Laksa 19

1638 Kata
Laksa 19 "Lika!" Mengabaikan teriakan Laksa, Lika terus saja melangkah cepat hingga dia berhenti saat sampai di sambil mobil, bahkan saat Laksa membuka kunci mobil, Lika tidak seperti biasanya yang menunggu pria itu untuk membukakan pintu seperti biasanya, Lika memilih langsung membuka pintu di sampingnya dan masuk terlebih dahulu. Laksa menatap kelakuan Lika dalam diam. Ada seutas senyum terukir tipis di bibirnya, Laksa merasa ada sesuatu yang membuat dia berbunga, bolahkah laksa menganggap jika Lika cemburu karena interaksi dirinya dan kakak kasir tadi? Laksa berjalan dengan santai menuju mobil dan masuk setelahnya, diliriknya sebentar Lika yang langsung membuang wajahnya saat Laksa sudah duduk tepat di sebelahnya. Laksa menghela napas sebentar sebelum memundurkan mobilnya dan berputar untuk berbaur dengan tumpukan kendaraan siang itu. Perjalanan mereka di temani dengan keheningan, bahkan Laksa sengaja tidak memutar musik untuk sekedar mencairkan suasana, Laksa ingin melihat sampai mana Lika mendiamkan dirinya, sungguh lucu apa yang dia rasakan saat ini. Sama seperti Laksa, Lika memilih diam sepanjang jalan, dia merasa kesal dan tentu saja karena dia tidak boleh mengambil beberapa makanan ringan tadi. Merasa bosan Lika meraih kantung belanjaannya tadi, lalu mengambil satu coklat yang sudah dia beli tadi, wanita itu butuh asupan manis untuk menghilangkan mood yang saat ini tengah anjlok karena perbuatan Laksa tadi, hingga mereka melewati satu toko otomotif yang memajang beberapa ban baru di etalase bagian depan, Lika menetap toko itu sampai menoleh kebelakang karena mobil yang dikendarainya melewati toko itu. Lika sampai melupakan coklat di tangannya. Hal itu tak lepas dari tatapan Laksa, kebetulan dia melewati jalan di daerah Garuntang, tempat dimana garasi ekspedisi yang menjadi tempat parkir kendaraan besar berada. Sesuai janji yang dia ucapkan tadi, Laksa membelokan mobilnya pada gang yang diisi dengan beberapa kendaraan berukuran besar di sisi jalan. Lika menoleh seketika saat merasa mobil yang di kendarainya tidak melewati jalan menuju rumah sakit. "Kita kemana?" Tanya Lika dengan kerutan di keningnya. Namun sayang, pertanyaan Lika tidak langsung dijawab oleh Laksa, pria itu malah menoleh sekilas dengan memasang senyum tipis lalu kembali menatap jalanan. Merasa semakin kesal, Lika melipat kedua tangannya di depan d**a setelah meletakan coklat yang dia makan tadi di atas dasbor. Membuang tatapannya keluar jendela dan menekan rasa penasarannya dalam-dalam. Tak lama, Laksa berhenti di sebuah tembok besar dengan gerbang yang juga besar di hadapannya, Laksa membunyikan klakson beberapa kali hingga gerbang di hadapannya itu terbuka lebar. Terlihat beberapa kendaraan besar seperti Fuso dan kontainer terparkir rapih di dalam sana, lalu seorang satpam menyambut Laksa. Perlahan laksa menjalankan mobilnya untuk masuk ke pekarangan garasi. Terlihat beberapa orang yang sepertinya sopir mobil kendaraan besar itu, dan Lika hanya melihat dari dalam mobil. "Ini garasi tepat mobil ekspedisi parkir, dan mereka semua para sopir yang kerja di perusahaan aku." Lika mengangguk kecil, dia masih memperhatikan tempat yang baru saja dia masuki, dan ini kali pertamanya Lika melihat sesuatu yang baru. "Turun yuk!" Lika terkejut sebentar, dia terlihat ragu untuk turun, terlebih tampang orang-orang bertato itu membuat dia meringis kecil. "Yakin kita turun?" Laksa tersenyum sembari mengangguk kecil, lalu memilih turun dan berputar untuk membuka pintu mobil sebelah Lika. "Nggak papa, mereka baik kok." Sedikit ragu, Lika memilih turun, lalu tak berapa lama ada seseorang yang datang menghampirinya. Pria bertubuh tinggi dengan rambut panjang itu terlihat menunduk sebentar. "Pak, tumben datang." Laksa tersenyum, menepuk pundak si pria tadi yang sebelum menoleh kearah Lika. "Kebetulan tadi lewat, sekalian mampir." Laksa menyapu pandangannya, melihat beberapa supir yang tengah bercanda gurau sembari menunggu jatah muatannya. "Gimana muatan? Lancar?" Tanya Laksa lagi. "Puji syukur pak, lancar. Kebetulan saya baru saja selesai muat, mau langsung berangkat." Pria itu tersenyum ramah, terlihat begitu menghormati Laksa. Dan interaksi kedua pria itu tidak lepas dari pandangan Lika. Wanita itu merasa aneh saat melihat Laksa yang biasanya banyak diam kini terlihat begitu berwibawa dengan tatapan yang begitu tegas dan bersahabat. "Udah ambil DO?" "Ini mau ambil pak," "Ya udah sana ambil, sebelum Linda ngeromet nanti. Tau sendiri Linda itu kayak gimana." Laksa terkekeh sebentar yang menular pada pria di hadapannya. "Ya sudah kalo gitu, saya permisi dulu pak." Laksa mengangguk membiarkan pria itu berlalu, pergi. Lika menarik ujung kemeja yang di kenakan Laksa. Dia merasa tidak nyaman di sana, apalagi saat banyak tatap aneh tertuju kepadanya, seolah membuat Lika merasa menjadi bahan perhatian. "Nggak papa, yuk masuk!" Lika menurut. Dia mengikuti langkah Langsa menuju satu bangunan yang terlihat lebih rapih dan bersih, dan bisa Lika tebak jika itu adalah kantor milik Laksa. "Itu tadi namanya Junet, dia sopir paling lama yang udah kerja di sini." Jelas Laksa sembari melangkah masuk kedalam ruangan. "Terus masih banyak lagi yang kerja di sini, semua menggantungkan hidupnya di jalan, makanya sebisa mungkin aku kasih fasilitas untuk keamanan mereka di jalan." Bukankah itu wajar untuk sebuah pekerjaan, dimana keamanan harus diutamakan? Nyatanya apa yang Lika pikirkan tidak seperti itu. Banyak sopir yang mempertaruhkan nyawanya di jalan dengan membawa mobil yang sudah tidak layak pakai, Laksa tidak ingin orang yang bekerja di bawahnya mengalami hal yang mengenaskan, Laksa berusaha keras untuk memberikan fasilitas yang bisa di bilang layak untuk para pekerjanya. Lika terpaku sesaat begitu kakinya menginjak kantor yang menjadi karyawan operator bekerja. Terlihat rapih dan nyaman, sesuatu yang membuat Lika betah seketika. Hingga tatapannya bertemu dengan seorang wanita yang tengah mengomel pada pria yang bernama Junet tadi. Lika jadi mengerti apa yang di maksud Laksa tadi. "Jangan ngomel terus, Nda. Cepet tua nanti kamu!" Laksa terkekeh kecil, dia menarik satu kursi untuk Lika duduk. Wanita yang sering disapa Linda itu terkejut sebentar sebelum menunduk sembari meromet kecil, dia menarik sebuah kertas dan dia masukan kedalam amplop sebelum diberikan pada Junet. "Besok jangan ngaret lagi, yang lain udah berangkat, kamu masih di sini aja!" "*Iya, cik, tadi itu ada masalah di jalan makanya lama." "Alesan, udah sana berangkat!" "Iya, cik. Ini juga mau jalan." Ujar Junet lalu berlalu, pria itu menyempatkan mengangguk sebentar pada Laksa sebelum beranjak pergi. "Pak, datang kok nggak bilang?" Linda berdiri dari tempatnya, lalu mendekat pada Laksa dan mengalami Laksa. Dia menatap sebentar pada sosok Lika yang sudah duduk nyaman di kursinya. "Siapa pak? Calon?" Tanya Linda dengan senyum mengejek lalu di susul kekehan kecil saat Laksa memberi pelototan kecil pada Linda. Mengabaikan itu. Linda mengulurkan tangannya pada Lika, "hai, mbak. Kenalan dong, aku Linda operator di sini sekaligus yang mengatur semua keuangan para supir tadi." Lika menerima uluran tangan itu sembari tersenyum. "Lika," jawabnya dengan malu-malu. "Calonnya pak bos ya, mbak?" "Linda jangan mulai ya!" "Yaelah pak, becandaan doang. Lagian nggak papa juga sih kalo calon." Ujar Linda dengan kekehan kecil sembari mencolek lengan Laksa dengan genit. Sesuatu yang tak lepas dari pandangan Lika, dia merasa tidak suka dengan cara Linda menyapa Laksa tadi. "Udah sana, buatin teh untuk Lika. Jangan manis-manis!" "Siap bos!" Linda terkekeh kecil, dia menoleh pada Lika. "Sebentar ya, mbak!" Setelahnya Linda berlalu. "Kamu tunggu di sini sebentar ya." Ucap Laksa pada Lika setelah kepergian Linda. Lika menatap pria di hadapannya sebentar, lalu menarik ujung kemejanya lagi. "Kemana?" Tanya Lika pelan. Laksa tersenyum kecil, "mau kedepan sebentar, sekalian tanya sama pak Gunawan, masih ada ban baru nggak di sini." Kedua alis Lika berkerut dalam setelah mendengar perkataan Laksa. Dia tidak salah dengar kan? Pria di hadapannya kini masih memikirkan apa yang menjadi keinginan Cila tadi? Bukankah apa yang dia inginkan tidak terlalu penting, laku kenapa pria itu mau mengusahakan keinginan tak masuk akal dari Lika. "Ban?" Tanya Lika memastikan. Laksa mengangguk. "Bukannya tadi kamu bilang pingin nyium ban baru ya?" Seketika malu saat dengan santainya Laksa mengatakan hal itu, permintaan tak masuk akal dan terkesan aneh, kenapa juga Laksa masih mengingatnya. Namun tetap saja Lika mengangguk malu-malu, sudah begitu lama dia menginginkan hal itu lalu saat Laksa berusaha untuk mewujudkannya kenapa Lika harus menolak. "Ya udah kamu di sini aja dulu, aku kedepan sekalian nyapa para supir." Ucap Laksa, tangannya bergerak mengusap puncak kepala Lika dengan gemas, sudah sejak tadi dia menahan gemas hanya karena melihat tingkah wanita di hadapannya kini. Perlahan Lika melepaskan cengkraman tangannya, terlebih perlakuan Laksa kepadanya membuat dia merona seketika. Ada sesuatu yang hangat menyusup masuk kedalam dadanya, dan hanya pada Laksa saja dia merasakan itu. "Udah biarin aja, mbak. Bos emang selalu gitu kalo di sini, maunya gabung sama para supir." Lika melirik sekilas saat Linda datang membawa secangkir teh untuknya, wanita ayu itu memilih duduk tepat di sebelah Lika. "Bapak emang selalu menghormati para pekerjanya, kalo kata bos sih, tanpa mereka usaha bos nggak akan berjalan, jadi beliau selalu menyempatkan diri untuk berbaur bersama mereka." Bolehkah Lika merasa terpukau? Bos yang mau turun langsung dengan para pekerja paling bawah, bukankah itu luar biasa? Jarang sekali bos yang mau peduli dengan para pekerja seperti supir yang hanya menggantungkan hidup di jalanan itu. "Dia emang selalu gitu?" Tanya Lika penasaran, dia seolah menemukan sisi baru dari seorang Laksa yang tak banyak dia ketahui. Linda mengangguk. "Makanya banyak yang betah kerja sama bapak, mereka mendapatkan hak yang benar-benar layak di sini, begitupun aku. Dari sekian banyak tempat kerja yang aku temui. Hanya di sini tempat yang benar-benar memberikan kebebasan dan hak yang luar biasa untuk para pekerja. Apalagi bos itu nggak pelit." Lika percaya, karena nyatanya apa yang sudah laksa lakukan untuk Fira dan dirinya sudah membuktikan hal itu. Laksa memang pria yang bertanggung jawab. "Bahkan keluarga mereka mendapat tunjangan yang lumayan loh dari bos. Uang jalan yang cukup, uang makan dapat, bahkan uang antrean bongkar muat pun masih di tanggung sama bos." Ada binar semangat saat Linda menceritakan sosok Laksa di hadapannya. Lika termagu sejenak, jika Laksa memiliki sifat seperti itu, tentu saja dia akan menjadi sosok yang luar biasa untuk keluarganya kelak. Andai saja Lika menjadi bagian dari keluarga Laksa, mungkin dia akan menjadi wanita paling bahagia. Sayang Lika tidak berharap banyak untuk itu, Laksa terlalu sempurna untuk Lika, dan dia tidak pernah bermimpi untuk bisa bersanding dengan seorang Laksa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN