Laksa 10

1483 Kata
Lika benci sendirian, Lika benci saat di mana dia merasa kesunyian membuat dia dia seakan terasingkan. Itu dulu saat dimana semua orang berhasil membuat dia terpuruk. Mengingat saja sudah membuat Lika ingin menangis, tapi perlahan ketakutan yang dia rasakan berubah, semua tentu saja karena Fira dan juga Deon. Sayang, apa yang dia harap akan berujung manis tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Nyatanya Deon bukanlah pria yang akan membawa dirinya ke jenjang kebahagiaan, menarik dirinya dari sebuah kesunyian, Deon malah memanfaatkan dirinya untuk sebuah keuntungannya sendiri, menjadikan dia sebagai pelampiasan nafsu belaka, dan sekarang Deon pergi meninggalkan liga yang begitu dalam. Kehampaan membuat Lika kembali mengingat kenangan masalalu yang membuat dirinya merasa takut. Apa yang ingin dia enyahkan malah kembali hadir perlahan-lahan menyusup bagai oksigen yang mengisi paru-parunya secara perlahan. Menekan diri dan memaksa untuk mengingat kejadian dimana dirinya hanya seorang diri, tanpa teman, tanpa perhatian orang tua dan tanpa seseorang yang mampu menghibur dirinya di kala gundah. Kini, Lika kembali merasakan apa yang dia takutkan, sendiri dengan perasaan gelisah yang menyelimuti hatinya sejak pagi tadi, pikirannya masih melayang tentang kemungkinan kecil saat sahabat dan satu-satunya orang yang peduli dengan dirinya pergi. Lika tahu, kepergian Fira tidak lama, tapi tetap saja dia benci sendirian, terlebih sekarang dia hanya sendiri di sebuah toko. Airin yang biasanya menemani dirinya malah pergi dengan keluarganya yang membuat dia merasa diabaikan. Entahlah, kenapa Lika bisa merasakan hal ini lagi, apa yang dia takutkan sekarang tidak akan pernah terulang lagi nantinya, Lika yakin itu, apalagi sekarang dia sudah memiliki orang-orang yang selalu ada untuk dirinya, walau hanya seorang Fira. Lika meraih ponselnya, dia ingin membunuh kesunyiannya dengan beberapa fitur yang dia harap bisa mengusir kesunyiannya. Membuka beberapa aplikas,i dengan memanfaatkan  jaringan Wi-Fi yang ada di toko membuat dia bisa merasakan sedikit saja keuntungan yang ada. Lalu, dering ponsel membuat dia terpaku sejenak. Nama Fira tertera di sana, segera saja Lika menggeser icon hijau dan menempelkan benda pipih itu di telinganya. "Ya, Fir?" "Hay Hay, ada yang kangen gue?" Terdengar kekehan kecil di sana membuat senyum tipis terukir di bibir Lika. "Kagak, buat apaan kangen sama orang bebal macam Lo!" Lika mendengkus kecil sahabatnya memang sereceh itu, tidak peduli seberapa kerasnya dia mengkhawatirkan dia yang sekarang malah terdengar begitu santai menanggapi ucapannya. "Wkwk ngambek bos? Elah gitu aja ngambek." "Aku ah!" "Udah ealah. Kaya perawan aja ngambekan. Gue nggak papa nih, sehat-sehat aja di sini. Jadi jangan kepikiran terus lah, Lo lagi hamil juga, jangan buat calon ponakan gue ikut terbebani gara-gara Lo mikirin hal yang nggak guna." Sekali lagi Lika mendengkus malas, dia berdiri, perlahan melangkah kearah etalase bunga, tangannya meraih satu tangkai bunga mawar berwarna merah terang, membawanya ke hadapan dan menghidu aroma wangi yang entah kenapa membuat dia suka. Sebelum ini Lika tidak pernah tahu jika beberapa bunga memiliki aroma yang berbeda-beda, dan tentu saja wangi. "Gue cuma ngerasa nggak enak aja setelah Lo pergi kemarin, ada sesuatu yang entah kenapa serasa ngeganjel di hati gue." Terdengar helaan napas pelan dari sebrang sana. Lika tahu, Fira tidak suka dengan apa yang dilakukan Lika, memikirkan sesuatu yang berlebihan dan terkadang sampai membuat dirinya terpuruk dengan apa yang dia pikirkan. "Udah gue bilang berapa kali sih, Ika! Jangan terlalu berlebihan deh, gue di sini baik-baik aja, nggak kenapa-kenapa, bahkan gue makan dengan kenyang di sini, jadi jangan terlalu dipikirkan lah. Yang harusnya Lo pikirin itu kandungan Lo, calon keponakan gue. Udah Lo kasih nutrisi dan pemikiran sehat belum itu keponakan gue, jangan di kasih beban terus!" Lika menggeleng kecil, berusaha mengiyakan perkataan Fira, memberi sugesti jika memang sahabatnya itu akan baik-baik saja. Dan bukankah dia terdengar baik-baik saja, lalu apa yang Lika cemaskan. Dia menunduk kecil, melihat pada perutnya dengan senyum tipis, benar AAP yang dikatakan sahabatnya itu, dia harus lebih memikirkan dirinya sendiri dari pada orang lain, tapi tetap saja, Fira bukan orang lain untuk Lika. Tapi mau bagaimanapun Lika memang harus memikirkan dirinya dan kandungannya. "Nggak usah bengong! Lo udah makan belom?" "Udah tadi, makan pake rendang!" "Wodoh, ajib tuh, bolehlah. Nggak nawarin gue tapi!" "Lo jauh Fira! Lagian, Lo juga makan enak di sana kan?" Fira terkekeh pelan, "iye iye, lagian gue candaan doang, serius amat!" Yah... Lika tahu itu, tapi tetap saja dia merasa kesal. "Eh eh, udah dulu ya mas Panji ngajak jalan, ada kerjaan lagi setelah ini. Lo jangan lupa makan, jangan kepikiran juga. Awas aja gue balik Lo kurus! Gue tampol Lo nanti!" "Iya tenang aja, nggak akan kurus kok. Lo hati-hati di sana. Jangan ceroboh!" "Siap! Ya udah gue tutup ya?" "Oke!" Setelah panggilan telpon berakhir, Lika hanya menatap kosong pada layar ponsel yang sudah menggelap sekarang ini. Baiklah apa yang dia takutnya ternyata hanya perasaan dirinya saja. Mungkin hormon kehamilan membuat dia terlalu mawas diri, dan sepertinya Lika harus mulai membiasakan diri dan berhenti mencemaskan sesuatu yang berlebihan. Toh terkadang apa yang dia takutkan tidak benar-benar terjadi. Hari semakin siang, dan sepertinya pengunjung jiga tidak seramai biasanya, mungkin Lika bisa bersantai sejenak menikmati cerahnya hari yang begitu terik hingga membuat dia ingin merasakan dinginnya es krim yang selalu menjadi kesukaannya akhir-akhir ini. Atau es dawet yang mamak depan toko yang kadang sering Lika sambangi tiap terik matahari membuat dirinya gerah seperti sekarang ini. Es krim atau es dawet dengan cairan gula aren yang begitu membuat dia berbinar tiap kali melihatnya. Lika harus memilih salah satu di antaranya, dia tidak mungkin menghabiskan dua jenis es dalam waktu bersamaan. Lika berpikir sejenak untuk memilih, menimbang dan menyortir apa yang menggugah seleranya siang itu. Hingga pintu toko terbuka dengan perlahan membuat pikiran Lika buyar. Dia berdiri seperti biasanya, memasang senyum ramah tiap kali ada tamu yang hadir di toko tempat dia bekerja. Hanya saja saat melihat siapa sosok yang masuk siang itu Lika menyebikan bibirnya sebentar, lalu memilih duduk dan mengabaikan sosok yang saat ini berjalan mendekat dengan menenteng sebuah kantung plastik berlogokan lebah berbaju merah. Dia Laksa sosok yang akhir-akhir ini gencar mendekati dirinya dengan segala sesuatu yang di bawa oleh pria itu untuk menyogok Lika agar mau sekedar berbincang barang sebentar. Lika bisa saja menolak, tapi apa yang menjadi bahan sogokan Laksa sulit sekali untuk dia tolak. Terlebih Laksa seolah tahu apa yang selalu dia inginkan di setiap harinya. Entah memang sengaja, kebetulan atau memang dasar Lika yang selalu sulit menolak jika di hadapkan dengan makanan manis. Laksa terlihat menarik kursi yang ada di hadapan Lika, kursi yang hampir setiap siang menjadi tempat ternyaman pria itu untuk duduk. "Udah makan?" Satu pertanyaan yang tidak pernah bosan Laksa tanyakan tiap kali dirinya bertemu, dan seperti biasa, tanpa menunggu jawaban dari Lika, Laksa sudah mengeluarkan satu kantung plastik yang Lika tebak adalah brownis coklat dengan taburan meses yang melimpah di atasnya. Sesuatu yang selalu menjadi pengisi perut Lika di siang hari, dan itu semua jelas karena seorang Laksa "Udah tadi." Jawab Lika dengan nada datar tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel di hadapannya. Laksa masih memasang senyum tenangnya, dia mengeluarkan sebuah kotak plastik yang berisikan kue berbentuk kotak dengan bermacam warna seperti pelangi. Rainbow cake, kue yang beberapa tahun lalu tenar itu berhasil menarik perhatian Lika. Sudak Lika katakan bukan? Laksa selalu tahu apa yang bisa membuat perhatian seorang Lika teralihkan, yang jelas semua usaha dirinya untuk menjauh dari Laksa akan berujung gagal karena kegigihan pria itu. Lihatlah, bahkan sekarang Lika sudah meletakan ponselnya, menatap cake di hadapannya dengan binar yang kentara dia menginginkan untuk segera melahap kue itu. "Aku sengaja beli ini tadi sebelum mampir. Aku tau kamu pasti bosen sama brownis coklat, makanya aku coba pilih ini buat kamu," ucap Laksa dengan nada tenang seperti biasanya. Tidak peduli bagaimana Lika menanggapi dirinya, Laksa tetap saja acuh, dia membuka penutup kotak dan mendorong kotak berisi rainbow cake itu kehadapan Lika. "Terus aku juga sempet mampir di mini market depan untuk beli ini. Kayaknya enak makan kue pake topping eskrim siang bolong gini." Sudahlah, Lika tidak bisa mengelak lagi, Laksa dengan jurus sogokan yang luar biasa. Babay es dawet dan harga diri yang saat ini meronta dan mencaci Lika yang dengan mudahnya luluh hanya sebuah sogokan kecil dari Laksa. Rip harga diri! "Makan yang banyak, biar dedeknya sehat." Laksa mengeluarkan piring plastik kecil yang dia dapat dari toko langganannya lalu menyerahkan pada Lika. Membiarkan wanita itu memotong sendiri kue yang Laksa harap bisa membuat mood Lika membaik. Dia memilih untuk mengeluarkan satu kotak eskrim berukuran dengan logo ternama, lalu mengambil cup kecil dan menyedok eskrim kedalamnya, setelahnya dia mengulurkan pada Lika yang di sambut dengan antusias walau masih dalam mode diam. Tanpa menunggu lagi, Lika langsung melahap dengan semangat, hingga membuat senyum Laksa terukir dengan sempurna. Dia bahagia melihat bagaimana Lika makan dengan lahap, sesederhana itu memang kebahagiaan Laksa. Walau dia tahu Lika masih belum bisa menerimanya, tapi tetap saja, dia akan berusaha meluluhkan hati wanita di hadapannya, Laksa tidak ingin melihat wanita itu bersedih atau terpuruk oleh keadaan. Bagaimanapun Laksa harus bertanggungjawab dengan apa yang di alami oleh Lika sekarang ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN