerah dan pasrah, yang ada adalah tawakal. Ikhtiar dengan sungguh-sungguh. Yang paling rumit dalam hidup ini, dan patut kita pelajari adalah cara menjalani hidup kita.
Ya! Cara menjalani hidup.
Bagaimana Albert Einstein bisa menemukan teori relativitas? Bagaimana Thomas Alfa Edison bisa menemukan lampu? Bagaimana semua penemu dapat menemukan hasil temuannya? Ya, sekali lagi karena mereka tahu caranya.
Saya akan bercerita tentang Columbus, pelaut terkenal dari Italia. Suatu malam, ia datang menghadiri sebuah perjamuan makan, di mana dia diatur untuk duduk di antara tamu-tamu agung yang datang. Dalam perjamuan, ada seorang setengah baya yang telah mendengar keberhasilan yang dicapai oleh Columbus dalam menemukan pulau-pulau, dan ternyata lelaki tua itu sangat iri kepadanya.
Lelaki tua itu berdiri dan mendekati Columbus serta duduk di dekatnya.
Lelaki tua itu bertanya pada Colombus, ’Bila Anda tidak menemukan pulau-pulau, apakah tidak ada orang lain di seluruh dunia yang mampu menjalankan tugas seperti yang kau lakukan?’
Pertanyaan yang tiba-tiba itu menjadikan suasana perjamuan makan menjadi tegang. Semua yang hadir terdiam dan memerhatikan dua orang itu, Colombus dan lelaki tua itu.
Columbus tidak berkata apa-apa, dia mengambil sebutir telur yang berada di meja perhelatan. Dia mengajak orang-orang yang semejanya, untuk mencoba membuat telur rebus itu agar bisa tegak berdiri di atas meja. Bahkan seluruh pengunjung diperbolehkan untuk mencoba mendirikan telur itu.
Namun, tidak ada seorang pun yang berhasil melakukannya.
Ada seseorang yang berkata dengan keras, ’Telur rebus itu tidak mungkin untuk ditegakkan!’ Colombus tersenyum dan mengambil telur rebus itu, lalu diketuknya dengan ringan, di bagian salah satu yang lonjong menjorok pada meja. Ujung lonjong salah satu bagian telur rebus itu pecah sedikit, dan Colombus menegakkannya pelan-pelan di atas meja. Dan telur itu berdiri dengan sempurna, berdiri tegak.
Orang setengah baya yang bertanya tadi berujar mengeluh, ’Kalau begitu caranya, kami semua pun pasti bisa!’
’Benar! Jika Anda tahu bagaimana caranya!’ ujar Colombus mengeraskan suaranya dan berkata, ’Karena saya telah menunjukkan Anda jalan menuju dunia yang baru, tidak ada hal lain yang lebih mudah untuk kalian, kecuali mengikutinya! Dan itu lebih mudah.’ Setelah Colombus selesai bicara, orang setengah baya itu menjadi malu dan menundukkan kepalanya.
Benar kata Columbus, kita membutuhkan cara bagaimana menjalani hidup ini. Dan cara itu bisa didapatkan dengan belajar, belajar dengan sungguh-sungguh.
Tidak ada penyakit di dunia ini yang tidak ada obatnya! Hanya bagaimana caranya. Siapa yang mengetahui cara hidup yang lebih dahulu, dialah pemenangnya. Maka, kreativitas adalah sebuah perlombaan bagi para penuntut ilmu.
Seperti perjalanan dari Sabang sampai Merauke. Kini, dengan pesawat terbang, mungkin hanya dibutuhkan waktu yang singkat. Bagaimana jika dahulu? Mungkin hingga berhari-hari, berminggu-minggu, atau mungkin berbulan-bulan untuk sampai. Semakin cepat arus informasi, transfer ilmu yang didapatkan, tekhnologi yang berkembang demikian cepat, seolah membuat efektivitas waktu teramat membingungkan untuk memprediksi kurikulum pendidikan. Maka, bagaimana caranya melampaui metode yang biasa, karena waktu seolah tak efektif lagi.
Saya hanya berbagi apa yang ada dalam pikiran saya. Hingga hari ini, waktu yang telah terlewat membuat kita sadar, bahwa banyak yang telah kita lupakan dan kita sia-siakan. Namun, tidak ada kata terlambat karena sebenarnya kita telah terlambat demikian jauh.
Tugas kita sekarang, pasca kuliah ini adalah menemukan potensi kita, menemukan cara terbaik yang tepat. Menjemput harapan, dengan kesungguhan. Tidak ada lagi kata kemalasan, dan berhenti berkarya karena dunia telah menunggu karya-karya kita, menelurkan berbagai inovasi.
Dan, apakah kita sanggup?
Aku katakan, bahwa kita sanggup! Mental kita adalah mental pemenang, tanamkan dalam pikiran kita bahwa kita adalah pemberani! Dan kita berani menjemput kemenangan itu!”
Tepuk tangan riuh, menggelegar. Aku yakin mereka terbakar semangat, biarlah! Aku ingin darah-darah mereka bergolak dan bersemangat! Mengentaskan kemiskinan di negeri ini! Mengobati luka yang mengangga di tubuh Indonesiaku tercinta. Karena mereka adalah darah-darah baru yang lahir untuk kejayaan Indonesia. Negeri di mana aku dilahirkan, di mana kakekku dilahirkan dan membimbingku, negeri di mana nenekku, ibu dan ayahku juga dilahirkan, walau aku belum pernah melihat wajah mereka.
”Tidak ada kata kalah dalam kamus kita, yang ada hanyalah terus berjuang dan berjuang tanpa henti! Tidak ada kamus dalam hidup kita keberhasilan akhir! Karena kita akan terus berproses seperti kepompong, selalu dan terus-menerus mengembangkan diri.
Masa belajar kita tidak berhenti di sini. Jika ada biaya dan waktu, kita akan sekolah lebih tinggi lagi, jika tidak kehidupan yang mahaluas ini telah menyediakan terbuka setiap celahnya untuk kita pelajari, untuk kita kuak seluruh rahasianya.
Jika kita belum tahu cara menjalani hidup ke depan, jangan pernah berhenti untuk menemukannya, karena proses belajar adalah seumur hidup, long life education. Kita siap bersaing, berkompetitor dengan lulusan sarjana manapun, dengan lulusan sarjana Universitas ternama manapun di negeri ini, selama kita memiliki harapan dan kepercayaan, maka kita memenangkan setiap pertempuran!”
Gemuruh! Semua alumni berdiri dan mengepalkan tangannya dan ada yang bertepuk tangan riuh, suitan beberapa kali terdengar. Gegap gempita, aku tersenyum dan mengakhiri pidatoku.
Aku turun dari podium, sebagai pemenang! Kakek, aku telah memenuhi janjiku padamu, dan akan selalu kupenuhi janjiku dengan sepenuh kemampuanku. Kembali kutatap langit hingga aku duduk di kursiku kembali, kulihat kekuasan Allah yang begitu besar atas semua yang terjadi.
Kekuatan keyakinan. Kekuatan untuk meyakini seluruh potensi diri.