Laksa 11

4676 Kata
"kamu"kamu kenapa?" Lika menoleh sebentar kearah Laksa, dia mendesah kecil enggan untuk menjawab, rasanya berat untuk menceritakan sesuatu yang mengganggunya sejak tiga hari lalu, bahkan perasaan Lika semakin tak nyaman, entah apa yang membuatnya seperti itu, tapi Lika selalu terpikirkan sahabatnya Fira, ada sesuatu yang terasa berat di dalam dadanya. "Kamu nggak nyaman?" Tanya Laksa lagi dengan nada lembut seperti biasanya, Lika memejamkan matanya perlahan. Hari ini dia berniat untuk memeriksakan kandungannya, dan seperti biasa Laksa dengan antusias memaksa untuk ikut dan mengantarkan langsung. Lika tidak bisa menolak, lebih tepatnya dia tidak memiliki alasan lain untuk menolak Laksa. Terlebih saat pria itu selalu memaksa. "Lika?" Lika menggeleng pelan, dia bingung harus berkata apa. "Nggak papa, kak..." Melarikan tatapannya kearah samping, menatap puluhan kendaraan yang lalu lalang. Tatapan kosong dengan pikiran melayang buana memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Dan karena itu juga dia kehilangan selera makan, jika saja Laksa tidak memaksanya dan membelikan beberapa makanan yang membuat dia lupa akan perasaan tak nyaman di dadanya mungkin Lika akan jatuh sakit sekarang ini. Lika menoleh cepat kearah Laksa saat merasakan tangan besar itu mengusap puncak kepala ya dengan lembut. Laksa menatap nya dengan senyum indah yang terkadang membuat Lika melting sendiri. Senyum yang menjadi senjata Laksa untuk meluluhkan kekerasan hatinya. "Kenapa Hem?" Lika sadar dirinya dan Laksa sudah Sampai di pelataran rumah sakit Ibu dan Anak. Lika melotot tajam kearah Laksa, bukankah tadi dia mengatakan ingin memeriksakan kandungannya di bidan langganan, bukan di rumah sakit besar seperti ini, lalu dari mana dia akan membayar biaya rumah sakit nantinya. "Kak?! Kenapa di sini sih!" Desis Lika tajam, bahkan tangannya sudah menghentikan tangan Laksa yang bertengger indah di kepalanya. "Kan aku udah bilang di bidan langganan aja!" Laksa masih menatapnya dengan tenang, ketenangan yang terkadang membuat Lika takut, dan tak berkutik. Lalu dengan lancang pria itu meraih tangan Lika, menggenggam erat tangan mungil nan halus milik Lika yang kini terasa begitu dingin. Laksa tersenyum, tangan yang bebas dia gunakan untuk menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Lika, entahlah kenapa semakin hari Laksa semakin berani menyentuh dirinya, dan anehnya kenapa Lika tidak mengelak ataupun melawan. "Nggak ada salahnya kan kalo kita periksa dedek nya di rumah sakit yang memiliki peralatan lebih lengkap?" Senyum itu, Lika selalu benci dengan senyum lembut penuh ketenangan milik Laksa. Senyum yang membuat dia tidak bisa berkutik. Lika membuang wajahnya, untuk kali ini dia berusaha untuk tidak luluh dan termakan oleh kelembutan Laksa. Dia harus bertahan dengan pendiriannya. Lika memilih diam, melipat kedua tangannya di atas d**a dan mengacuhkan Laksa yang masih saja menatap dirinya dalam diam, hingga perlahan Lika mendengar dengkusan pelan dari Laksa. "Ya udah kakak minta maaf kalo misal kakak udah asal aja ngajak kamu periksa di sini, tapi kakak juga punya alasan sendiri, Ika." Laksa menjeda kalimatnya, tatapannya masih tertuju kearah Lika, berharap wanita itu mau menatap dirinya. Hingga saat dimana Lika masih mempertahankan egonya barulah Laksa mengembuskan napas pelan. "Kakak cuma pengen liat gimana dedeknya, di sini kita bisa USG dan peralatannya juga lengkap. Untuk kali ini kakak mohon, nggak papa kan kita periksa di sini?" Inilah yang ditakutkan oleh Lika, Laksa dengan segala kelembutannya, bahkan pria itu mau meminta maaf untuk sesuatu yang jelas-jelas bukan kesalahannya. Lalu apakah Lika masih saja berusaha menahan egonya? Tapi jika dia mengikuti kemauan Laksa sama saja dia jatuh terlalu dalam, dan membiarkan pria yang seharunya dia hindari mendobrak masuk kedalam pertahanan yang sudah dia bangun selama ini. Lika tidak akan membiarkan Laksa masuk terlalu jauh kedalam hatinya, dia tidak ingin pria itu menanggung semua beban yang sudah adiknya tinggalkan. Lika tidak ingin menjadi wanita egois yang membiarkan orang lain merasakan derita yang dia rasakan. "Lika?" Lika memejamkan matanya, terlebih kelembutan Laksa memang selalu berhasil membuatnya tak tak berkutik. Dia menoleh menatap Laksa dengan tatapan sendu. "Untuk kali ini aja!" Senyum lebar itu terbit begitu indah di kedua sudut bibirnya, seolah mengatakan jika dia lah bosnya. Lika benci mengakui itu, tapi Laksa memang memiliki sesuatu yang tidak bisa dia bantah. "Untuk kali ini saja." "Janji?" Untuk pertama kalinya Lika melihat bagaimana kening Laksa berkerut, Lika meringis kecil, dia tidak tahu apa yang membuat setiap pergerakan kecil di wajah pria itu bisa memberikan efek yang berbeda, dan semuanya jelas masuk dalam katagori luar biasa. Laksa tampan, dengan rambut lurus yang di potong rapih membuat dia terlihat begitu menawan, belum lagi alis tebal, bola mata bening, hidung Manding dan rahang kokoh, seolah menegaskan betapa tampannya pria di hadapannya ini. Mungkin saat Tuhan membentuk dirinya dalam keadaan hati riang dan senyum cerah, maka terciptalah satu sosok yang memiliki pesona yang begitu kuat. Entahlah mungkin Lika sudah gila mengakui ini, tapi jujur Lika terpesona. Namun, tetap dia tidak bisa jatuh hati pada Laksa, pria itu adalah kakak dari ayah anak yang di kandungnya saat ini. "Janji." Ada nada berat hati dari perkataan Laksa, pria itu terlihat ragu, tapi tak bisa berbuat banyak. Dan dengan dengan janji yang sudah dia ucap maka Lika bisa tersenyum lebar, satu hal yang pasti, Laksa tidak akan memaksa dirinya untuk memeriksa kandungannya di tempat yang tidak Lika inginkan. Itu sudah cukup. "Udah?" Lika mengangguk semangat, lalu memilih turun dan menunggu Laksa untuk menghampirinya, bak sepasang suami istri mereka berjalan beriringan menuju ruang pemeriksaan kandungan. Orang yang belum mengenal mereka pasti mereka adalah pasangan yang serasi dan tengah bahagia menantikan kehadiran buah hati mereka. Namun sayang, mereka tidak mengerti bagaimana peliknya hidup seorang Lika. Lika memilih duduk sembari menunggu nomor antreannya, bersama ibu-ibu lainnya yang beberapa diantar oleh sang suami atau ada juga bersama anaknya. Lika meringis kecil, di tempat bidan langganannya, tidak seramai di rumah sakit, dan Lika tidak perlu menunggu lama seperti sekarang ini, sesuatu yang membuatnya bosan. "Periksa juga mbak?" Tanya seorang ibu dengan perut yang sudah membuncit, menatap kearahnya dengan seutas senyum ramah, sesekali beliau melirik pada sosok Laksa yang duduk tepat di sebelah Lika. Lika mengangguk, dia menatap ngeri pada perut so ibu yang terlihat akan meletus, apa mungkin perutnya besok akan sebesar itu? Satu pertanyaan konyol terbesit di dalam diri Lika. Jelas saja perutnya akan sebesar itu nantinya, apalagi saat bayinya tumbuh sehat, jelas akan sama seperti ibu itu. "Hamil pertama neng?" Lika tersenyum kecil sembari mengangguk. "Iya, Bu. Anak pertama." "Wahh, beruntung masih muda udah dapet momongan, dulu saya ya, neng. Kudu nunggu 4 tahun pernikahan dulu baru bisa dapet momongan, bahkan sempet cekcok sama suami dan mikir kita nggak bakal dapet momongan, tapi Alhamdulillah, ya namanya jodoh rejeki udah ada yang ngatur, terus usaha nyetaknya juga kuat akhirnya nongol anak pertama kita." Si ibu yang tidak Lika tahu namanya tersenyum ramah, menceritakan kisah hidupnya masa lalu. "Tuh anak saya udah umur 11 tahun, ehh baru dapet adek satu ini. Padahal saya nggak pasang KB selama ini, lagian umur saya udah 35 tahun loh neng, udah tua malah nongol." Lika meringis kecil, lalu memasang senyum lebar sembari menjawab. "Udah rejekinya Bu, Alhamdulillah masih dikasih kepercayaan sama Allah, disyukuri." Si ibu mengangguk. "Ho'oh neng, Alhamdulillah banget, walau udah tua masih dikasih kepercayaan." Lika mengangguk kecil, dia senang melihat interaksi si ibu yang secara tidak langsung memberi sebuah pelajaran hidup, di mana saat kita bersabar dan mau berusaha di situ akan ada jalan. Sesuatu yang luar biasa. "Neng sama masnya pengantin baru apa udah lama nih? ayem banget roman-romannya." Tanya si ibu dengan kekehan genit dan mencuri pandang kearah Laksa berkali-kali. "Apalagi hamil anak pertama, ayem banget ya neng, bisa dimanja, disayang apa yang mau di turutin. Uluh-uluh jadi kangen masa muda saya neng." Lika terpaku seketika mendengar celoteh dari sang ibu. Dia meringis kecil sembari melirik pada Laksa yang menatap si ibu dengan senyum lebar, tidak tahu saja Lika jika Laksa sejak tadi mengaminkan perkataan si ibu di dalam hati. Lika menyikut kecil perut Laksa dengan tatapan sinis, lalu berdecak kecil. Lika tidak mau menjawab perkataan si ibu, dia enggan untuk membuat sebuah kebohongan lagi, cukup dia berbohong kepada bosnya saja, dia tidak mau berbohong pada yang lain lagi. "Ati-ati neng, hamil anak pertama kudu di jaga, jangan banyak pikiran, jangan terlalu lalu capek. Apalagi di umur Eneng yang keliatannya masih muda, rawan neng." Lika tersenyum. "Iya, Bu. Di usahakan untuk nggak terlalu banyak beban pikir. Saya malah suka kurusan gitu kalo banyak pikiran." "Nah itu neng, jangan sampe stres, nggak baik buat si jabang bayi, kasihan nanti. Ibu kudu bahagia, ceria dan sehat biar dedeknya juga itu sehat." Hati Lika menghangat seketika, satu petuah yang begitu berharga untuk Lika. Terlebih dia tidak pernah mendapat sebuah perhatian dan nasehat seperti ini. Dan ucapan ramah dari sang ibunya membuat hatinya berdebar kecil, mungkin jika sang ayah tidak mengusirnya, ibu Lika akan memberi nasehat kecil seperti yang ini ini berikan kepadanya, sedikit tiap penuh perasaan dan berjuta makna. Lika butuh perhatian kecil seperti ini untuk menjaga perasaanya. "Eh, itu nama saya dipanggil, saya masuk dulu ya neng. Baek-baek sama suami neng, yang akur yang mesra biar dedeknya juga ikut bahagia." Ucap sang ibu. Lika hanya mengangguk kecil, memperhatikan si ibu yang berjalan dengan riang masuk kedalam ruang pemeriksaan. Lika terpaku. Apa yang di katakan sang ibu cukup membekas di hatinya. Apalagi perkataan terakhir, sesuatu yang tak mungkin bisa Lika lakukan. Andai Deon tidak mencampakkan dirinya, mungkin sekarang Lika akan menjadi wanita bahagia yang pernah dia rasakan sebelumnya, seperti ibu tadi yang dengan riangnya masuk kedalam ruang pemeriksaan. Hanya saja andai yang dia harapkan tidak akan pernah terjadi. Deon pergi dan kini dia sendiri. kenapa?" Lika menol"kamu kenapa?" Lika menoleh sebentar kearah Laksa, dia mendesah kecil enggan untuk menjawab, rasanya berat untuk menceritakan sesuatu yang mengganggunya sejak tiga hari lalu, bahkan perasaan Lika semakin tak nyaman, entah apa yang membuatnya seperti itu, tapi Lika selalu terpikirkan sahabatnya Fira, ada sesuatu yang terasa berat di dalam dadanya. "Kamu nggak nyaman?" Tanya Laksa lagi dengan nada lembut seperti biasanya, Lika memejamkan matanya perlahan. Hari ini dia berniat untuk memeriksakan kandungannya, dan seperti biasa Laksa dengan antusias memaksa untuk ikut dan mengantarkan langsung. Lika tidak bisa menolak, lebih tepatnya dia tidak memiliki alasan lain untuk menolak Laksa. Terlebih saat pria itu selalu memaksa. "Lika?" Lika menggeleng pelan, dia bingung harus berkata apa. "Nggak papa, kak..." Melarikan tatapannya kearah samping, menatap puluhan kendaraan yang lalu lalang. Tatapan kosong dengan pikiran melayang buana memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Dan karena itu juga dia kehilangan selera makan, jika saja Laksa tidak memaksanya dan membelikan beberapa makanan yang membuat dia lupa akan perasaan tak nyaman di dadanya mungkin Lika akan jatuh sakit sekarang ini. Lika menoleh cepat kearah Laksa saat merasakan tangan besar itu mengusap puncak kepala ya dengan lembut. Laksa menatap nya dengan senyum indah yang terkadang membuat Lika melting sendiri. Senyum yang menjadi senjata Laksa untuk meluluhkan kekerasan hatinya. "Kenapa Hem?" Lika sadar dirinya dan Laksa sudah Sampai di pelataran rumah sakit Ibu dan Anak. Lika melotot tajam kearah Laksa, bukankah tadi dia mengatakan ingin memeriksakan kandungannya di bidan langganan, bukan di rumah sakit besar seperti ini, lalu dari mana dia akan membayar biaya rumah sakit nantinya. "Kak?! Kenapa di sini sih!" Desis Lika tajam, bahkan tangannya sudah menghentikan tangan Laksa yang bertengger indah di kepalanya. "Kan aku udah bilang di bidan langganan aja!" Laksa masih menatapnya dengan tenang, ketenangan yang terkadang membuat Lika takut, dan tak berkutik. Lalu dengan lancang pria itu meraih tangan Lika, menggenggam erat tangan mungil nan halus milik Lika yang kini terasa begitu dingin. Laksa tersenyum, tangan yang bebas dia gunakan untuk menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Lika, entahlah kenapa semakin hari Laksa semakin berani menyentuh dirinya, dan anehnya kenapa Lika tidak mengelak ataupun melawan. "Nggak ada salahnya kan kalo kita periksa dedek nya di rumah sakit yang memiliki peralatan lebih lengkap?" Senyum itu, Lika selalu benci dengan senyum lembut penuh ketenangan milik Laksa. Senyum yang membuat dia tidak bisa berkutik. Lika membuang wajahnya, untuk kali ini dia berusaha untuk tidak luluh dan termakan oleh kelembutan Laksa. Dia harus bertahan dengan pendiriannya. Lika memilih diam, melipat kedua tangannya di atas d**a dan mengacuhkan Laksa yang masih saja menatap dirinya dalam diam, hingga perlahan Lika mendengar dengkusan pelan dari Laksa. "Ya udah kakak minta maaf kalo misal kakak udah asal aja ngajak kamu periksa di sini, tapi kakak juga punya alasan sendiri, Ika." Laksa menjeda kalimatnya, tatapannya masih tertuju kearah Lika, berharap wanita itu mau menatap dirinya. Hingga saat dimana Lika masih mempertahankan egonya barulah Laksa mengembuskan napas pelan. "Kakak cuma pengen liat gimana dedeknya, di sini kita bisa USG dan peralatannya juga lengkap. Untuk kali ini kakak mohon, nggak papa kan kita periksa di sini?" Inilah yang ditakutkan oleh Lika, Laksa dengan segala kelembutannya, bahkan pria itu mau meminta maaf untuk sesuatu yang jelas-jelas bukan kesalahannya. Lalu apakah Lika masih saja berusaha menahan egonya? Tapi jika dia mengikuti kemauan Laksa sama saja dia jatuh terlalu dalam, dan membiarkan pria yang seharunya dia hindari mendobrak masuk kedalam pertahanan yang sudah dia bangun selama ini. Lika tidak akan membiarkan Laksa masuk terlalu jauh kedalam hatinya, dia tidak ingin pria itu menanggung semua beban yang sudah adiknya tinggalkan. Lika tidak ingin menjadi wanita egois yang membiarkan orang lain merasakan derita yang dia rasakan. "Lika?" Lika memejamkan matanya, terlebih kelembutan Laksa memang selalu berhasil membuatnya tak tak berkutik. Dia menoleh menatap Laksa dengan tatapan sendu. "Untuk kali ini aja!" Senyum lebar itu terbit begitu indah di kedua sudut bibirnya, seolah mengatakan jika dia lah bosnya. Lika benci mengakui itu, tapi Laksa memang memiliki sesuatu yang tidak bisa dia bantah. "Untuk kali ini saja." "Janji?" Untuk pertama kalinya Lika melihat bagaimana kening Laksa berkerut, Lika meringis kecil, dia tidak tahu apa yang membuat setiap pergerakan kecil di wajah pria itu bisa memberikan efek yang berbeda, dan semuanya jelas masuk dalam katagori luar biasa. Laksa tampan, dengan rambut lurus yang di potong rapih membuat dia terlihat begitu menawan, belum lagi alis tebal, bola mata bening, hidung Manding dan rahang kokoh, seolah menegaskan betapa tampannya pria di hadapannya ini. Mungkin saat Tuhan membentuk dirinya dalam keadaan hati riang dan senyum cerah, maka terciptalah satu sosok yang memiliki pesona yang begitu kuat. Entahlah mungkin Lika sudah gila mengakui ini, tapi jujur Lika terpesona. Namun, tetap dia tidak bisa jatuh hati pada Laksa, pria itu adalah kakak dari ayah anak yang di kandungnya saat ini. "Janji." Ada nada berat hati dari perkataan Laksa, pria itu terlihat ragu, tapi tak bisa berbuat banyak. Dan dengan dengan janji yang sudah dia ucap maka Lika bisa tersenyum lebar, satu hal yang pasti, Laksa tidak akan memaksa dirinya untuk memeriksa kandungannya di tempat yang tidak Lika inginkan. Itu sudah cukup. "Udah?" Lika mengangguk semangat, lalu memilih turun dan menunggu Laksa untuk menghampirinya, bak sepasang suami istri mereka berjalan beriringan menuju ruang pemeriksaan kandungan. Orang yang belum mengenal mereka pasti mereka adalah pasangan yang serasi dan tengah bahagia menantikan kehadiran buah hati mereka. Namun sayang, mereka tidak mengerti bagaimana peliknya hidup seorang Lika. Lika memilih duduk sembari menunggu nomor antreannya, bersama ibu-ibu lainnya yang beberapa diantar oleh sang suami atau ada juga bersama anaknya. Lika meringis kecil, di tempat bidan langganannya, tidak seramai di rumah sakit, dan Lika tidak perlu menunggu lama seperti sekarang ini, sesuatu yang membuatnya bosan. "Periksa juga mbak?" Tanya seorang ibu dengan perut yang sudah membuncit, menatap kearahnya dengan seutas senyum ramah, sesekali beliau melirik pada sosok Laksa yang duduk tepat di sebelah Lika. Lika mengangguk, dia menatap ngeri pada perut so ibu yang terlihat akan meletus, apa mungkin perutnya besok akan sebesar itu? Satu pertanyaan konyol terbesit di dalam diri Lika. Jelas saja perutnya akan sebesar itu nantinya, apalagi saat bayinya tumbuh sehat, jelas akan sama seperti ibu itu. "Hamil pertama neng?" Lika tersenyum kecil sembari mengangguk. "Iya, Bu. Anak pertama." "Wahh, beruntung masih muda udah dapet momongan, dulu saya ya, neng. Kudu nunggu 4 tahun pernikahan dulu baru bisa dapet momongan, bahkan sempet cekcok sama suami dan mikir kita nggak bakal dapet momongan, tapi Alhamdulillah, ya namanya jodoh rejeki udah ada yang ngatur, terus usaha nyetaknya juga kuat akhirnya nongol anak pertama kita." Si ibu yang tidak Lika tahu namanya tersenyum ramah, menceritakan kisah hidupnya masa lalu. "Tuh anak saya udah umur 11 tahun, ehh baru dapet adek satu ini. Padahal saya nggak pasang KB selama ini, lagian umur saya udah 35 tahun loh neng, udah tua malah nongol." Lika meringis kecil, lalu memasang senyum lebar sembari menjawab. "Udah rejekinya Bu, Alhamdulillah masih dikasih kepercayaan sama Allah, disyukuri." Si ibu mengangguk. "Ho'oh neng, Alhamdulillah banget, walau udah tua masih dikasih kepercayaan." Lika mengangguk kecil, dia senang melihat interaksi si ibu yang secara tidak langsung memberi sebuah pelajaran hidup, di mana saat kita bersabar dan mau berusaha di situ akan ada jalan. Sesuatu yang luar biasa. "Neng sama masnya pengantin baru apa udah lama nih? ayem banget roman-romannya." Tanya si ibu dengan kekehan genit dan mencuri pandang kearah Laksa berkali-kali. "Apalagi hamil anak pertama, ayem banget ya neng, bisa dimanja, disayang apa yang mau di turutin. Uluh-uluh jadi kangen masa muda saya neng." Lika terpaku seketika mendengar celoteh dari sang ibu. Dia meringis kecil sembari melirik pada Laksa yang menatap si ibu dengan senyum lebar, tidak tahu saja Lika jika Laksa sejak tadi mengaminkan perkataan si ibu di dalam hati. Lika menyikut kecil perut Laksa dengan tatapan sinis, lalu berdecak kecil. Lika tidak mau menjawab perkataan si ibu, dia enggan untuk membuat sebuah kebohongan lagi, cukup dia berbohong kepada bosnya saja, dia tidak mau berbohong pada yang lain lagi. "Ati-ati neng, hamil anak pertama kudu di jaga, jangan banyak pikiran, jangan terlalu lalu capek. Apalagi di umur Eneng yang keliatannya masih muda, rawan neng." Lika tersenyum. "Iya, Bu. Di usahakan untuk nggak terlalu banyak beban pikir. Saya malah suka kurusan gitu kalo banyak pikiran." "Nah itu neng, jangan sampe stres, nggak baik buat si jabang bayi, kasihan nanti. Ibu kudu bahagia, ceria dan sehat biar dedeknya juga itu sehat." Hati Lika menghangat seketika, satu petuah yang begitu berharga untuk Lika. Terlebih dia tidak pernah mendapat sebuah perhatian dan nasehat seperti ini. Dan ucapan ramah dari sang ibunya membuat hatinya berdebar kecil, mungkin jika sang ayah tidak mengusirnya, ibu Lika akan memberi nasehat kecil seperti yang ini ini berikan kepadanya, sedikit tiap penuh perasaan dan berjuta makna. Lika butuh perhatian kecil seperti ini untuk menjaga perasaanya. "Eh, itu nama saya dipanggil, saya masuk dulu ya neng. Baek-baek sama suami neng, yang akur yang mesra biar dedeknya juga ikut bahagia." Ucap sang ibu. Lika hanya mengangguk kecil, memperhatikan si ibu yang berjalan dengan riang masuk kedalam ruang pemeriksaan. Lika terpaku. Apa yang di katakan sang ibu cukup membekas di hatinya. Apalagi perkataan terakhir, sesuatu yang tak mungkin bisa Lika lakukan. Andai Deon tidak mencampakkan dirinya, mungkin sekarang Lika akan menjadi wanita bahagia yang pernah dia rasakan sebelumnya, seperti ibu tadi yang dengan riangnya masuk kedalam ruang pemeriksaan. Hanya saja andai yang dia harapkan tidak akan pernah terjadi. Deon pergi dan kini dia sendiri.eh sebentar kearah Laksa, dia mendesah kecil enggan untuk menjawab, rasanya berat untuk menceritakan sesuatu yang mengganggunya sejak tiga hari lalu, bahkan perasaan Lika semakin tak nyaman, entah apa yang membuatnya seperti itu, tapi Lika selalu terpikirkan sahabatnya Fira, ada sesuatu yang terasa berat di dalam dadanya. "Kamu nggak nyaman?" Tanya Laksa lagi dengan nada lembut seperti biasanya, Lika memejamkan matanya perlahan. Hari ini dia berniat untuk memeriksakan kandungannya, dan seperti biasa Laksa dengan antusias memaksa untuk ikut dan mengantarkan langsung. Lika tidak bisa menolak, lebih tepatnya dia tidak memiliki alasan lain untuk menolak Laksa. Terlebih saat pria itu selalu memaksa. "Lika?" Lika menggeleng pelan, dia bingung harus berkata apa. "Nggak papa, kak..." Melarikan tatapannya kearah samping, menatap puluhan kendaraan yang lalu lalang. Tatapan kosong dengan pikiran melayang buana memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Dan karena itu juga dia kehilangan selera makan, jika saja Laksa tidak memaksanya dan membelikan beberapa makanan yang membuat dia lupa akan perasaan tak nyaman di dadanya mungkin Lika akan jatuh sakit sekarang ini. Lika menoleh cepat kearah Laksa saat merasakan tangan besar itu mengucap puncak kepala ya dengan lembut. Laksa menatap nya dengan senyum indah yang terkadang membuat Lika melting sendiri. Senyum yang menjadi senjata Laksa untuk meluluhkan kekerasan hatinya. "Kenapa Hem?" Lika sadar dirinya dan jika Laksa sudah Sampai di pelataran rumah sakit Ibu dan Anak. Lika melotot tajam kearah Laksa, bukankah tadi dia mengatakan ingin memeriksakan kandungannya di bidan langganan, bukan di rumah sakit besar seperti ini, lalu dari mana dia akan membayar biaya rumah sakit nantinya. "Kak?! Kenapa di sini sih!" Desis Lika tajam, bahkan tangannya sudah menghentikan tangan Laksa yang bertengger indah di kepalanya. "Kan aku udah bilang di bidan langganan aja!" Laksa masih menatapnya dengan tenang, ketenangan yang terkadang membuat Lika takut, dan tak berkutik. Lalu dengan lancang pria itu meraih tangan Lika, menggenggam erat tangan mungil nan halus milik Lika yang kini terasa begitu dingin. Laksa tersenyum, tangan yang bebas dia gunakan untuk menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Lika, entahlah kenapa semakin hari Laksa semakin berani menyentuh dirinya, dan anehnya kenapa Laksa tidak mengelak ataupun melawan. "Nggak ada salahnya kan kalo kita periksa dedek nya di rumah sakit yang memiliki peralatan lebih lengkap?" Senyum itu, Lika selalu benci dengan senyum lembut penuh ketenangan milik Laksa. Senyum yang membuat dia tidak bisa berkutik. Lika membuang wajahnya, untuk kali ini dia berusaha untuk tidak luluh dan termakan oleh kelembutan Laksa. Dia harus bertahan dengan pendiriannya. Lika memilih diam, melipat kedua tangannya di atas d**a dan mengacuhkan Laksa yang masih saja menatap dirinya dalam diam, hingga perlahan Lika mendengar dengkusan pelan dari Laksa. "Ya udah kakak minta maaf kalo misal kakak udah asal aja ngajak kamu periksa di sini, tapi kakak juga punya alasan sendiri, Ika." Laksa menjeda kalimatnya, tatapannya masih tertuju kearah Lika, berharap wanita itu mau menatap dirinya. Hingga saat dimana Lika masih mempertahankan egonya barulah Laksa mengembuskan napas pelan. "Kakak cuma pengen liat gimana dedeknya, di sini kita bisa USG dan peralatannya juga lengkap. Untuk kali ini kakak mohon, nggak papa kan kita periksa di sini?" Inilah yang ditakutkan oleh Lika, Laksa dengan segala kelembutannya, bahkan pria itu mau meminta maaf untuk sesuatu yang jelas-jelas bukan kesalahannya. Lalu apakah Lika masih saja berusaha menahan egonya? Tapi jika dia mengikuti kemauan Laksa sama saja dia jatuh terlalu dalam, dan membiarkan pria yang seharunya dia hindari mendobrak masuk kedalam pertahanan yang sudah dia bangun selama ini. Lika tidak akan membiarkan Laksa masuk terlalu jauh kedalam hatinya, dia tidak ingin pria itu menanggung semua beban yang sudah adiknya tinggalkan. Lika tidak ingin menjadi wanita egois yang membiarkan orang lain merasakan derita yang dia rasakan. "Lika?" Lika memejamkan matanya, terlebih kelembutan Laksa memang selalu berhasil membuatnya tak tak berkutik. Dia menoleh menatap Laksa dengan tatapan sendu. "Untuk kali ini aja!" Senyum lebar itu terbit begitu indah di kedua sudut bibirnya, seolah mengatakan jika dia lah bosnya. Lika benci mengakui itu, tapi Laksa memang memiliki sesuatu yang tidak bisa dia bantah. "Untuk kali ini saja." "Janji?" Untuk pertama kalinya Lika melihat bagaimana kening Laksa berkerut, Lika meringis kecil, dia tidak tahu apa yang membuat setiap pergerakan kecil di wajah pria itu bisa memberikan efek yang berbeda, dan semuanya jelas masuk dalam katagori luar biasa. Laksa tampan, dengan rambut lurus yang di potong rapih membuat dia terlihat begitu menawan, belum lagi alis tebal, bola mata bening, hidung Manding dan rahang kokoh, seolah menegaskan betapa tampannya pria di hadapannya ini. Mungkin saat Tuhan membentuk dirinya dalam keadaan hati riang dan senyum cerah, maka terciptalah satu sosok yang memiliki pesona yang begitu kuat. Entahlah mungkin Lika sudah gila mengakui ini, tapi jujur Lika terpesona. Namun, tetap dia tidak bisa jatuh hati pada Laksa, pria itu adalah kakak dari ayah anak yang di kandungnya saat ini. "Janji." Ada nada berat hati dari perkataan Laksa, pria itu terlihat ragu, tapi tak bisa berbuat banyak. Dan dengan dengan janji yang sudah dia ucap maka Lika bisa tersenyum lebar, satu hal yang pasti, Laksa tidak akan memaksa dirinya untuk memeriksa kandungannya di tempat yang tidak Lika inginkan. Itu sudah cukup. "Udah?" Lika mengangguk semangat, lalu memilih turun dan menunggu Laksa untuk menghampirinya, bak sepasang suami istri mereka berjalan beriringan menuju ruang pemeriksaan kandungan. Orang yang belum mengenal mereka pasti mereka adalah pasangan yang serasi dan tengah bahagia menantikan kehadiran buah hati mereka. Namun sayang, mereka tidak mengerti bagaimana peliknya hidup seorang Lika. Lika memilih duduk sembari menunggu nomor antreannya, bersama ibu-ibu lainnya yang beberapa diantar oleh sang suami atau ada juga bersama anaknya. Lika meringis kecil, di tempat bidan langganannya, tidak seramai di rumah sakit, dan Lika tidak perlu menunggu lama seperti sekarang ini, sesuatu yang membuatnya bosan. "Periksa juga mbak?" Tanya seorang ibu dengan perut yang sudah membuncit, menatap kearahnya dengan seutas senyum ramah, sesekali beliau melirik pada sosok Laksa yang duduk tepat di sebelah Lika. Lika mengangguk, dia menatap ngeri pada perut so ibu yang terlihat akan meletus, apa mungkin perutnya besok akan sebesar itu? Satu pertanyaan konyol terbesit di dalam diri Lika. Jelas saja perutnya akan sebesar itu nantinya, apalagi saat bayinya tumbuh sehat, jelas akan sama seperti ibu itu. "Hamil pertama neng?" Lika tersenyum kecil sembari mengangguk. "Iya, Bu. Anak pertama." "Wahh, beruntung masih muda udah dapet momongan, dulu saya ya, neng. Kudu nunggu 4 tahun pernikahan dulu baru bisa dapet momongan, bahkan sempet cekcok sama suami dan mikir kita nggak bakal dapet momongan, tapi Alhamdulillah, ya namanya jodoh rejeki udah ada yang ngatur, terus usaha nyetaknya juga kuat akhirnya nongol anak pertama kita." Si ibu yang tidak Lika tahu namanya tersenyum ramah, menceritakan kisah hidupnya masa lalu. "Tuh anak saya udah umur 11 tahun, ehh baru dapet adek satu ini. Padahal saya nggak pasang KB selama ini, lagian umur saya udah 35 tahun loh neng, udah tua malah nongol." Lika meringis kecil, lalu memasang senyum lebar sembari menjawab. "Udah rejekinya Bu, Alhamdulillah masih dikasih kepercayaan sama Allah, disyukuri." Si ibu mengangguk. "Ho'oh neng, Alhamdulillah banget, walau udah tua masih dikasih kepercayaan." Lika mengangguk kecil, dia senang melihat interaksi si ibu yang secara tidak langsung memberi sebuah pelajaran hidup, di mana saat kita bersabar dan mau berusaha di situ akan ada jalan. Sesuatu yang luar biasa. "Neng sama masnya pengantin baru apa udah lama nih? ayem banget roman-romannya." Tanya si ibu dengan kekehan genit dan mencuri pandang kearah Laksa berkali-kali. "Apalagi hamil anak pertama, ayem banget ya neng, bisa dimanja, disayang apa yang mau di turutin. Uluh-uluh jadi kangen masa muda saya neng." Lika terpaku seketika mendengar celoteh dari sang ibu. Dia meringis kecil sembari melirik pada Laksa yang menatap si ibu dengan senyum lebar, tidak tahu saja Lika jika Laksa sejak tadi mengaminkan perkataan si ibu di dalam hati. Lika menyikut kecil perut Laksa dengan tatapan sinis, lalu berdecak kecil. Lika tidak mau menjawab perkataan si ibu, dia enggan untuk membuat sebuah kebohongan lagi, cukup dia berbohong kepada bosnya saja, dia tidak mau berbohong pada yang lain lagi. "Ati-ati neng, hamil anak pertama kudu di jaga, jangan banyak pikiran, jangan terlalu lalu capek. Apalagi di umur Eneng yang keliatannya masih muda, rawan neng." Lika tersenyum. "Iya, Bu. Di usahakan untuk nggak terlalu banyak beban pikir. Saya malah suka kurusan gitu kalo banyak pikiran." "Nah itu neng, jangan sampe stres, nggak baik buat si jabang bayi, kasihan nanti. Ibu kudu bahagia, ceria dan sehat biar dedeknya juga itu sehat." Hati Lika menghangat seketika, satu petuah yang begitu berharga untuk Lika. Terlebih dia tidak pernah mendapat sebuah perhatian dan nasehat seperti ini. Dan ucapan ramah dari sang ibunya membuat hatinya berdebar kecil, mungkin jika sang ayah tidak mengusirnya, ibu Lika akan memberi nasehat kecil seperti yang ini ini berikan kepadanya, sedikit tiap penuh perasaan dan berjuta makna. Lika butuh perhatian kecil seperti ini untuk menjaga perasaanya. "Eh, itu nama saya dipanggil, saya masuk dulu ya neng. Baek-baek sama suami neng, yang akur yang mesra biar dedeknya juga ikut bahagia." Ucap sang ibu. Lika hanya mengangguk kecil, memperhatikan si ibu yang berjalan dengan riang masuk kedalam ruang pemeriksaan. Lika terpaku. Apa yang di katakan sang ibu cukup membekas di hatinya. Apalagi perkataan terakhir, sesuatu yang tak mungkin bisa Lika lakukan. Andai Deon tidak mencampakkan dirinya, mungkin sekarang Lika akan menjadi wanita bahagia yang pernah dia rasakan sebelumnya, seperti ibu tadi yang dengan riangnya masuk kedalam ruang pemeriksaan. Hanya saja andai yang dia harapkan tidak akan pernah terjadi. Deon pergi dan kini dia sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN