Rio sampai di depan gerbang rumah sakit setelah menempuh dua puluh menit perjalanan. Nofal sampai mengelus dadanya berulang kali karena Rio mengendarai motornya seperti orang kesetanan.
"Lo gila." desis Nofal sinis menatap Rio.
Pantas saja Rio selalu menang dalam balapan. Cara Rio menarik gas saja tidak tanggung-tanggung. Nofal saja belum pernah mengendarai motornya sekencang itu.
"Thank, cepat sana lo pergi." usir Rio turun dari motor Nofal.
Nofal langsung pergi meninggalkan Rio begitu saja. Rio menutup kepalanya menggunakan tudung pada jaketnya. Kakinya terus berjalan menuju di mana letak jendela ruang rawat Yudha.
"Ish... Yang mana ruangannya? Kenapa bentuk jendelanya mesti sama semua?" Rio menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Bingung juga di mana ruang rawat Yudha.
"Apa gue ketuk saja satu persatu?" tanya Rio pada dirinya sendiri.
"Kayaknya bukan ide buruk." Rio mengacungkan jari telunjuknya seperti mendapat pencerahan.
"Eh, tapi itu ada satu jendela yang terbuka. Siapa tahu itu kamar bokapnya cewek itu." Rio mendekati kamar itu.
Rio melongokkan kepalanya masuk ke dalam jendela yang terbuka.
"Astaga... Gusti... Maafkan hambamu." Rio langsung menarik badannya dari dalam bingkai jendela setelah apa yang dilihatnya barusan. Tangannya sibuk mengelus-elus dadanya.
"Untung nenek-nenek. Coba kalau gadis, gue embat deh."
"Eh... Khilaf." Rio mengatupkan mulutnya.
"Tapi bukannya gue khilaf tiap hari ya. Hehehe... Maafkan aku, Tuhan. Aku tidak bisa menahan godaan wanita."
Cengir Rio sembari menaikkan tangannya dan membentuk jari telunjuk serta jari tengahnya ke atas membentuk huruf V. Bahkan Rio mendongakkan kepalanya mengarah ke langit gelap seolah-olah sedang berbicara dengan seseorang.
Ternyata yang dilihat Rio adalah seorang ibu-ibu yang sedang membantu seorang nenek ganti pakaian.
Brak!
Rio menengokkan kepalanya ke arah sebelah. Ada jendela yang terbuka barusan. Rio mendekati jendela itu, berharap jika itu adalah Zita.
"Semoga cewek murahan itu." doa Rio berjalan ke arah jendela di dekatnya.
Rio kembali melongokkan kepalanya ke dalam jendela.
"Hua...!" teriak Rio sekencang mungkin lalu menarik setengah badannya dari dalam jendela.
Brak!
Rio tambah kaget ketika penghuni kamar itu menutup jendelanya secara brutal. Lagi-lagi Rio harus mengelus dadanya yang naik turun tak beraturan.
"Astaga... Lo dosa apa, Yo?" Rio menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba mengusir apa yang dilihatnya barusan.
"Dosa apa gue sampai lihat mumi kayak begitu?" Ya, yang dilihat Rio adalah pasien dengan penuh perban di sekujur tubuhnya.
Ketika Rio melongokkan kepalanya, pasien itu sedang menghadap ke arah jendela dan membuka matanya secara tiba-tiba.
Brak!
Rio menengokkan kepalanya lagi ke arah kanan tubuhnya. Ada jendela yang dibuka lagi.
"Enggak, gue tidak mau lihat dalamnya. Entar kalau mayat mati basah bagaimana dalamnya? Ngeri kan." Rio menggeleng-gelengkan kepalanya terus menerus.
"Kak Rio!" pekik Zita melihat Rio yang sedang menggeleng-gelengkan kepalanya tiada henti.
Rio merasa ada yang memanggil namanya.
"Apa yang barusan manggil itu arwahnya yang mati karena kecelakaan di kamar sebelah itu?" tanya Rio ke dirinya sendiri tanpa menoleh ke samping kanan.
"Kak Rio, ini Zita." panggil Zita lagi.
"Zita? Siapa sih? Kayak pernah dengar gue nama itu." Rio mencoba mengingat-ingat nama Zita. Ah, tapi gagal. Rio tak mengingat siapa pemilik nama itu.
"Apa itu nama arwah yang kecelakaannya?" tebak Rio membuat Zita mencelos karena Rio tak ingat namanya.
"Kak Rio lihat ke kanan. Ini aku Zita, Kak." panggil Zita lagi.
"Zita siapa sih?" tanya Rio menengokkan kepalanya ke kanan.
"Lo? Ish... Gue cari-cari kamar ini susah tahu." Rio mendumel pelan ketika melihat Zita ada dalam bingkai jendela sebelah kanannya. Rio mendekati jendela ruang rawat Yudha.
"Awas, gue mau masuk." usir Rio mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Zita.
Zita langsung menyingkir seperti apa yang Rio perintahkan. Dengan sekali loncat, Rio langsung masuk ke dalam ruang rawat.
"Hah... Lega gue." Rio mengusap dadanya seolah orang yang baru saja terbebas dari kepungan preman berbadan seperti Ade Rai.
Zita kembali menutup jendela dan menguncinya ketika melihat Rio berjalan menuju sofa.
"Nih, Kak diminum dulu." Zita mengulurkan sebotol air mineral untuk Rio.
Rio menyipitkan matanya melirik Zita.
"Gue tidak butuh." tolak Rio mentah-mentah.
"Ya sudah, kalau haus ambil saja ya. Aku letakan di sini." Zita meletakkan botol tadi di atas meja dekat sofa yang Rio duduki.
"Kakek ada nelfon?" tanya Rio tanpa menoleh ke Zita. Kini pandangan Rio fokus pada ponselnya yang baru dihidupkan.
"Tidak ada, Kak." jawab Zita selalu dengan nada manis.
"Bagus deh." Rio mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Gerah benget sih." Rio mengibas-ngibaskan hoodie bagian depannya. Dengan cepat Rio langsung membuka hoodienya dengan sekali tarikan tangan.
Zita melihat Rio yang sedang membuka hoodienya dengan mata tanpa kedip. Zita terpesona akan pemandangan di depannya.
Kenapa Rio semakin tampan jika penuh dengan peluh seperti itu? Zita mengulum senyumnya memandang Rio yang hanya memakai kaos lengan pendek berwarna putih bergambar heart setengah di bagian kanan bawah.
"Ngapain lo lihatin gue? Terpesona? Ya iyalah, secara gue cakep. Sedangkan lo, cuma perempuan murahan yang bisanya jual diri lo buat mendapatkan uang. Gue saja tidak yakin kalau lo masih virgin." ujar Rio tanpa perasaan lalu menjatuhkan badannya ke sofa memosisikan dirinya untuk tidur.
Hati Zita sangat tertohok atas ucapan Rio barusan. Hatinya bagaikan tersayat milyaran sembilu tanpa henti. Lidah memang tidak bertulang. Tapi kenapa setiap ucapan yang keluar dari bibir Rio seperti belati yang menusuk hati Zita.
Air mata Zita kembali menetes ke pipi mulusnya. Zita membalikkan badannya menuju kursi di dekat brankar Yudha. Zita lebih memilih menangis secara diam-diam. Benar-benar diam, tidak ada suara isakan sekecil apa pun. Zita menenggelamkan kepalanya pada sisi kasur Yudha, bertumpu pada lipatan tangannya.
"Gue sayang sama lo, Kak Rio." Koar Zita dalam hatinya.
***
Pagi-pagi sekali Zita sudah bangun untuk membersihkan badannya yang lengket. Zita memandang Rio yang tidur di sofa. Bisa Zita pastikan kalau Rio tidak nyaman dengan posisinya. Berkali-kali Zita melihat Rio mengubah posisi tidurnya.
"Bagaimana caranya gue bisa sentuh perasaan lo, Kak?" Zita tersenyum melihat wajah Rio ketika tertidur, sangat polos seperti bayi. Sungguh menggemaskan.
Tidak ingin terlalu terlena dengan wajah Rio, Zita kini beralih merapikan kamar rawat Yudha. Zita memisah-misahkan pakaian kotor untuk dibawanya pulang.
Cklek!
Zita mendongakkan kepalanya mengarah ke pintu utama. Ternyata Nafita yang datang. Zita memang sudah membuka kunci pada pintunya tadi pagi-pagi sekali.
"Bunda, kok sudah datang saja." Zita menyalami tangan Nafita yang menjinjing rantang nasi.
"Iya, Bunda khawatir sama Ayah." Nafita membelai lembut rambut Zita.
"Kening kamu bagaimana? Sudah tidak sakit lagi?" tanya Nafita melihat perban pada kening Zita.
"Sudah mendingan kok, Bun. Sudah tidak pusing." Zita mengambil alih rantang dalam genggaman Nafita.
Nafita menengok ke arah Rio yang masih tertidur. Senyumnya merekah melihat Rio mau menemani Zita menjaga Yudha. Nafita kini heran melihat Zita yang celingak-celinguk di depan pintu ruang rawat.
"Cari apa, Ta?"
"Bunda lihat orang pakai baju hitam-hitam tidak di depan sini pas masuk tadi?" Zita menunjuk depan pintu menggunakan jari telunjuknya.
"Tidak, tapi tadi Bunda lihat di depan ada cowok berbadan besar pakai baju serba hitam begitu." jawab Nafita mendekati Yudha.
"Berarti sudah pergi." sahut Zita membuat Nafita heran.
"Memang siapa sih, Ta?"
"Bodyguard-nya Kakek Hans, Bun. Dari semalam mereka jaga di depan pintu." jawab Zita seadanya lalu duduk di single sofa.
"Rio tidak kamu bangunkan, Ta? Suruh sarapan begitu, pasti lapar." usul Nafita membuat hati Zita mencelos.
"Kak Rio kecapekan, Bun. Semalam dia menjaga Ayah sampai tidak tidur. Biarkan saja tidur dulu." jawab Zita mencoba mencari alasan.
Biarlah berbohong sedikit untuk menyenangkan hati orang yang dia sayang.
"Owh... Ya sudah. Kasihan Bunda lihatnya juga."
Cklek!
Semua orang lebih tepatnya Zita dan Nafita menoleh ke arah pintu. Dari luar bisa terlihat kalau Hans sedang memasuki ruang rawat Yudha.
"Pagi cucu menantu Kakek yang cantik." sapa Hans mendekati Zita.
Zita langsung mencium tangan Hans sopan dan tersenyum begitu manisnya.
"Pagi, Kek." sahut Zita disertai nada cerianya.
"Pagi, Bu." sapa Hans pada Nafita.
"Pagi, Pak." sahut Nafita sopan.
"Bagaimana? Ada perubahan?" tanya Hans duduk di sebelah Zita.
"Belum siuman juga, Kek." wajah Zita terlihat sendu mengingat Yudha belum juga sadar.
"Yang sabar ya." Hans mengusap-usap bahu Zita.
"Iya, Kek."
Hans menengokkan kepalanya ke arah Rio yang masih tertidur. Seolah tidak terganggu oleh pembicaraan ketiga umat manusia dalam ruangan ini.
"Ish... Anak itu, selalu saja susah bangun." desis Hans kesal melihat Rio yang masih tidur.
"Apa dia keluar semalam?" Hans mengarah ke Zita yang tiba-tiba saja gugup.
"Ke... Keluar... Ke mana, Kek? Hehehe..." tanya Zita gugup.
"Ya keluar rumah sakit."
"Tidak kok, Kek. Kak Rio di sini terus dari semalam." jawab Zita berusaha menguasai kegugupannya.
"Baguslah. Setidaknya dia tidak macam-macam di luar sana."
Ucapan Hans barusan membuat Nafita menolehkan kepalanya mengarah ke Hans. Bingung akan ucapan Hans, tapi Nafita tak punya keberanian untuk bertanya.
Hans berdiri tepat di samping tubuh Rio. Hans mengambil botol air mineral yang semalam Zita kasih ke Rio. Setelah berhasil membuka segelnya, Hans menyipratkan sedikit demi sedikit air melalui tangannya ke wajah Rio.
"Kakek, kasihan Kak Rionya." cegah Zita.
Rio gelagapan karena wajahnya kena cipratan demi cipratan air dari atasnya. Rio terbangun dari mimpi indahnya dengan wajah shock. Tubuh Rio kini sudah duduk sempurna dengan nafas terengah-engah. Pandangannya tertuju pada pelaku yang sudah duduk manis di samping Zita.
"Kakek apa-apaan sih? Aku kan lagi tidur. Enak saja main ciprat-cipratin air." gerutu Rio kesal melihat Hans dengan wajah tanpa dosanya.
"Kamu tidur ngebo banget. Apa tidak malu dilihatin sama Ibu mertua?" balas Hans menatap sinis ke Rio.
Rio mengikuti arah pandang Hans pada Nafita.
"Bunda keberatan tidak kalau aku tidur?" tanya Rio pada Nafita.
"Hehehe... Tidak kok, kamu pasti capek. Tapi Bunda bawakan sarapan loh buat kamu." Nafita tersenyum manis ke Rio.
"Tuh kan dengar sendiri." Rio langsung menjatuhkan tubuhnya lagi ke sofa lalu menutupi wajahnya menggunakan hoodie hitamnya.
"Rio bangun!" Hans sedikit membentak Rio supaya mau bangun lagi.
Ya, usaha Hans tidak sia-sia. Rio kembali duduk dan mengembuskan nafasnya kasar. Rio memandang ogah-ogahan pada Hans.
"Apa mau Kakek?" tanya Rio to the point dengan nada tidak bersahabat.
"Kamu bisa istirahat di rumah. Kamu memang perlu istirahat." ujar Hans diiringi senyum bahagianya.
"Ya sudah, aku pulang." Rio kembali memakai hoodienya.
"Ini alamat rumah beserta kunci rumah kalian." Hans meletakkan selembar kertas dan segerombol kunci di meja pada Rio.
Rio menengok heran pada Hans.
"Apa maksudnya pada alamat rumah dan kunci itu?" tanya Rio dalam hati.
"Itu rumah dari Kakek untuk kado pernikahan kalian. Semua barang kalian sudah Kakek pindahkan ke rumah baru kalian." jelas Hans membuat Rio dan Zita kaget.
Zita memandang Nafita yang tersenyum padanya. Rio sendiri masih terlalu shock dengan penjelasan Hans.
"Itu terdiri dari kunci pintu utama, pintu belakang, kamar utama, garasi mobil, pintu gerbang dan tempat lainnya kecuali kamar. Hanya ada satu kunci kamar yang ada. Jadi tidak ada kamar lain yang bisa dibuka." Rio dan Zita semakin shock mendengar kelanjutan penjelasan Hans.
Jika tidak ada kamar lain yang bisa dibuka. Itu artinya mereka akan tidur satu kamar.
"Semua kunci ada tiga duplikat. Dua sudah Kakek satukan di situ. Yang satu lagi ada di Kakek. Kamar akan dibuka kalau ada suara tangisan bayi dari kalian." Hans tersenyum bahagia mengingat Rio dan Zita akan memberikannya cicit.
"Kakek tidak lagi bikin drama kan?" tanya Rio memastikan.
"Tidak, Rio. Kakek serius." jawab Hans mantap.
"Ya sudah, mending sekarang kamu bawa istri kamu pulang untuk menata rumah baru kalian secantik mungkin. Kalau butuh apa-apa tinggal telefon Andrian." Hans berdiri menepuk bahu Rio.
"Kakek mau ke kantor." Hans meninggalkan ruang rawat begitu saja. Tanpa memperhatikan wajah shock Rio dan Zita.
"Nak Rio, sebelum pulang sarapan dulu ya. Bunda sudah buatkan sarapan." ujar Nafita membuka rantang nasi di atas meja.
Rio memandang Nafita tidak tega yang sudah membuatkan sarapan untuknya dengan susah payah.
"Aku sarapan dulu, Bun." jawab Rio manis ke arah Nafita.
Zita terkesiap atas senyum manis dari bibir Rio. Kenapa Rio bisa tersenyum kepada Nafita sedangkan kepada dirinya tidak bisa.
"Nih, dimakan dulu ya." Nafita sudah mengambilkan sepiring nasi beserta sayur opor dan sambal goreng kentang ati untuk Rio.
"Terima kasih, Bun." Rio menerima piring dari tangan Nafita.
"Zita jangan bengong saja, ayo sarapan." tegur Nafita melihat Zita yang diam saja.
"Eh... Iya, Bun." Zita ikut sarapan menemani Rio.
***
Rio kembali melihat kertas berisikan alamat yang sudah diberikan oleh Hans padanya. Benar, ini rumahnya. Tidak salah lagi. Rio suka dengan rumah di depannya, tapi mengingat dengan siapa dirinya akan tinggal di rumah ini membuat senyumnya hilang.
"Heh, buka itu pintu gerbang." Rio melemparkan kunci ke Zita dengan tidak berperasaan.
"I... Iya, Kak." jawab Zita takut-takut lalu mengambil kunci yang jatuh tepat atas roknya.
Zita langsung keluar untuk membukakan gembok pada gerbang rumah mereka. Dengan segera, Rio langsung memasukkan mobilnya. Zita pun langsung menutup gerbangnya lagi lalu menggemboknya.
Rio keluar dari mobilnya. Rumah dengan cat warna putih tulang. Dihiasi dengan berbagai macam tumbuhan di depannya. Bahkan ada pula pohon cemara kesukaan Rio di sana. Rumah yang terlihat nyaman dan damai. Tapi lagi-lagi senyum Rio pudar ketika melihat Zita berdiri di sampingnya.
"Cepat buka pintunya, gue mau tidur." titah Rio lagi tanpa perasaan.
"Iya, Kak." mungkin selamanya Zita hanya akan menjadi pesuruh seorang Alzario Pratama.
Rio dengan gerakan cepat langsung meraih kunci yang masih menggantung di pintu utama lalu menutupnya dan menguncinya.
"Kak Rio! Kak, buka pintunya! Aku masih di luar!" teriak Zita di luar sembari menggedor-gedor pintu utama.
"Mampus lo cewek murahan. Tidur sono di luar." ucap Rio dengan smirk evil-nya.
"Untung ini kunci belum di bagi." Rio melangkahkan kakinya menuju kamar sembari memandang kunci yang semuanya ada dua tapi belum sempat dibagi.
***
Zita kaget ketika Rio meraih kunci yang masih menggantung lalu menutup pintu dan menguncinya.
"Kak Rio! Kak buka pintunya! Aku masih di luar!" Zita berusaha sekuat tenaganya untuk menggedor pintu utama dan berteriak sekencang mungkin.
"Mampus lo cewek murahan. Tidur sono di luar." samar-samar Zita mendengar ucapan Rio.
Tubuh Zita merosot mendengar suara Rio dari dalam. Air matanya kembali jatuh tak terbendung. Lukanya kemarin dan semalam belum sembuh, tapi Rio sudah menambahnya lagi.
"Semoga gue kuat tinggal di rumah ini. Karena bagaimana pun Kak Rio suami gue. Sebelum Kak Rio yang minta gue buat pergi dari rumah ini, gue tidak akan pergi." Zita menenggelamkan kepalanya di antara tekukan paha dan dadanya yang menyatu.
Rumah ini sebenarnya sangat indah. Apa lagi jika dihiasi dengan tangisan bayi dan celotehan anak kecil. Tapi mungkin itu semua mustahil untuk Zita. Jangankan mengharap dirinya mengandung darah daging Rio. Mengharapkan Rio berbicara lembut padanya saja Zita tidak punya keberanian.
***
Next...