Laksa 18

2261 Kata
Laksa 18 "kita mau kemana kak?" Lika tidak tahan lagi, sejak tadi dia mencoba diam dan menahan rasa ingin tahunya saat Laksa tiba-tiba mengajak dirinya keluar dan meninggalkan Fira dengan sahabat Laksa yang belum Lika kenal sebelumnya, tapi dia tidak bisa menolak ajakan Laksa, terlebih Fira terlihat baik-baik saja untuk sekedar di tinggal dan sekarang Lika penasaran kemana Laksa akan membawanya pergi. "Belanja buah dan beberapa cemilan buat kamu?" Kedua alis Lika berkerut saat mendengar ucapan itu terlontar dari mulut Laksa. "Harus banget ya? Aku udah ada beberapa cemilan di kamar Fira btw." "Nggak papa buat stok aja biar nggak kehabisan." Jawab Laksa sedikit melirik kearah Lika yang ada di sebelahya, sebenarnya Laksa memiliki tujuan lain dengan mengajak Lika keluar seperti ini. Hanya saja Laksa tidak memiliki alasan lain agar wanita di sebelahnya mau mengikuti dirinya. Laksa tidak ingin Lika merasa bosan terus menerus di dalam kamar bersama Fira, Lika butuh suasana segar agar dia tidak stres. Terlebih kondisinya yang sedang hamil membuat Lika harus lebih tenang lagi. Itu menurut Laksa, tapi sayang dia tidak berani mengatakan hal itu terus terang. "Padahal kalo cuma beli jajanan gitu di kantin rumah sakit kan ada, kak." "Kan sekalian beli buah." Sebisa mungkin Laksa mencoba menutupi alasan yang sesungguhnya. Laksa mendengus karenanya, dia memilih diam dan mengikuti Laksa dalam diam, jujur dia kesal, tapi sekali lagi dia dan Fira berhutang banyak pada Laksa jadi dirinya lebih memilih diam dan mengikuti pria itu selagi perkataanya tidak aneh-aneh. Melihat wajah yang ditekuk, Laksa menahan tawanya, belum lagi dia merasa gemas dengan tingkah Lika yang menurutnya lucu. "Gimana kamu, dia baik kan?" Lika mendongakkan kepalanya, tidak perlu bertanya siapa 'dia' yang di maksud Laksa, karena sejatinya, dari tatapan Laksa saja Lika sudah tahu. "Baik...." Bisik Lika pelan dengan wajah tertunduk untuk menatap langsung kearah perut yang masih datar, beberapa hari ini bahkan dia melupakan jika dirinya tengah hamil, makan tidak teratur, istirahat kurang, dan bahkan s**u hamil yang di belikan Laksa pun Lika tidak meminumnya. Satu usapan lembut di atas kepala membuat Lika sedikit terkejut. Ada rasa nyaman yang menyusup saat menyadari jika tangan kokoh itu yang tengah mungusap kepalanya, bahkan Lika masih ingat bagaimana hangatnya dekapan Laksa tempo hari saat dia benar-benar hancur mendapati kabar sahabatnya kecelakaan. Dan sekarang, bayangan itu kembali berputar di kepalanya, ada sesuatu yang perlahan menyusup dari tingkah Laksa. Entahlah, nyaman yang dia rasakan dan sikap lembut dari Laksa, tidak pernah dia dapatkan dari Deon sekalipun. "Jangan bilang baik, kalo kamu sendiri masih kurang memperhatikan. Dia butuh perhatian kamu, dan kamu juga jangan terlalu memporsir diri kamu sendiri, apalagi memaksa untuk sesuatu yang harusnya nggak terlalu penting." Laksa menghela napas kecil dengan tatapan yang tak lepas menyorot Lika. "Kamu butuh istirahat, dan memberikan ketenangan untuk kandungan kamu. Itu lebih baik, apalagi kandungan kamu masih tergolong belia." Ingin rasanya Lika menjerit dan mengatakan "tolong jangan terlalu lebih membuatku nyaman, itu akan mempersulitku nantinya!" Sayang, Lika bukan tipikal orang yang berani mengatakan hal itu secara langsung, dia lebih memilih menunduk dan mencoba memendamnya sendirian. Lika tidak pernah menyangka jika Laksa akan melakukan semua ini, dia tidak tahu apa alasan yang mendasari itu, tapi Lika merasa ada sesuatu yang lain dari semua tindakan Laksa. "Kamu nggak kepingin apa gitu?" Tanya Laksa masih dengan tatapan tertuju pada Lika, dia masih berada di koridor rumah sakit menuju tempat parkir, bertemu dan berpapasan dengan beberapa suster yang tak jarang mencuri pandang ke arahnya, Laksa hanya memasang wajah datar untuk menanggapi sapaan dari mereka yang lalu lalang. "Udah jalan tiga setengah bulan kan?" Tanya Laksa lagi. Jika dia tidak salah, kandungan Lika memang sudah berjalan tiga setengah bulan sekarang ini, dan aneh rasanya jika melihat kondisi Lika yang masih terlihat biasa saja, tanpa muntah dan tanpa menginginkan sesuatu yang kata orang ngidam, padahal dalam diam, Laksa berharap Lika mengalami hal itu. Dan dia bisa menjadi sosok yang akan berusaha untuk mewujudkan semua keinginan Lika. Mungkin dengan itu dia bisa sedikit saja mengurangi beban yang Lika rasakan, dan dia tidak ingin anak yang dikandung Lika ileran nantinya, entah mitos atau bukan, tapi Laksa mempercayai itu. Jangan tertawakan Laksa, dia memang selucu itu kadang. Lika mengangguk kecil, dengan tatapan yang masih menunduk, dia malu untuk mengatakan apa yang dia rasakan. Jika boleh jujur, Lika sebenarnya menginginkan sesuatu yang mungkin di luar nalar kebanyakan ibu hamil, maka dari itu Lika lebih menahan diri untuk tidak mempermalukan dirinya sendiri. "Kamu beneran nggak mau apa-apa?" Lika menggeleng pelan hingga tanpa sadar mereka sudah sampai di parkiran, Laksa segera membuka pintu untuk Lika dan setelahnya dia berlari masuk kedalam kursi mengemudi, menjalankan mobil hingga meninggalkan pelataran rumah sakit. Lika terdiam dengan tatapan yang tak lepas melihat keluar jendela, melihat beberapa penjual kaki lima yang menyediakan jajanan yang begitu menggiurkan, sayang semua itu tidak sedikitpun pun menarik minat dari Lika. Dia tidak menginginkan hal itu, apapun makanannya tidak ada satupun yang bisa menggugah seleranya, Lika tahu dirinya aneh tapi hal itu memang tidak bisa dihindari. Laksa hanya diam menatap Lika yang masih enggan untuk bersuara, dia juga seolah kehabisan pertanyaan untuk Lika, dia bingung harus membuka percakapan seperti apa, karena nyatanya, Laksa bukanlah tipikal orang yang mudah memulai sebuah percakapan. Dia masih saja mencuri tatap kearah Lika dan fokus dengan jalanan yang cukup padat. Hingga satu helaan napas dari Lika membuat Laksa menoleh kilas, dilihatnya wanita itu menatap satu tempat yang membuat dia menoleh kebelakang, satu tempat yang laksa tidak tahu tempat apa, karena dia tidak terlalu fokus memperhatikan apa yang dilihat Lika, tapi satu hal yang pasti, Lika tidak pernah begitu tertarik dengan suatu hal hingga dia menatap sampai menoleh. "Lika?" Laksa yang sudah bingung dan tidak tahu apa yang diinginkan Lika menyerah, dia mencoba bertanya saat mereka berhenti sesaat di tengah lampu lalu lintas yang berwarna merah saat itu. "Kamu nggak mau ngomong?" Dari pertanyaan itu tentu saja Lika seolah paham apa arti Laksa mengatakan itu. Lika sedikit ragu untuk mengatakannya, terlebih apa yang dia inginkan benar-benar di luar nalar dan itu sangat memalukan, percayalah dia begitu ingin melakukan satu hal itu, tapi dia malu. "Lika?" Lika masih berusaha memikirkan bagaimana dia mengatakan apa uang dia inginkan, apalagi barusan dia melihat sesuatu yang benar-benar menggugah selera untuk segera memeluk dan mengecup seustu itu. Lika menunduk memainkan buku jari tangan dengan risau. Hingga helaan napas di ikuti mobil yang kembali berjalan, Lika masih berusaha untuk mencari celah untuk mengatakan apa yang mengganjal di hatinya. "Mas...." Laksa hanya melirik sekilas dengan sebelah alis terangkat tinggi, menunggu untuk Lika melanjutkan kalimatnya. "Itu ... Anu ...." Perkataan serat akan keraguan itu membuat seorang Laksa gemas bukan main, ingin rasanya dia mencubit pipi Lika yang terlihat sedikit membesar sejak terakhir kali dia lihat, walau ada kantung hitam di bawah matanya tapi tetap saja itu tidak membuat Lika kehilangan pesonanya di mata Laksa. "Kamu mau apa Hem? Bilang aja mumpung kita masih di luar." Lika bergerak gelisah dengan tatapan yang berlarian kesana kemari, dia bingung tapi setelah melihat apa yang dia inginkan tadi, gejolak dalam dirinya tidak bisa dia tahan lagi. "Pengen cium aroma ban baru." "Hah?" Lika menoleh sejenak, bukan terkejut, hanya saja suara Lika terdengar begitu lirih dan samar di dalam pendengarannya. "Kamu mau apa tadi?" Laksa masih mencoba memastikan. Lika sedikit mengangkat wajahnya untuk melihat bagaimana reaksi Laksa, terlihat beberapa kali pria itu menoleh kearahnya dan kembali menatap jalanan. "Mau cium aroma ban baru." Ulang Lika dengan intonasi cukup keras dan berusaha memperhatikan bagaimana reaksi dari Laksa. Dia tahu keinginannya memang aneh, dan entah kenapa hanya itu yang terbayang di kepalanya, aroma ban baru, aroma karet Hitam itu begitu terbayang di kepalanya. "Ban?" Tanya Laksa dengan kedua alis mengerut. Lika mengangguk pelan dengan tatapan masih tertuju pada Laksa. "Ban mobil?" Lika menggeleng pelan kali ini. "Ban apa aja. Aku mau cium aroma ban." Ucap Lika sedikit berbisik. "Aneh ya, kak?" Tanya Lika mencoba memastikan lagi. Jika saja dia tidak memikirkan perasaan Lika, mungkin Laksa sekarang akan tertawa dengan kencang, sayang dia masih menjaga perasaan dari wanita hamil di sampingnya. Jujur ingin rasanya Laksa tertawa mendengar keinginan dari Lika. Dia tahu wanita ngidam itu memang aneh-aneh, tapi apakan ini juga termasuk orang ngidam? Astaga perut Laksa terasa sakit hanya karena menahan tawa sejak tadi. "Enggak kok." Jawab Laksa sambil berdeham untuk menetralkan suaranya, dia mencoba untuk mengendalikan diri agar tidak tertawa karena tingkah konyol dari Lika. "Kamu mau cium aroma ban?" Lika mengangguk kecil. Membuat Laksa terdiam sebentar untuk mengingat sesuatu. Lalu menoleh pada Lika kembali. "Ban apa aja kan?" Tanya Laksa untuk meyakinkan lagi. "Apa aja sih, asal masih baru." "Mau dibawa pulang, apa cuma sekali cium aja?" Lika terdiam sesaat, dia tidak memikirkan untuk itu, dibawa pulang atau dicium di tempat? Dia bingung, karena yang dia inginkan hanya menghirup aroma dari ban baru saja, walau dia sendiri tidak tahu bagaimana memikirkan agar bisa menuruti keinginannya. Jika dia datang ke toko ban atau bengkel uang menjual ban baru, dan mengatakan dia ngidam itu bisa saja dia lakukan, tapi rasa malu masih membuat dia bertahan untuk tidak melakukan itu. "Sekali cium aja deh kak." Jawab Lika pelan, dia malu, tapi semua sudah terlanjur, dia sudah kepalang ingin dan mungkin Laksa bisa menuruti keinginannya. "Ya udah kalo gitu, nanti pulang kita mampir ke garasi, semoga masih ada cadangan ban baru di sana." Ujar Laksa setelah mengingat jika beberapa bulan lalu dia memberi beberapa ban baru untuk kendaraan ekspedisi yang mulai rewel dan mulai tipis, atas saran dari kepala garasi untuk keamanan pengiriman, dan semoga saja masih ada beberapa ban yang tersisa agar Laksa tidak perlu repot untuk mencari ban baru di luaran sana. Bukan repot, hanya saja dia tidak ingin Lika malu karena hal itu. Tidak terbayang jika sampai Lika benar-benar nekat dan memeluk ban baru atau menciumnya di tempat dan disaksikan banyak orang, membayangkan itu saja membuat Lika meringis kecil. Lika yang cantik dengan anehnya memeluk ban baru, mungkin itu akan menjadi viral. "Beneran bisa, kak?" Tanya Lika dengan nada antusias, ada sesuatu yang terasa lega saat Laksa akan mengusahakan untuk dirinya, dan itu benar-benar luar biasa. Entahlah kenapa Laksa begitu peduli padanya, apakah karena Laksa masih berusaha keras untuk bertanggungjawab atas apa yang adiknya perbuat? Jika iya Lika akan kecewa karenanya, karena Lika mengharapkan sesuatu yang lain untuk semua hal yang diharapkan dirinya. Anggukan dari Laksa membuat Lika bertepuk tangan kecil karena refleks, ada rasa senang karena perkataan dari Laksa yang membuat dia lupa dengan sekitar, dan itu berhasil membuat Laksa merasa gemas karenanya, Lika memang seunik itu dimatanya. Dan Lika adalah sosok yang entah kenapa berhasil menarik perhatiannya. °°°Laksa untuk Lika... Mereka baru saja turun dari mobil yang sudah terparkir di tempat parkir semua tempat perbelanjaan yang cukup ternama di daerahnya. Laksa segera menyusul langkah Lika yang sudah lebih dulu masuk dan meraih keranjang untuk tempat belanjaannya sebelum berburu beberapa buah dan cemilan lainnya untuk persediaan nanti di rumah sakit. Melihat Lika Menteng keranjang dengan cepat Laksa mengambil alih keranjang tersebut. Membuat Lika mendengkus kecil sebelum berlalu meninggalkan Laksa yang dengan santainya mengikuti langkah Lika. Lika memilih beberapa makanan ringan yang mengandung banyak MSG, sesuatu yang membuat Laksa tidak suka, bahkan tanpa sepengetahuan Lika, Laksa mengembalikan beberapa kemasan yang dia rasa tidak baik untuk kesehatan Lika, apalagi perempuan itu tengah mengandung, makanan berMSG tentu tidak dianjurkan untuk Lika. Laksa masih saja mengikuti langkah Lika yang sudah memasukan beberapa makanan lainnya seperti roti dan crikers, lalu s**u dan terakhir beberapa buah yang bisa tahan beberapa hari, seperti apel, jeruk dan mangga. Lika suka mangga, itu yang laksa ketahui, dan wajar saja jika Lika membeli beberapa mangga segar untuk dirinya sendiri. Setelah perburuan yang memakan waktu cukup lama dan membuat kaki Laksa terasa pegal, akhirnya mereka sampai di tempat pemberhentian terakhir. Kasir, hanya saja Lika sedikit terkejut saat melihat keranjang yang dia rasa sudah diisi dengan beberapa makanan ringan kini hanya tersisa beberapa data, roti s**u minuman larutan dan juga beberapa buah yang terlihat semakin banyak dari porsi yang Lika ambil tadi. Lika menatap Laksa dengan tajam. Menuduh jika pria itu adalah pelaku utama yang menghilangkan segala makanan ringan yang menjadi makanan paling terbaik menurut Lika, wanita itu menatap sengit dengan bibir mencebik, sedangkan Laksa dengan santainya tidak menganggap tatapan Lika, dia malah mengeluarkan dompet dan menunggu kakak penjaga kasir selesai menghitung belanjaan mereka. "Ada lagi kak, rotinya sekalian selagi diskon dan masih hangat." Mendengar tawaran dari kakak kasir, Lika yang sudah kesal langsung menyeletuk ringan. "Rotinya 20 ya mbak." Laksa menoleh cepat, menatap tak percaya pada Lika yang kini tengah asik memilih beberapa coklat yang ada di sebelah kirinya. Lalu tangannya meraih dua buah Silverqueen berukuran sedang dan mengulurkan pada kakak kasir. "Coklatnya sekalian kak." Laksa hanya mendengkus kecil, tak urung dia tersenyum sembari menggeleng pelan saat melihat tingkah kesal dari Lika, wanita itu memang selalu membuat dia geleng kepala hanya karena tingkah konyolnya. "Ini saja kak, ada yang lain?" Tanya si kakak kasir sembari mencuri pandang pada Laksa, dan itu membuat Lika sedikit kesal. "Nggak kak itu aja." Jawab Lika cepat dengan senyum tipis dan membuat si kakak kasih sedikit terkejut lalu menyebutkan nominal yang harus Laksa bayar untuk jajan yang Lika beli. Lika memilih meraih kantung pelastik itu dan berlalu meninggal Laksa yang tengah menunggu yang kembalian. Lika merasa kesal saat melihat Laksa dengan santainya menanggapi senyum dari si kakak kasir. Lalu saat dia sadar dengan apa yang dia rasakan, Lika menghentikan langkahnya dan terdiam sejenak. Apa dia benar-benar merasa kesal hanya hal sepele seperti itu? Ah ... Tidak mungkin, Lika hanya kesal karena Laksa mengurangi jatah makanan ringan yang menjadi favoritnya sebelum ini. Yah ... Lika kesal karena hal itu, bukan hak yang lainnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN