Laksa 17

2044 Kata
Bau obat dan segala jenis aroma yang menyengat, Lika tidak menyukai itu, sampai kapanpun dia tidak akan pernah menyukai suasana rumah sakit. Jika saja bukan karena Fira yang di rawat sekarang, percayalah Lika enggan dan tidak akan sudi terlalu lama berada di dalam ruangan rumah sakit. Walau VIP sekalipun yang kata orang bebas dari aroma obat dan nyaman untum ditinggali, tetap saja bagi Lika rumah sakit adalah segala hal mengerikan, sudah menjadi satu paket hal yang akan dia jauhi. Seperti sekarang contohnya, Lika sudah kesekian kalinya berada di toilet, bukan untuk mengurus Fira, tapi mengurusi perutnya sendiri yang sejak tadi bergejolak dan selalu saja memuntahkan apa yang dia makan, Lika benci muntah, karena saat hal itu terjadi, ada satu gas atau aroma yang baik keatas hidungnya dan membuat hidung Lika merasa panas. "Lo kenapa? Nggak papa kan?" Lika menatap sang sahabat yang kini masih terbaring lemah di atas tempat tidur, walau sesekali Lika sudah memaksa sahabatnya untuk duduk dan membiasakan tubuhnya bergerak walau harus di paksa sekalipun, tapi tetap saja Fira masih lemas karenanya, bahkan kakinya masih terasa ngilu dan perutnya masih terasa perih. "Nggak papa kok, muntah sedikit tadi. Biasalah." Jawab Lika memilih duduk tepat di sebelah Fira. Tangannya tidak tinggal diam, dia meraih satu buah jeruk di dalam lemari kecil yang menjadi tempat serba guna di saat itu, selain menjadi tempat penyimpanan makanan, kemarin itu juga berguna untuk menaruh segala keperluan Fira yang terkadang suka dadakan. "Jangan di paksa kali, kasian dedeknya." Seperti biasa, Lika akan selalu mengabaikan perkataan seperti itu dari sahabatnya, dan Lika benci saat Fira mengatakan dia tidak apa-apa jika di tinggal oleh Lika sekalipun. Tidak apa-apa katanya? Bah! Ke kamar mandi saja masih butuh tuntunan dari Lika, dia bilang nggak papa? Lucu sekali, kakak! Sayang, Lika tidak setega itu untuk melantunkan kalimat yang begitu menyakitkan. Walau dirinya tahu jika sahabatnya itu bukan tipikal orang yang akan memasukan kedalam hati apapun yang di ucapkan. Fira orang yang enjoy, dan mudah untuk bercanda. "Nggak papa, bentar lagi juga baikan kok. Udah  gue olesi minyak angin tadi." Fira tersenyum tipis, tatapannya dia larikan untuk menatap langit-langit, laku tangan kanannya dia luruskan keatas tepat di atas kepalanya, beberapa kali dia menggenggam tangannya, dan membukanya kembali, begitu seterusnya hingga dia merasa lelah lalu meletakan tangannya untuk menutupi wajahnya. "Gue ngerepotin ya?" Fira berkata dengan suara parau dan kekehan kecil seolah menertawakan nasib buruk yang sudah menimpa dirinya. "Jangan ngomong gitu! Selama ini gue kali, yang selalu ngerepotin elo!" "Gue nggak merasa terbebani karena adanya Lo, gue malah seneng, tapi sekarang, gue cuma seonggok sampah yang nggak berguna tahu nggak!" Lika menghentikan kegiatannya, tangannya mengepal erat, bahkan sepasang kelopak mata itu menutup dengan sempurna seolah menerka apa maksud perkataan Fira. "Jangan pernah ngomong kagak gitu! Lo tahu kan gue paling nggak suka sama orang yang kayak gitu!" Fira tidak membalas, melainkan terkekeh kecil dengan nada yang terdengar begitu menyayat. "jangan ngomong kaya gitu, Lo seolah-olah nyuruh gue untuk berpikir positif di saat seperti ini, tapi nyatanya? Gue sama sekali nggak bisa, gue nggak sekuat yang Lo banyangin Lika. Gue lemah, gue bahkan nggak pernah kebayang sekalipun untuk ada di posisi ini, karena gue tahu gue nggak yakin mampu!" "Lo bisa Fira, Lo bakal bisa ngejalani apa yang menurut Lo nggak mampu." Lika meletakan jeruk di atas mangkuk kecil sebelum menatap Fira dengan tajam. "Liat gue?! Lo tau apa yang gue rasain sekarang? Gue udah semacam sampah yang cuma sekali pakai langsung buang setelah gue nggak berguna! Gue udah nggak ada tujuan lagi sebelum Lo Dateng dan kasih gue harapan. Tapi sekarang? Lo malah nyerah dengan segala hal yang Lo pikir nggak mungkin. Terus apa gunanya gue bertahan selama ini? Apa gunanya gue belajar kuat selama ini? kalo aja Lo malah nyerah sama keadaan!" Fira tidak menjawab, bahkan tatapannya pun tidak teralihkan dari langit-langit kamar. Entah mendengar atau tidak, tapi bibir tipis itu terlihat tersenyum kecil sebelum berucap. "Gue nggak tau. Bahkan di saat posisi gue yang kayak gini pun, mas Panji nggak Dateng untuk gue...." Tangannya kembali terangkat, tatapannya berlari menyisir tiap jemari dan berhenti tepat di hari masih yang melingkar satu cincin emas di sana. Lika tidak bisa berkata lagi, apa yang dia takutkan terjadi juga akhirnya, lambat lain Fira akan menanyakan hal ini, sedangkan Lika belum siap untuk itu. Dia belum siap melihat satu-satunya orang yang dia miliki terpuruk dalam keadaan. Lika yakin itu, bahkan Fira sendiri yang sudah jujur mengatakan hal itu. Maka Lika ragu untuk mengatakan hal yang sebenarnya. "Harusnya dia datang dan kasih semangat ke gue, biar gue nggak jenuh terlalu lama di sini." Lika tersenyum, sesuatu yang hanya bisa dia lakukan sekarang. "Sabar aja deh, Fir. Gue yakin kalo dia juga sebenernya pengen jenguk lo, tapi emang keadaan aja yang nggak memungkinkan untuk itu." "Mungkin ... Dia sibuk banget sih." Lika tidak menjawab, dia memilih diam dan berusaha mengalihkan perhatian Fira, terlalu banyak berbohong bukan sesuatu yang bagus untuk Lika. Meraih jeruk yang sejak tadi terabaikan, Lika membelahnya, membersihkan satu siung sebelum menyuapkan pada Fira yang termenung. "Udah jangan dilamunin." Fira mengangguk kecil, menerima jeruk itu sembari menatap sang sahabat yang begitu telaten merawat dirinya sejak kemarin. "Gimana? Udah mendingan apa masih perih kaya semalem?" Lika ingat, semalam Fira merintih, mengeluh kesakitan dan merasa perih di bagian perut dan kaki yang begitu ngilu, Fira membuat dirinya tidak tidur karena harus menemani Fira yang menangis seperti anak kecil. Lika tahu, sakit yang Fira rasakan memang luar biasa dan Lika memaklumi itu. Dia tidak mengeluh, tapi efeknya sekarang matanya begitu berat, Lika ingin tidur barang sebentar saja, tapi apa daya, Fira belum tidur juga sejak semalam, dan membuat Lika memilih untuk bertahan, sedikit lagi, batin Lika. "Udah mendingan, tapi kalo kaki masih kerasa ngilunya." "sabar, sebentar lagi mendingan kok, kan tadi udah minum obat." Fira mengangguk kecil, dengan mulut yang masih mengunyah jeruk dengan tatapan tak lepas dari langit-langit kamar. Bagai seorang ibu yang mencoba memberi pengertian untuk anaknya, Lika merasa geli dengan apa yang dia lakukan. Apakah dia sudah pantas menjadi seorang ibu sekarang? Dan apakah dia harus mulai terbiasa dari sekarang? Entahlah, membayangkan itu saja perutnya mendadak mulas, ada sesuatu yang berterbangan di dalam sana. "Lika ...!" Seruan bernada lirih dan terkesan ragu-ragu itu membuat Lika mendongak, menatap sahabatnya itu. "Ya." "Gue kebelet." Ada cengiran lucu yang Fira berikan dan itu membuat Lika tertawa karenanya. "Sebentar." Lika beranjak, lalu mengambil sebuah peralatan yang kemarin dia gunakan untuk membersihkan kotoran Fira, baru pertama kali kemarin Lika belajar menggunakan itu, dan sekarang dia seolah sudah terbiasa. "Emm. Gue lebih baik ke toilet deh." Lika mengerut kening. Lalu mencebyuk pelan. "Udah sanggup emang? Udah bisa jongkok?" Tanya Fira sembari mengejek, membuat Fira terdiam sesaat. "Nggak usah banyak gaya. Buru pake ini aja." Lika segera menyiapkan apa yang harus di gunakan sahabatnya itu untuk membuang segala isi di dalam perutnya. "Wc toilet duduk apa jongkok?" Lika menghentikan kegiatannya untuk melihat sang sahabat. "Duduk, kenapa emang?" "Gue ke toilet aja kalo gitu." Putus Fira berusaha untuk beranjak duduk. Tapi begitu sulit saat perutnya tiba-tiba terasa ngilu, Fira merintih kecil tapi dia tetap keras kepala untuk melakukannya. Dia tidak ingin sahabatnya merasa jijik jika harus mengurus sesuatu yang seharusnya tidak dia lakukan. "Fir? Jangan keras kepala deh!" Lika dengan sigap membantu sahabatnya untuk duduk. Kata dokter Fira memang harus membiasakan diri untuk bergerak, tapi sepertinya sekarang belum saatnya. Lika hanya takut luka jahit di bagian perutnya menganga karena pergerakan Fira. "Nggak papa, gue bisa kok." "Yakin?" Tanya Lika dengan kedua alis berkerut, Fira hanya mengangguk kecil. Walau dirinya tidak begitu yakin untuk itu, tapi setidaknya dia sudah mencobanya, berdiam diri bukanlah gaya Fira. Perlahan dia menurunkan kakinya, lalu sebelah kakinya lagi yang di gips, hingga dia merintih panjang begitu tanpa sengaja sedikit pergerakan berhasil membuat rasa ngilu itu kembali hadir. "Nah kan nggak percaya. Udah lah kaya kemarin aja." Ucap Lika dengan panik dan mencoba menahan Fira. Tapi dasar perempuan keras kepala, Fira tidak berhenti. Dia mencoba berdiri dengan satu kaki yang menurutnya masih kokoh. Dengan sebelah tangan berpegangan pada sisi ranjang, dan sebelahnya lagi mencoba mengelus bagian perut yang terasa sakit. Fira berhasil berdiri, dan berhasil membuat Lika menahan napas barang sejenak. "Lo!" Makian Lika tertahan sebentar, sebelum merangkul sahabatnya itu dengan kuat. "Batu bener sumpah!" Fira mengabaikan makian itu, dia berusaha melangkah dengan tertatih, belum lagi dia tidak berani menggunakan satu kakinya untuk menapak, jadilah Lika menjadi satu-satunya tumpuan yang dia miliki. Tubuh mungil Lika tidak sebanding dengan tubuh besar milik Fira, sesuatu yang aneh tentu saja, karena memang sejak dulu, Lika hanya memiliki tinggi sebatas d**a Fira, dan sekarang karena ukuran mereka yang berbeda, Lika sekonyong-konyong kesusahan untuk menahan berat tubuh sahabatnya. Dan sesuatu hampir saja terjadi saat Lika benar-benar tidak sanggup lagi menopang tubuh Lika. Mereka limbung dan hampir saja terjatuh jika saja sosok yang baru saja datang itu tidak menghalaunya. Sepasang tangan kokoh itu menahan tubuh Fira dengan sigap, hingga Lika menghela napas pelan saat sedari tadi dia menahan napas karena terkejut. Dia berpikir dirinya dan Fira akan terpelanting di atas ubin karena dia tidak kuat menahan bobot tubuh sahabatnya. "Kalian ngapain?!" Suara berat itu keluar begitu saja dsn membuat Lika memilih menunduk, intonasinya terdengar tajam dam membuat buku kuduk Lika meremang. "Mau ke toilet." Fira dengan santainya menjawab pertanyaan sosok yang sejak tadi memegang kedua pundaknya. Fira mengulurkan tangan pada Lika, meminta agar sahabatnya itu kembali menopang dirinya. Hanya saja Lika yang masih terkejut malah sibuk menunduk dan bungkam. "Emang udah boleh gerak?" Lika mengangguk kecil. "Dokter bilang udah boleh, tapi nggak tau kalo jalan ke kamar mandi!" "Kenapa nggak pake alat bantu?" Lika termenung sejenak, bukannya Fira di berikan alat bantu berjalan berupa tongkat, lalu kenapa Lika melupakan itu, astaga. Dia mendongak, menatap Laksa dengan ringisan kecil. Lika merutuki kebodohannya. "Aku lupa, kak." Setelahnya Lika berusaha mengambil alis Fira dari Laksa, tetap saat dia melihat ada gurat tidak nyaman dari sahabatnya itu. Laksa mendengkus kecil, dia memang menghawatirkan keduanya, terlebih Lika. Bukankah wanita itu tengah mengandung, dan usianya masih begitu muda, lalu jika tadi dia terjatuh dan tertimpa tubuh besar Fira. Apa yang apa. Terjadi karenanya? Membayangkan itu saja Laksa tidak sanggup. Laksa tidak melepaskan Fira begitu saja. Dia masih membantu menuntun tubuh Fira hingga benar-benar berada di dalam kamar mandi. Setelahnya dia memilih keluar dan membiarkan Lika berada di dalam untuk membantu sahabatnya. Urusan perempuan dia tidak mau ikut campur. Laksa memilih menunggu di rumah pintu, takut jika lantai yang licin malah membuat mereka terpelanting lagi nantinya. Tak lama Lika keluar dari sana dengan wajah yang di tekuk. "Kenapa?" Satu pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Laksa "Biasa, Fira dengan sifat keras kepalanya yang sulit di atur!" Laksa menggigit bibirnya menahan tawa yang bisa saja keluar saat melihat bagaimana tampang Lika yang terlihat begitu menggemaskan saat mengerucutkan bibirnya. "Mungkin dia malu, biarin aja." "Tetep aja, kalo dia kepleset di dalem gimana!" Seperti biasa. Laksa hanya menanggapi ucapan Lika dengan senyum yang tak pernah luntur, dan itu membuat Lika merasa ... Sulit untuk menjelaskan apa yang Lika rasakan, dia hanya merasa begitu dihargai dan ... Di lcintai, mungkin, saat senyum tulus itu tidak pernah luntur tiap kali berhadapan dengan dirinya. "Nggak papa, toh kita di sini," "Tetep aja, kak!" "Udah nggak papa. Jangan memaksa sesuatu yang membuat orang nggak nyaman. Nggak baik." 'Juga jangan memaksa sebuah hati untuk luluh hanya karena tingkah mu yang terlihat begitu tulus untukku' Lika hanya bergumang di dalam hatinya, dia tidak berani berucap untuk itu. Lika lebih nyaman menyimpan segala gundahya di dalam hati. Lika memilih mengangguk, dan mengedarkan pandangannya untuk mengalihkan perhatian dan mengenyahkan desiran kecil di dalam dadanya. Hingga kerutan di kedua alisnya saat melihat sosok lain yang tengah duduk di atas sofa membuat Lika menoleh cepat kearah Laksa. Mencoba bertanya dari tatapan matanya yang di buat tajam, bukan menyeramkan justru malah terkesan menggemaskan di hadapan Laksa. "Dia sahabat aku, iseng ikut mampir kesini, karena kebetulan tadi kita nggak sengaja ketemu di lobi rumah sakit." Bukan itu yang ingin Lika tanyakan, tapi kenapa Laksa tidak memberitahu kepada dirinya jika ada sosok lain di sini sekarang ini. "Namanya Ugi. Sahabat kakak dari jama. SMK." Lika mengangguk kecil, sembari memberi senyum ramah untuk menghargai seorang tamu. Dia tidak mungkin memasang tampang jutek hanya karena tidak suka. Toh mau bagaimanapun dia adalah sahabat Laksa, dan Lika tidak bisa melarang untuk itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN